ALIRAN SYI’AH
ASPEK SEJARAH, TOKOH,
SEKTE-SEKTE DAN POKOK-POKOK AJARAN SERTA IMPLIKASI SOSIAL YANG DITIMBULKANNYA
I.
IFTITAH
Maraknya perbincangan seputar Syi’ah tidak terlepas dari peristiwa politik
paling spektakuler yang terjadi di Iran, yaitu revolusi nasional yang dipimpin
oleh seorang mullah terkemuka dari pengasingan di Paris Perancis Ayatullah
Ruhullah Al Musawi Khomeini (Imam Khomeini RA), revolusi Islam
menggulingkan rezim dinasti Shah Reza Pahlevi yang notabene adalah “boneka”
Amerika Serikat dan Eropa serta menjadi tonggak sejarah awal berdirinya
Republik Islam Islam yang dimotori oleh tokoh-tokoh syi’ah ushuli.
Revolusi
dengan sendirinya anti kemapanan (astablishment), peristiwa revolusioner
di suatu negara akan menjadi kewas-wasan tersendiri bagi negara-negara
disekelilingnya, termasuk negara-negara yang relatif jauh, karena adanya
kesamaan struktur sosial dan demografis termasuk kepentingan politik tertentu.
Hal ini barangkali kurang berdampak signifikan terhadap negara Indonesia,
disamping karena kecilnya syi’isme di Indonesia baik secara kuantitas maupun
kualitas juga struktur sosial dan demografis yang agak berbeda jauh dengan
timur tengah, ditambah kepentingan politik ekonomi Indonesia yang tidak terlalu signifikan.
Lebih dari
itu semua, yang lebih baik atau yang diperlukan adalah melihat syi’ah bukan
sebagai masalah baik sebagai agama, ideologi, fenomena sejarah, politik,
ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Syi’ah harus dilihat sebagai
kenyataan sejarah internasional Islam baik untuk hari ini maupun untuk masa
depan Islam, disamping itu juga yang jauh lebih penting lagi bahwa syi’ah
adalah kenyataan historis yang secara tak terpungkiri ikut mewarnai sejarah
agama dan umat Islam selama lima belas abad. Mengingkari kenyataan-kenyataan
tersebut adalah suatu bentuk kenaifan, kepicikan dan kekerdilan berfikir manusia,
bahkan adalah suatu kemustahilan, mengingkari sama dengan menolak kebenaran
fakta sejarah. Maka dalam rangka melihat syi’ah sebagai sebuah kenyataan
internasional umat Islam, diperlukan sikap yang lebih bersedia untuk memahami,
mengkaji, mentelaah, secara obyektif dengan nalar yang sehat dan hati yang
tulus dan jujur serta dilaksanakan dengan sikap arif dan bijaksana, disamping
itu juga mengenali secara seksama interaksi syi’ah dengan aliran-aliran Islam
yang lain, khususnya dengan sunnisme. Selanjutnya umat Islam harus belajar
hidup berdampingan dengan memberikan ruang toleransi yang manusiawi berdasar
kenyataan internasional umat Islam tersebut.
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
* tûüÎ6ÏYãB Ïmøs9Î) çnqà)¨?$#ur (#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# wur (#qçRqä3s? ÆÏB tûüÅ2Îô³ßJø9$# ÇÌÊÈ z`ÏB úïÏ%©!$# (#qè%§sù öNßguZÏ (#qçR%2ur $YèuÏ© ( @ä. ¥>÷Ïm $yJÎ/ öNÍköys9 tbqãmÌsù ÇÌËÈ
Artinya : Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya
serta Dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar Ruum : 31-32)
Terbaginya umat Islam menjadi dua kelompok besar Sunni dan Syi’ah adalah
wajar, alami, dan tak terhindarkan, karena merupakan produk proses sejarah yang
mustahil dihapus. Yang tidak alami, tidak wajar dan tidak sesuai dengan sifat
dasar kemanusiaan adalah jika seseorang atau suatu kelompok merasa benar
sendiri, lalu memaksakan kehendak dan pandangannya kepada orang atau kelompok
lain, seolah pemegang kunci sorga. Hal itu termasuk syirik, politheisme, dosa
yang tak terampuni.
II.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Syi’ah
Dalam tiap
upaya menentukan asal muasal perasaan-perasaan seorang Syi’i dalam Islam, orang
harus berusaha memeriksa secara detail peristiwa paling dini dimana perasaan
itu memanifestasikan dirinya. Sejarah masyarakat dalam tiap cabang, apakah
politik, budaya, agama, atau undang-undang adalah sesuatu yang
berkesinambungan. Tidak ada organisasi religius atau kemasyarakatan, juga tidak
ada titik pandang khusus dalam tradisi religius dapat difahami secara seksama
tanpa merujuk pada awal kebangkitan nyatanya.[1]
Secara historis peristiwa saqifah adalah kaitan yang tak dapat diputuskan
dengan kemunculan pandangan Syi’i, saqifah adalah balairung tua di Madinah
tempat dimana orang biasa menggunakannya untuk diskusi dan menyelesaikan
problema genting mereka. Disanalah setelah terbetik berita kematian Rasul,
orang Madinah berkumpul untuk memilih pemimpin mereka. Disanalah sekelompok
Muhajirin memaksakan kepada kaum Anshar kehendak mereka untuk menerima Abu
Bakar sebagai pemimpin tunggal umat. Dalam pertemuan di saqifah ini sebagian
suara diajukan dalam mendukung klaim Ali bagi khalifah, maka saqifah harus
diambil sebagai nama umum bagi awal perpecahan muslimin. Mengabaikannya dalam
rangka menyelidiki sejarah Syi’ah dan perkembangannya yang kemudian dalam
Islam, pasti akan membawa kepada kesalahfahaman dan kesimpulan yang salah. Oleh
sebab itu, merupakan keharusan sejarah untuk menguji laporan rapat saqifah dan
berusaha menetapkan poko-pokok yang terbit di dalamnya yang akhirnya menemukan
ekspresinya dalam penegakan disiplin Syi’ah dalam Islam.[2]
Setelah mengabarkan kepada khalayak tentang kematian Muhammad SAW. Abu
Bakar, bersama Umar dan Abu Ubaidah pergi kerumah Abu Ubaidah, disana mereka
berkumpul untuk membicarakan masak-masak mengenai krisis kepemimpinan yang
genting yang telah timbul karena kematian Rasul, dan tentu saja mengamati
perasaan benci kaum Anshar yang telah berkembang beberapa lama. Disanalah
Majelis Muhajirin diganggu oleh seorang pelapor yang nyelonong masuk untuk
mengabarkan kepada mereka apa yang sedang dilakukan Anshar. Mendengar itu, Abu
Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bergegas ke Saqifah untuk mencegah perkembangan
yang tidak diharapkan. Dan ketika mereka tiba di Saqifah Bani Sa’idah, kaum
anshar telah berkumpul dan ditengah-tengah mereka ada seorang yang berselimut,
beliau adalah Sa’ad bin Ubadah yang lagi sakit. [3]
Abu Bakar berkata, semua kebaikan yang telah kalian utarakan tentang diri
kalian memang pantas, namun orang arab tak akan mengakui otoritas kecuali dalam
suku Quraisy, kami adalah orang pertama dalam Islam, keturunan kami ningrat,
dan kami lebih dekat dengan Rasul, dan kalian adalah saudara kami dalam Islam,
kalian menolong kami, melindungi dan menyokong kami, maka kami adalah penguasa
(umara) dan kalian adalah wakil (wuzara), orang arab tidak akan tunduk
kecuali pada Quraisy, Rasul berkata, para pemimpin adalah dari kalangan Quraisy
(Al – A’immatu Min Al – Quraisy), karena itu jangan bersaing dengan
saudara kalian kaum Muhajirin, dalam apa yang telah dikaruniakan kepada mereka.[4]
Al Mundzir bin Arqam menyahut tajam, kami tidak akan menolak jasa yang
kalian sebutkan, sesungguhnya dikalangan kalian ada seorang yang tak akan
dipertengkarkan orang jika ia kehendaki otoritas ini, dan orang itu adalah Ali
bin Abi Thalib. Kemudian Al Hubab bin Mundzir menawarkan penyelesaian kompromi,
biarlah kami mengangkat seorang pemimpin dari kalangan kami sendiri, dan
pemimpin lain dari kalangan kalian. Umar menyahut, dua pedang tak dapat berada
dalam satu sarung, Demi Allah, orang arab tak akan sepakat dengan otoritasmu
sementara Rasul mereka dari kalangan lain. Petengkaran urat saraf-pun makin
berkobar panas dan suara makin keras, demi menghindarkan bentrokan, Umar bin
Khattab berteriak, bentangkan tanganmu Abu Bakar, lalu Umar berbaiat kepadanya,
kaum muhajirin mengikutinya lalu diikuti oleh yang lain.[5]
Ali bin Abi Thalib dan orang-orang dekatnya dari keluarga Bani Hasyim tidak
tahu tentang keputusan yang diambil di saqifah, mereka baru mendengar setelah
Abu Bakar dan Umar beserta robongannya datang ke masjid Nabi dengan suara yang
hiruk-pikuk. Abu Bakar dan Umar mengundang Ali bin Abi Thalib dan keluarga Bani
Hasyim yang lain ke masjid untuk memberi baiat, mereka menolak datang.
Mendapati situasi seperti ini Umar menasehati Abu Bakar untuk segera bertindak.
Abu Bakar dan Umar beserta pasukan bersenjata mendatangi ruma Ali dan
mengepungnya, mereka mengancam akan membakarnya jika Ali dan pendukungnya tidak
keluar dan membaiat khalifah terpilih. Ali keluar dan memprotes tindakan
tersebut, situasi berubah beringas, tiba-tiba Fatimah muncul dan menjerit “Kalian
telah meninggalkan jenazah Rasulullah pada kami dan kalian telah memutuskan
dikalangan kalian sendiri tanpa bermusyawarah dengan kami dan tanpa menghormati
hak-hak kami, dihadapan Allah aku katakan, apakah kalian keluar segera dari
sini atau dengan rambut diacak-acak aku akan memohon kepada Allah”. Ini
membuat situasi sangat kritis dan rombongan Abu Bakar dipaksa meninggalkan
rumah itu tanpa berhasil mendapat bai’at Ali.[6]
Ali bin Abi Thalib kemudian mengucilkan dirinya hingga kematian Fatimah
enam bulan kemudian, namun Ali tidak dapat bertahan lama dan harus menyerah
dihadapan tekanan yang terus menerus.[7] Berikut ini adalah para sahabat yang berada
pada barisan Ali bin Abi Thalib, diantaranya adalah sebagai berikut : Hudzaifah
bin Al-Yaman, Khuzaimah bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Sahl bin Hunaif,
Utsman bin Hunaif, Al-Bara’a bin Azib Al-Anshari, Abu Dzar bin Jundab Al-Ghiffari,
Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, Al-Miqdad bin Amr, Salman Al-Farisi, Az-Zubair
bin Awwam, dan Khalid bin Sa’id.[8] Ada empat shahabat yang dipandang oleh seluruh
orang Syi’i sebagai empat pilar (al-arkan al-arba’a) yang membentuk
Syi’ah awal Ali, mereka adalah Ammar, Miqdad, Abu Dzar dan Salman.[9]
Sikap pasif Ali dapat dengan mudah digambarkan dengan membandingkan peran
aktif yang dimainkannya selama hayat Muhammad dengan kehidupan non-aktif dan
pengucilan dirinya dalam periode segera setelah kematian Rasul, sebagai orang
paling aktif dan pengikut paling bersemangat dalam seluruh usaha demi Islam dan
sebagai pendekar besar digaris depan dari seluruh pertempuran yang dilakukan
dibawah Muhammad, tiba-tiba Ali berbalik mengucilkan diri, hampir sepenuhnya
terbatas pada empat dinding rumahnya, kontras ini tak dapat terjadi tanpa sebab
serius, melihat keyakinan kokoh Ali bahwa ia memiliki klaim kuat untuk
menggantikan Muhammad, orang tentu akan menduga ia akan berkelahi sampai tetes
darah yang terakhir demi hak-haknya itu, namun ia tidak memilih jalan ini,
meskipun kesempatan itu ada, karena ia menganggap aksi demikian akan membawa
kehancuran Islam yang masih “bayi”.[10] Kendatipun
tetap mengasingkan diri dan bersikap pasif terhadap Abu Bakar dan Umar, Ali tak
jarang membantu khalifah-khalifah itu. Sikap kooperasi yang diberikan kepada
khalifah-khalifah itu tampak wajar diambil oleh setiap pemimpin oposisi yang
baik.[11]
Khalifah Abu Bakar berakhir setelah kurun waktu dua tahun lebih, dan
menjelang wafatnya secara eksplisit ia mengangkat Umar sebagai penggantinya.
Ini adalah surat wasiat Abu Bakar, khalifah Rasulullahn kepada mukminin dan
muslimin....Aku telah mengangkat Umar bin Khattab sebagai pemimpin kalian,
oleh sebab itu dengar dan patuhlah kepadanya, aku tidak menjadikannya pemimpin
kecuali untuk kebaikan.[12] Selama
sepuluh tahun kepemimpinan Umar yang diwarnai dengan invasi militer dan
penaklukan paling spektakuler atas provinsi-provinsi Byzantium dan Persia, Ali
tetap tak ikut serta, pun Ali tak memegang jabatan apapun. Dari tempat
pembaringannya Umar mempersiapkan penggantinya dengan menunjuk Syura/Komite
yang terdiri dari :
1.
Utsman bin Affan,
2.
Abdurrahman bin Auf,
3.
Sa’ad bin Abi Waqqash,
4.
Ali bin Abi Thalib,
5.
Zubair bin Awwam,
6.
Thalhan bin Ubaidillah.
Umar secara cermat
menetapkan aturan yang harus dipatuhi anggota komite :
1.
Khalifah harus berasal
dari komite ini, dipilih oleh suara mayoritas para anggotanya,
2.
Apabila dua kandidat
memiliki jumlah suara sama, orang yang didukung Abdurrahman bin Auf yang harus
diangkat,
3.
Siapapun dari anggota
komite yang mundur dari partisipasi, kepalanya harus dipenggal ditempat,
4.
Bila kandidat sudah
terpilih dan satu atau dua orang anggota komite menolak mengakuinya, maka
minoritas ini atau dalam hal jumlah suara sama banyak, maka kelompok yang
menentang kubu Abdurrahman bin Auf harus dibunuh.[13]
Ketika Ali mendengar aturan yang dipaparkan Umar dan bahwa Abdurrahman
diberikan hak sebagai penentu suara, Ali memprotes dengan berkata, Demi Allah,
khalifah sekali lagi dicabut dari kami karena otoritas terakhir berada ditangan
Abdurrahman bin Auf, yang merupakan teman lama dan ipar Utsman, sementara Sa’ad
adalah sepupu Abdurrahman, tentu ketiga orang ini akan saling mendukung,
seandainya Zubair dan Thalhah memberikan suara padaku, hal itu tidak ada
gunanya.[14]
Abdurrahman bin Auf menawarkan khalifah kepada Ali bin Abi Thalib dengan
dua syarat :
1.
Ia harus memerintah
menurut Al Qur’an dan Sunnah Rasul,
2.
Ia harus mengikuti
preseden/yurisprudensi yang telah ditegakkan dua khalifah terdahulu.
Ali menerima syarat pertama dan menolak syarat kedua, dalam hal ia tidak
menemukan hukum positif dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul ia hanya akan
berpegang pada pendapatnya sendiri. Abdurrahman kemudian berpaling kepada
Utsman, dan Utsman menerima kedua syarat tersebut, kemudian Abdurrahman
memaklumkannya sebagai khalifah.[15] Ketika
Utsman terpilih, umayyah menganggap ini kemenangan bagi seluruh klan, bukan
sukses pribadi Utsman semata, mereka menganggap wajar bahwa khalifah harus
memberi mereka bagian keuntungan, dan tuntutan mereka sulit ditolak khalifah
baru, yang merasa bahwa kekuatannya terletak pada dukungan anggota klannya, ia
lakukan apa saja untuk dapat ia puaskan terhadap tuntutan mereka, dan
masyarakat sangat kecewa ketika mereka melihat bahwa sang khalifah lebih
terikat pada upaya memperbaiki nasib keluarga dan klannya sendiri ketimbang
kesejahteraan msyarakat umumnya.[16]
Ketidak puasan yang membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan ditahun
35/656, ketika rombongan pemberontak dari Kufah, Bashrah dan Mesir bergerak ke
Madinah dibawah kepemimpinan para Qurra, situasi segera berubah kacau
balau, peristiwa yang membawa kepada pembunuhan Utsman, yang pasti pembunuhan
ini berada diluar keinginan para Qurra, sasaran mereka sesungguhnya
adalah memakzulkan Utsman bukan membunuhnya. [17]
Dalam suasana keruh menyusul pembunuhan sang khalifah, satu-satunya
kandidat untuk khalifah yang dapat diterima oleh Muhajirin dan Anshar serta
para Qurra adalah Ali bin Abi Thalib, ditekan oleh permintaan dari hampir
seluruh penjuru negeri, Ali akhirnya setuju menerima jabatan itu, dengan syarat
ia akan memerintah menurut Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Ali mewarisi masalah
besar, adalah Marwan bin Hakam sekretaris Utsman melarikan diri ke syiria
bergabung dengan Mu’awiyah dengan tujuan propaganda, menuntut balas atas
kematian Utsman dan menentang kekhalifahan Ali.[18]
Kesalahfahaman dan propaganda politik mengalami eskalasi yang cukup masif,
sehingga pada ujungnya melahirkan musibah besar bagi internal umat Islam, yaitu
perang saudara pertama dalam Islam. Perang Jamal yang dimotori oleh janda Nabi
Siti Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, perang ini
dimenangkan oleh kubu Ali. Selanjutnya perang Siffin yang dimotori oleh Mu’awiyah
dan klan Umayyah dalam rangka menuntut balas atas kematian Utsman, perang ini
menghasilkan arbitrase/tahkim, yang berujung pada konflik yang lebih besar,
umat Islam terpecah kedalam tiga faksi besar, faksi/syi’ah Ali, faksi
Mu’awiyah, dan Khuwarij. Dalam arti yang lebih luas istilah Syi’ah digunakan
pertama kali dalam dokumen arbitrase di shiffin.[19]
Sejak Ali pindah ke Kufah tahun 36/656, kota ini menjadi pusat utama
gerakan, aspirasi, harapan, dan kadang pusat usaha yang direncanakan bersama
oleh kaum Syi’ah, didalam dan disekitar Kufah inilah banyak terjadi
peristiwa-peristiwa dahsyat yang membuahkan awal sejarah Islam Syi’ah, seperti
mobilisasi pasukan oleh Ali untuk perang Jamal dan Shiffin, pemilihan dan
penurunan Hasan dari khalifah, pemberontakan Hujr bin Adi Al Kindi, pembantaian
Husain, keluarga Nabi dan sahabat-sahabatnya, gerakan tawwabun, dan
pemberontakan Al-Muchtar. Kufah menjadi sejarah kekecewaan Syi’ah dalam rangka
menjadikan Ahlul Bait Nabi sebagai pemimpin umat Islam.[20]
Adalah imam Syi’ah yang keenam, Imam Ja’far Ash-Shadiq, putra sulung
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bi Abi Thalib. Dari
pihak ayahnya Ja’far tentu seorang husainiyah keturunan Rasul, adapun dari
pihak ibunya, Ja’far adalah cicit Abu Bakar, ibunya Ummu Farwah adalah putri Al
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Ummu Farwah adalah cicit Abu Bakar dari pihak
ayah maupun ibunya. Imam Ja’far Ash-Shadiq muncul dengan interpretasi
komprehensifnya tentang fungsi imamah, pandangannya secara kategoris berbeda
dari pandangan yang dominan pada waktu itu, bahwa imam harus sekaligus menjadi
khalifah. Ia mengajukan gagasan tentang pemisahan imamah dan khalifah kedalam
dua institusi terpisah hingga suatu waktu ketika Allah akan menjadikan imam
jaya. Imam ini yang harus dari keturunan Rasul lewat Ali dan Fatimah
mendapatkan otoritas eksklusifnya, bukan dengan klaim politik tapi dengan nash,
ditunjuk secara eksplisit oleh imam sebelumnya dan ia memperoleh ilmu agama
khusus yang diturunkan dalam keluarga, dari generasi ke generasi. Jadi bidang
dan wilayah dari imam terutama adalah kepemimpinan religius dan tuntutan
spiritual masyarakat, bukan kekuasaan duniawi.[21]
Bahwa doktri imamah dan fungsi imam yang diuraikan Ja’far pada tahap ini,
membekali otoritas dasar bagi para teolog dan teoritisi Syi’ah imam dua belas
dikemudian hari, untuk menjelaskan dan menyelesaikan banyak masalah dari
periode pra Ja’far, ini dilakukan dengan menerapkan teori Ja’far tentang imamah
hingga tindakan-tindakan para imam Ahlul Bait yang datang sebelum dia, misalnya
penerimaan Ali bin Abi Thalib terhadap tiga khalifah pertama, pemakzulan Hasan
bin Ali, sikap tidak aktif Husain bin Ali, dan kebijaksanaan tutup mulut Ali
Zainal Abidin bin Husain serta Muhammad Al-Baqir, seluruh persoalan ini
diselesaikan dengan penjelasan Ja’far, bahwa tidak perlu lagi bagi imam yang
sejati untuk memadukan kekuasaan religius dan duniawi dalam dirinya, atau bahkan
menuntut otoritas politik bila keadaan tidak memungkinkan.[22]
2.
Tokoh – Tokoh Syi’ah
Abul
Fadhl, Nashr bin Muzahim bin Sayyar al-Minqari
Salah
seorang sejarawan terhosor Syi'ah lahir di kota Kufah. Akan tetapi, sejarah
tidak mencatat tanggal kelahirannya secara pasti. Sebagian sejarawan menganggap
ia hidup dalam kurun waktu dimana Abu Mikhnaf hidup. Mengingat Abu Nashr
memiliki usia yang cukup panjang dan Abu Mikhnaf meninggal dunia sebelum tahun
170 H., ada kemungkinan ia dilahirkan pada tahun 120 H.
Nashr
bin Muzahim lebih banyak menghabiskan usianya di Baghdad. Pada waktu itu,
Baghdad adalah sebuah kota yang baru dibangun. Akan tetapi, karena kota ini
adalah ibu kota dan pusat kekhalifahan pada masa itu, ia mampu menarik para
ilmuwan tersohor untuk berdomisili di sana. Al-Khathib al-Baghdadi di dalam
buku sejarahnya menyebut Nashr bin Muzahim sebagai salah seorang tokoh ilmuwan
Baghdad. Nashr bin Muzahim meninggal dunia pada tahun 212 H.
Abu
Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Abdullah al-Asy'ari al-Qomi
Dilahirkan
pada abad ketiga Hijriah. Ia adalah salah seorang sahabat para imam ma'shum as.
Ia dilahirkan di kota Qom, kota ilmu agama dan para perawi handal Syi'ah dan
tempat perlindungan bagi para fuqaha dan ilmuwan handal yang selalu mencintai
Ahlul bait Rasulullah SAW. Ia dibesarkan dan dididik di dalam sebuah keluarga
ahli ilmu yang selalu mendambakan kecintaan kepada Ahlul bait Nabi SAW. Dari
sejak masa muda, ia telah menimba ilmu pengetahuan Islam di bawah bimbingan
langsung ayahnya, Muhammad bin Isa al-Asy'ari. Tidak ada informasi yang detail
tentang tahun kewafatannya. Akan tetapi, ia masih hidup sehat hingga tahun 274
H.
Abul
Hasan Ali bin Husein bin Musa bin Babawaeh
Ia
adalah seorang faqih dan pemimpin penduduk Qom yang pendapatnya selalu
diperhitungkan dan dihormati orang. Ia adalah ayah Syeikh Muhammad bin Ali bin
Babawaeh yang lebih dikenal dengan julukan Syeikh Shaduq. Di kalangan ulama dan
fuqaha`, ayah dan putra ini biasa disebut dengan Shaduqain. Para ulama
selalu memperhitungkan pendapatnya. Oleh karena itu, jika mereka tidak
mendapatkan ayat Al Quran atau hadis berkenaan dengan hukum sebuah masalah dan
yang ada hanya fatwa Ali bin Babawaeh, mereka akan menentukan hukum masalah
tersebut berdasarkan fatwanya. Hal ini dikarenakan kedekatan masa hidupnya
dengan masa ma’shumin a.s. yang menjadi faktor penguat bahwa segala yang
ditentukannya pasti berlandaskan kepada sebuah hadis yang tidak diketahui oleh
mereka. Ali bin Babawaeh meninggal dunia pada tahun 329 H.
Abu
‘Amr Muhammad bin Umar bin Abdul Aziz al-Kasyi
Adalah
salah seorang ulama dan tokoh mazhab Syi‘ah yang hidup pada sekitar abad ke-3
dan ke-4 Hijriah. Akan tetapi, kita tidak memiliki informasi yang pasti tentang
tanggal kelahirannya. “Kasy” adalah sebuah daerah yang terletak di pinggiran
kota Samarqand, Asia Tengah.
Masa
al-Kasyi hidup bertepatan dengan permulaan periode Ghaibah Shughra. Karena ia
berdomisili di Baghdad seperti al-Kulaini, dapat dipastikan bahwa ia selalu
berhubungan dengan para wakil khusus Imam dan menimba ilmu dari mereka. Abu
‘Amr al-Kasyi meninggal dunia pada sekitar pertengahan abad ke-4 Hijriah, yaitu
sekitar tahun 350 Hijriah.
Syeikh
Shaduq
Ia
dilahirkan berkat doa Imam Mahdi a.s. pada tahun 311 H. Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Ali bin Babawaeh Al-Qomi. Ayahnya adalah salah seorang ulama
kaliber yang hidup di Qom. Ketika Muhammad masih muda dan setelah ia berhasil
menguasai ilmu-ilmu mukadimah yang diperlukan, ia mempelajari ilmu hadis dan
fiqih dari ulama-ulama besar yang ada di Qom kala itu, seperti ayahnya sendiri,
Muhammad bin Hasan bin Walid (salah seorang faqih kenamaan), Ahmad bin
Ali bin Ibrahim Al-Qomi dan Husein bin Idris Al-Qomi. Di masa Syeikh Shaduq,
Iran secara keseluruhan dikuasai oleh dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab
Syi’ah. Hal ini memberikan kesempatan emas kepadanya untuk mengadakan kunjungan
kepada ulama-ulama kaliber yang hidup di luar kota Qom dan belajar dari mereka.
Ia tidak menyia-siakan kesempatan emas tersebut. Syeikh Shaduq wafat pada tahun
381 H. dalam usianya yang ke-70-an lebih.
Muhammad
bin Muhammad bin Nu‘man dikenal dengan julukan Syaikh Mufid
Ia
dilahirkan di tengah berkecamuknya krisis akidah dan politik pada tahun 338
Hijriah di pinggiran kota Baghdad. Akhirnya, setelah tujuh puluh lima tahun
menghaturkan berbagai pengorbanan dan khidmat berharga, Syaikh yang agung ini
harus meninggalkan dunai yang fana. Ia meninggal
dunia pada tahun tahun 413 Hijriah.[23]
Ayatullah Ruhullah Al
Musawi Khomeini (IMAM KHOMEINI RA)
Ruhullah Musawi Khomeini lahir pada tanggal 20 Jumadis-Tsani 1320 H (24
September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir
di tengah keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang
masih menyimpan darah keturunan Sayidah Fatimah Az-Zahra as, putri Rasulullah
saw. Ruhullah adalah pribadi agung yang menjadi pewaris kemuliaan para bapak
dan kakeknya yang selalu mengabdikan diri untuk membimbing umat dan menuntut
ma’rifat ilahi dari suatu generasi ke generasi lainnya. Ayah Imam Khomeini adalah Al-Marhum Ayatollah
Sayid Mostafa Musawi.
Sejak kecil Ruhullah memang sudah terbiasa dengan derita anak yatim dan
mengenal arti syahid. Di masa kecil dan remajanya, Ruhullah berada di bawah
asuhan ibunya, bernama Hajar. Ibunya sendiri adalah putri keluarga ulama. Ia
adalah cucu Al-Marhum Ayatollah Khounsari, penulis kitab Zubdah Al-Tasanif.
Imam Khomeini telah menyampaikan seluruh tujuan dan cita-cita perjuangan yang
mesti diungkapkan. Dalam prakteknya pun, beliau mengerahkan seluruh daya dan upaya
yang dimilikinya untuk merealisasikan cita-cita tersebut. pukul 22.20 adalah
saat-saat perpisahan. Sebuah jantung yang menghidupkan jutaan jantung-jantung
lainnya dengan sinaran ilahi dan spiritualitas, berhenti berdetak di usianya
yang ke-87 tahun, tangis dan duka rakyat Iran pun tak bisa ditahan.[24]
Ayatullah al-udzma Sayyid Ali Sistani
Ayatullah
Al-Uzhma Sistani lahir di kota Masyhad pada tahun 1349 H. dan dari keluarga
ruhaniawan yang taat beragama.
Setelah menamatkan ilmu-ilmu dasar dan tingkat
menengah (suthuh), beliau mulai mengkaji ilmu rasional dan teologi di
bawah bimbingan guru-guru besar hauzah. Di kota kelahirannya pula beliau
memulai kajian-kajian Bahtsul Kharij fiqih dan menyelesaikannya dengan
baik di bawah bimbingan Allamah Mirza Mahdi Isfahani r.a.
Pada tahun 1368 H., beliau berhijrah ke kota Qom. Di
sana beliau melanjutkan karir ilmiahnya di bidang ilmu fiqih dan ushul fiqih di
bawah asuhan sejumlah ulama’ dan ahli hukum setempat, termasuk marja’ (pemegang
otoritas ijtihad) besar masa itu, Ayatullah Al-Uzhma Sayid Burujerdi r.a.
yang menjadi gurunya dalam ilmu ushul dan fiqih. Selain itu, Sayid Sistani juga
belajar banyak ilmu lainnya, khususnya ilmu Rijal dan hadis pada beliau.[25]
3.
Sekte –
Sekte Syi’ah
öqs9ur uä!$x© y7/u @yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ( wur tbqä9#tt úüÏÿÎ=tGøèC ÇÊÊÑÈ wÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4 y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3 ôM£Js?ur èpyJÎ=x. y7În/u ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèuHødr& ÇÊÊÒÈ
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka.
kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan
memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.
(QS. Huud : 118-119)
Hal pokok yang menjadi persoalan krusial sehingga muncul perselisihan
diantara mereka adalah problem imamah setelelah kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib, Hasan serta Husein. Karena sejak wafatnya Husein, para pengikut Ali
(Syi'ah) berbeda pendapat tentang siapa yang akan mereka jadikan anutan
serta pimpinan setelah itu.[26] Al Imam
Ash Sahrastani dalam Al Milal wa an Nihal menyebutkan bahwa perpecahan
dalam tubuh syi'ah dapat dikelompokkan kedalam empat aliran pokok diantaranya;
Kaisaniyah, Zaidiyah, Ghulat dan Imamiyah. Dari empat kelompok besar inilah
muncul beragam sekte-sekte yang lain.[27]
1. Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte Syi'ah yang mempercayai keimaman Muhammad bin
Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad
bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara Husein dari lain ibu. Nama Kaisaniyah
diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah Ali yang
juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al Baghdadi, al
As'ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama Kaisan
dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas'ud at Tsaqafi salah seorang sahabat
yang sangat mencintai Ali. Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam
dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah
sebenarnya tidak mati tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia
nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam
Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah, pengikut
Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin
Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim
bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte
Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam.[28]
Sekte Kaisaniyah telah lama musnah. Namun kehebatan perjuangan Muhammad bin
Hanafiyah ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan
rumpun Melayu, terlebih lagi orang-orang aceh, mereka mengenalnya dengan
Hikayat Muhammad bin Hanafiyah. Di Makkah sendiri, hikayat ini telah dikenal
sejak abad ke 15 M.[29]
2. Syi'ah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein.
Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin
Husein. Beliau merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki
keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. Tentang Zaid bin Ali zainal
Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban menyebutkan profilnya dalam kitab At
Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan beliau mengatakan, al Jama'ah
meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari para sahabat Rasulullah. Demikian pula
Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad 'Ali."[30]
Dimasa Zaid inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah mulai
dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan sebuah
riwayat tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz menyebutkan
kedatangan para penganut syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali
Zainal Abidin seraya bertanya, "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang
Abu Bakar dan Umar ?. Zaid berkata, "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku
tidak pernah mendengar seorang pun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada
keduanya. Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan
(keduanya baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang
menyenangkan hati mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid.
Mereka ini menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.[31]
Pada tahun 122 H, Zaid sempat mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan
Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umayyah yang
terkenal dzalim. Pada saat itulah Zaid wafat dalam pertempuran yang tak
seimbang. ketika perang terjadi, pendukung Ali yang berasal dari Kuffah
tiba-tiba meninggalkan Zaid sehingga hanya tersisa 218 orang saja. Dalam
pertempuran inilah Zaid rahimahullah gugur. Dalam hal ini Al Imam Abu
Hanifah yang hidup sezaman dengannya berkata;
"Sekiranya aku yakin bahwa rakyat akan tetap berdiri secara tulus
disampingnya dan tidak akan meninggalkannya, niscaya aku juga akan ikut
bersamanya dan berjuang memerangi orang-orang yang menentangnya, sebab dia
adalah imam yang haq. Tetapi aku khawatir mereka akan menelantarkannya
sebagaimana mereka telah berbuat terhadap kakeknya (Husein bin Ali bin Abi
Thalib). Bagaimanapun aku akan membantunya dengan hartaku, sehingga dia
akan menjadi semakin kuat melawan musuh-musuhnya.[32]
Setelah wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin para pengikutnya mengklaim
beliau sebagai imam Syi'ah yang kelima. Syi'ah Zaidiyah berpandangan lebih
mengunggulkan kekhilafahan Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun
kehilafahan mereka tetap diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran
dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah
dan dalam bidang furu' ia menganut paham Hanafiyah. Hal ini jelas berbeda
dengan pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar
dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir
menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh dengan al Qur'an
dan sunnah Nabi.[33]
3. Syi'ah Ghulat
Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka
adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan
kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, mereka juga meyakini para imam-imam
pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi,
bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah
Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil
beliau dengan sebutan; "Anta, Anta" yang merujuk kepada makna
Tuhan. Sebagian dari mereka mendapatkan eksekusi mati, sementara itu pemimpin
mereka yang bernama Abdullah bin Saba' dibuang ke Mada'in. Pada
perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang menyalahkan sikap Ali,
mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak menuntut kehilafahannya
setelah wafatnya Rasulullah. Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua
golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal
dari ide-ide Syi'ah Abdullah bin Saba'.[34]
Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi
menyebutkan, meski tak se-ekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi
Thalib hingga ke tingkat Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap
Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad.
Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab
itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.[35]
4. Syi'ah Imamiyah
Secara garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi
Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah
beliau wafat. Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu
Bakar, Umar dan Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami
perpecahan menjadi beberapa golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah 12
adalah yang tebesar, disusul Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah,
keduanya memerankan perpolitikan yang cukup signifikan. Syi'ah Isma'iliyah
misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di Mesir dan
Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah setelah
berhasil mengadakan beberapa pemberontakan. Beberapa doktrin bermasalah yang
dibawa gerakan ini diantaranya adalah perintah syari'at Islam hanya berlaku
bagi orang awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah seorang mujaddid,
para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, al
Qur'an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti
lahir dan arti bathin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja.
Keyakinan gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar dari perpaduan ajaran syi'ah
dengan filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala Ikhwan as Shafa.[36]
Pemimpin pergerakan Isma'iliyah yang mewujudkan khilafah Fathimiyah adalah
Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah mendakwakan dirinya sebagai al Mahdi ke
7. Dakwaan itu mendapat sambutan kelompok pengikut-pengikutnya dan terus
menjadi gelombang masa yang makin terorganisir dengan baik. Hingga pada
tahun 909 M, Ubaidillah berhasil memproklamirkan diri menjadi khalifah/Imam
untuk dinasti Fathimiyah yang terpisah dari dinasti Abbasiyah. Nama Fathimiah
diambil menjadi nama resmi kekuasaan Syi'ah Isma'iliyah, merujuk kepada nama
putri Rasulullah, Fatimah Az Zahra radhiyallahu'anha sekaligus
penisbatan keturunan mereka.[37]
Demikian halnya dengan kelompok Syi'ah 12. Dinasti Buwaihi merupakan
penjelmaan dari gerakan syi'ah ini. Mereka berhasil menggulingkan dinasti
Abbasiyah selama kurang lebih satu abad lamanya. Bahkan hingga kini, mereka
tetap eksis dengan Republik Islam Iran sebagai basis gerakannya. Mereka
berpandangan bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan 12 orang Imam sebagai penerus
Risalah, yaitu Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al Baqir, Ja'far as Shadiq, Musa Al Kadzim, Ali ar Ridha, Muhammad al Jawwad,
Ali al Hadi, Hasan al Askari, dan Muhammad al Mahdi.[38]
4.
Pokok – Pokok Ajaran Syi’ah
Kaum
Syi’ah memiliki 5 pokok ajaran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya
diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.[39]
At Tauhid, Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat
bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak
serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah
memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap
ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa),
hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim, azaliy dan
baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq
(benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah
yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi
antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu,
berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah
dimilikiNya.
Al ‘Adl, Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha
Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk.
Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat
manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada
tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang
dilakukan Allah SWT adalah baik.
An Nubuwwah, Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda
halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan
rasul untuk membimbing umat manusia. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat
bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah
nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada,
istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi
terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat
menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal.
Al Imamah, Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama
sekaligus dalam dunia. Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at,
melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah),
dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak
menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin
selain imam adalah pemimpin yang ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu
pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali pemerintahan Ali Bin Abi
Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam dianggap
ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga imam tidak berdosa.
Al Ma’ad, Secara harfiah adalah tempat kembali, yang dimaksud disini adalah
akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara
keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya.
Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala
perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada
saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan
menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.
Doktrin –
doktrin yang diajarkan Syi’ah Zaidiyah
1.
Condong
kepada mu’tazilah dalam masalah yang berkaitan dengan Zat Allah dan hukum yang berkenaan pelaku dosa besar dan
mereka menyamai pendapat mu’tazilah dalam masalah manzilah bain al manzilatain,
2.
Mereka
membolehkan Imamah pada semua anak-anak Fatimah,
3.
Mengakui
kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman serta mereka juga tidak melaknat mereka
sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah,
4.
Mereka
tidak membenarkan Nikah Mut’ah,
5.
Mereka
berpandangan sama dengan Syi’ah Rafidhah dalam zakat humus dan bolehnya taqiyyah
dalam keadaan terpaksa/darurat,
6.
Dalam
adzan mereka ditambah dengan kalimat “hayya ‘ala khairil ‘amal”,
7.
Mereka
berpandangan shalat tarawih adalah bid’ah,
8.
Mereka
menolak sholat dibelakang imam yang dzalim,
9.
Mereka
tidak mengimani Mahdi Al Muntadhar,
10.
Mereka
berpandangan bahwa wajibnya memberontak atas pemimpin yang dzalim dan tidak
wajib taat atasnya.
Doktrin -
Doktrin yang diajarkan Syi’ah Ghulat
1.
Tanasukh
yang merupakan keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad
yang lain. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga
ada yang menyatakan seperti Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far
bahwa Roh Allah berpindah kepada Nabi Adam dan Nabi-nabi berikutnya, seterusnya
kepada imam-imam secara turun-temurun,
2.
Bada’
yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan
perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.
3.
Raj’ah
yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa
Imam Mahdi Al-Muntadhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini
merupakan ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat
tentang siapa yang akan kembali.
4.
Tasbih
artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih
ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
5.
Hulul
artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma
dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
6.
Ghayba
yang artinya menghilangnya Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah
bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata
biasa. Konsep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada
tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai
Imam Mahdi.
5. Implikasi Sosial yang ditimbulkan Syi’ah
Syi’ah sebagai sebuah aliran yang berkembang dalam sejarah
perkembangan Islam memiliki keunikan tersendiri dan perkembangan yang
signifikan. Permasalahan politis yang mewarnai kelahiran aliran Sunni dan
Syi’ah menjadikan kedua aliran tersebut masuk ke bingkai pemikiran teologis
yang mempunyai corak keyakinan tertentu yang membedakan satu dengan lainnya.
Implikasinya adalah, adanya perbedaan dalam memahami masalah yang menyangkut
sumber ajaran Islam, permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh aliran Sunni
dan Syi’ah dalam masalah tersebut sangat prinsip. Untuk mendudukan Syi’ah dalam
koridor yang ada maka perlu dikemukakan doktrin keagamaan dan sosial yang ada
dalam ajaran tersebut. Dari konteks keagamaan kemudian diturunkan ke dalam
konteks sosial. Menurut Syi‘ah, doktrin imamah dikemukakan oleh Nabi dalam haji
wada’ di Gadir Khum, doktrin ini juga dipahami sebagai contoh dari upaya awal
untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum, serta memberikan suatu
teori politik yang koheren. Akan tetapi prinsip dasar tentang suksesi yang
dikemukakan oleh doktrin ini tidak pernah diterima secara universal, dan tetap
menjadi harapan eskatologis.[40]
Dalam
pandangan kaum Syi‘ah, Imam bukan sekedar penguasa yang wajib ditaati, ia merupakan satu-satunya yang berwenang dalam
menafsirkan dan mengimplementasi-kan hukum Tuhan. Ia juga seorang yang ma’sum
dari segala kesalahan, Ia haruslah seorang yang dapat memberi petunjuk kepada
manusia atas jalan yang benar dan melarang berbuat salah dalam hukum. Seorang
imam harus lebih mulia dan utama di mata rakyatnya dalam hal ilmu pengetahuan
dan akhlak.[41] Dari
sini terlihat bahwa antara Syi‘ah dan Sufisme memiliki pandangan sama pada
gerakan protes terhadap kekuasaan zalim, dan dalam hal ketidaksetujuannya terhadap
segala bentuk kemewahan dan hingar-bingarnya.
Dalam
Syi’ah, kemunculan Imam Mahdi adalah permasalahan yang sudah pasti, hari yang
dijanjikan dengan kemunculan Imam Mahdi adalah langkah awal untuk menuju Hari
Akhir yang telah dijanjikan Allah. Di antara tanda-tanda kemunculannya adalah
ketika bumi ini telah dipenuhi dengan kerusakan, kebobrokan, ketidakadilan dan
penindasan yang merajalela. Kemunculan al-Mahdi akan memenuhi bumi dengan
keadilan, persamaan hak dan penegakan moral. Keadilan menempati posisi puncak
dari seluruh nilai-nilai kemanusiaan, menempati posisi final dalam wilayah
interaksi manusia, dan merupakan cita-cita yang sangat indah dari semua bangsa.
Oleh sebab itu, konsep Imam Mahdi dalam Islam mempunyai hubungan yang sangat
kuat dengan konsepsi Islam mengenai keadilan dan persamaan hak.
Selain
gaya esoterisme Syi‘ah yang diajarkan dalam rangka membumikan
kebenaran-kebenaran agama, Adalah doktrin taqiyyah (expedient
dissimulation) atau bisa diartikan sebagai penyamaran yang perlu. Secara
etimologi, kata taqiyyah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata waqa-yaqi
yang berarti melindungi atau menjaga diri, praktek taqiyyah diartikan
bahwa seseorang yang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktek tertentu
dari agamanya dalam keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya
sebagai akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau
praktek-praktek keagamaan tertentu.
Marja’iyyah,
yang kemudian menjelma ke dalam Wilayat al-Faqih dalam
struktur sistem ketatanegaraan Republik Islam Iran, merupakan sebuah
doktrin keagamaan yang juga menduduki posisi sentral dalam Syi‘ah. Karena
doktrin tersebut nantinya akan menentukan bagaimana masyarakat akan menjalani
sebuah pemahaman keagamaan, baik dalam bidang teologis, filosofis, politik,
ekonomi, sosial-budaya dan lain sebagainya. Konsep Marja’iyyah ialah
proses pelimpahan tanggungjawab kepemimpinan kepada para fuqaha yang bersifat
adil, setiap orang Syi‘ah yang tidak mampu mengambil kesimpulan hukum dalam
permasalahan sehari-hari harus merujuk kepada para Fuqaha. Hal ini disebabkan
karena para Fuqaha merupakan penerus kepemimpinan Imam Mahdi selama masa
kegaibannya, wewenang atau kekuasaan yang dimiliki fuqaha terhadap umat sangat
besar, semangat agama terlihat di dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial dan
budaya.[42]
Doktrin ini melahirkan tatanan masyarakat yang menyatu dengan ruh keislaman dan
menjadikan suatu kekuatan tersendiri dalam berbagai bidang, doktrin keagamaan
dan sosial juga termanifestasikan dalam akselerasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, Sehingga nampak bahwa ada kontinuitas dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang di Syi‘ah.
DAFTAR PUSTAKA
S.H.M.
Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah, Dari Saqifah sampai
Imamah, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1995)
Abu Ja’far Ath Thabari, Tarikh Ar-Rasul Wa Al-Muluk, ed.
M.J. De Goeje et al. (Leiden 1879-1901)
Ahmad
b. Yahya b. Jabir Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, Jilid 1, ed. Muhammad
Hamidullah, Kairo 1955: jilid IV A-B, ed. Max Schloessinger, Jerussalem
1938-1971: jilid V, ed. S.D.F. Goitein, Jerussalem 1936
Muhammad Ibnu Sa’ad, Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra, (Beirut :
1957)
Ahmad bin Ali Ya’qub Al-Wadhih Al-Ya’qubi, At-Tarikh, (Beirut
: 1960)
http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/index.htm, 12 November
2012
http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-singkat-ayatullah-ruhullah-al.html
http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-ayatullah-al-udzma-sayyid-ali.html
Abi al Fath Muhammad
bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, (Beirut : Dar
Surûr, 1948)
Ahmad Qusyairi Isma'il,
et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi’ah dalam Ukhuwah, Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab,
(Sidogiri : Pustaka Sidogiri, 2008)
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2000)
Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar
Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, (Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah,
1996)
Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, (Beirut:
Dâr al Ma'rifah, 1999)
Abul A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al
Baqir, (Bandung: Mizan, 2007)
Tim Penyusun, Mengapa
Kita Menolak Syi'ah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah,
(Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002)
Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul Islâm, terj. Rifyal Ka'bah,
(Jakarta: Penerbit Minaret, 1987)
Mohammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1981)
Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta : Sinar
Grafika Offset, 1998)
Mahmoud
M. Ayoub, The
Crisis of Muslim History: Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj.
Munir A. Mu’in (Bandung : Mizan, 2004)
Aboe
Bakar Aceh, Syi‘ah, Rasionalisme dalam Islam, (Solo : Ramadhani, 1988)
Seyyed
Hossein Nasr, Islam, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung
: Pustaka, 1983)
[1]. S.H.M. Jafri, Awal dan Sejarah
Perkembangan Islam Syi’ah, Dari Saqifah sampai Imamah, (Bandung : Pustaka
Hidayah, 1995), Cet. Ke-2., h. 57
[2]. Ibid., h. 57-58
[3]. Abu Ja’far Ath Thabari, Tarikh Ar-Rasul
Wa Al-Muluk, ed. M.J. De Goeje et al. (Leiden 1879-1901), h. 1683
[4]. S.H.M. Jafri, Op. Cit. 83-84
[5]. Ibid., h. 85
[6]. Ahmad b. Yahya b. Jabir Al-Baladzuri, Ansab
Al-Asyraf, Jilid 1, ed. Muhammad Hamidullah, Kairo 1955: jilid IV A-B, ed.
Max Schloessinger, Jerussalem 1938-1971: jilid V, ed. S.D.F. Goitein,
Jerussalem 1936, h. 585
[7]. Ibid., h. 586
[8]. Muhammad Ibnu Sa’ad, Kitab Ath-Thabaqat
Al-Kubra, (Beirut : 1957), h. 97
[9]. S.H.M. Jafri, Op. Cit. 94
[10]. Abu Ja’far Ath Thabari, Op. Cit. 1827
[11]. S.H.M. Jafri, Op. Cit. 97
[12]. Abu Ja’far Ath Thabari, Op. Cit. 2138
[13]. Ahmad bin Ali Ya’qub Al-Wadhih Al-Ya’qubi, At-Tarikh,
(Beirut : 1960), II., h. 160
[14] . Ahmad b. Yahya b. Jabir Al-Baladzuri, Op. Cit. V., h. 19
[15]. Ahmad bin Ali Ya’qub Al-Wadhih Al-Ya’qubi, Op.
Cit. I., h. 162
[17]. S.H.M. Jafri, Op. Cit. 131
[18]. Ibid., h. 133
[19]. Abu Ja’far Ath Thabari, Op. Cit. I.
h. 3336
[20]. S.H.M. Jafri, Op. Cit. h.
147
[21]. Ibid., h. 380
[22]. Ibid., h. 381
[24]. http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-singkat-ayatullah-ruhullah-al.html
[25]. http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-ayatullah-al-udzma-sayyid-ali.html
[27]. Abi al Fath
Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, (Beirut :
Dar Surûr, 1948), Jilid I, h. 235
[28]. Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah
Sunnah – Syi’ah dalam Ukhuwah, Jawaban
atas Buku Dr. Quraish Shihab, (Sidogiri : Pustaka Sidogiri, 2008), h. 54
[30]. Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb
al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, (Beirut:
Mu'assasah Ar Risâlah, 1996), Jilid, 10, h. 96-98
[31]. Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al
Bidâyah wa an Nihâyah, (Beirut: Dâr al Ma'rifah, 1999), Jilid 9, h.
382
[32]. Abul A'la Al
Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, (Bandung:
Mizan, 2007), h. 308
[34]. Tim
Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional
tentang Syi'ah, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002),
h. 6-7
[35]. Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul
Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, (Jakarta: Penerbit Minaret, 1987), h. 25. lihat
juga, Ensiklopedi Islam, Jilid V, h. 10
[36]. Mohammad
Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya, 1981), h. 129
[39]. Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah,
(Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1998)
[40]. Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-Akar Krisis
Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung :
Mizan, 2004), h. 34
[41]. Aboe Bakar Aceh, Syi‘ah, Rasionalisme dalam Islam, (Solo : Ramadhani, 1988), h. 24
Betfair Casino: Where to play & Get Directions - Mapyro
BalasHapusLocated 영천 출장샵 in the heart of the Gold Coast 거제 출장샵 in the heart of Gold 제주도 출장샵 Coast's famous Gold Coast 서산 출장안마 area, Betfair is a 파주 출장마사지 fun, live casino and hotel with a