Sabtu, 19 Oktober 2013

Syi'ah






ALIRAN SYI’AH
ASPEK SEJARAH, TOKOH, SEKTE-SEKTE DAN POKOK-POKOK AJARAN SERTA IMPLIKASI SOSIAL YANG DITIMBULKANNYA
 
I.              IFTITAH
Maraknya perbincangan seputar Syi’ah tidak terlepas dari peristiwa politik paling spektakuler yang terjadi di Iran, yaitu revolusi nasional yang dipimpin oleh seorang mullah terkemuka dari pengasingan di Paris Perancis Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini (Imam Khomeini RA), revolusi Islam menggulingkan rezim dinasti Shah Reza Pahlevi yang notabene adalah “boneka” Amerika Serikat dan Eropa serta menjadi tonggak sejarah awal berdirinya Republik Islam Islam yang dimotori oleh tokoh-tokoh syi’ah ushuli.
Revolusi dengan sendirinya anti kemapanan (astablishment), peristiwa revolusioner di suatu negara akan menjadi kewas-wasan tersendiri bagi negara-negara disekelilingnya, termasuk negara-negara yang relatif jauh, karena adanya kesamaan struktur sosial dan demografis termasuk kepentingan politik tertentu. Hal ini barangkali kurang berdampak signifikan terhadap negara Indonesia, disamping karena kecilnya syi’isme di Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas juga struktur sosial dan demografis yang agak berbeda jauh dengan timur tengah, ditambah kepentingan politik ekonomi Indonesia  yang tidak terlalu signifikan.
Lebih dari itu semua, yang lebih baik atau yang diperlukan adalah melihat syi’ah bukan sebagai masalah baik sebagai agama, ideologi, fenomena sejarah, politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Syi’ah harus dilihat sebagai kenyataan sejarah internasional Islam baik untuk hari ini maupun untuk masa depan Islam, disamping itu juga yang jauh lebih penting lagi bahwa syi’ah adalah kenyataan historis yang secara tak terpungkiri ikut mewarnai sejarah agama dan umat Islam selama lima belas abad. Mengingkari kenyataan-kenyataan tersebut adalah suatu bentuk kenaifan, kepicikan dan kekerdilan berfikir manusia, bahkan adalah suatu kemustahilan, mengingkari sama dengan menolak kebenaran fakta sejarah. Maka dalam rangka melihat syi’ah sebagai sebuah kenyataan internasional umat Islam, diperlukan sikap yang lebih bersedia untuk memahami, mengkaji, mentelaah, secara obyektif dengan nalar yang sehat dan hati yang tulus dan jujur serta dilaksanakan dengan sikap arif dan bijaksana, disamping itu juga mengenali secara seksama interaksi syi’ah dengan aliran-aliran Islam yang lain, khususnya dengan sunnisme. Selanjutnya umat Islam harus belajar hidup berdampingan dengan memberikan ruang toleransi yang manusiawi berdasar kenyataan internasional umat Islam tersebut.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
* tûüÎ6ÏYãB Ïmøs9Î) çnqà)¨?$#ur (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# Ÿwur (#qçRqä3s? šÆÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÌÊÈ z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè%§sù öNßguZƒÏŠ (#qçR%Ÿ2ur $YèuÏ© ( @ä. ¥>÷Ïm $yJÎ/ öNÍköys9 tbqãm̍sù ÇÌËÈ
Artinya : Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta Dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar Ruum : 31-32)
Terbaginya umat Islam menjadi dua kelompok besar Sunni dan Syi’ah adalah wajar, alami, dan tak terhindarkan, karena merupakan produk proses sejarah yang mustahil dihapus. Yang tidak alami, tidak wajar dan tidak sesuai dengan sifat dasar kemanusiaan adalah jika seseorang atau suatu kelompok merasa benar sendiri, lalu memaksakan kehendak dan pandangannya kepada orang atau kelompok lain, seolah pemegang kunci sorga. Hal itu termasuk syirik, politheisme, dosa yang tak terampuni.

II.            PEMBAHASAN     
1.             Sejarah Syi’ah
Dalam tiap upaya menentukan asal muasal perasaan-perasaan seorang Syi’i dalam Islam, orang harus berusaha memeriksa secara detail peristiwa paling dini dimana perasaan itu memanifestasikan dirinya. Sejarah masyarakat dalam tiap cabang, apakah politik, budaya, agama, atau undang-undang adalah sesuatu yang berkesinambungan. Tidak ada organisasi religius atau kemasyarakatan, juga tidak ada titik pandang khusus dalam tradisi religius dapat difahami secara seksama tanpa merujuk pada awal kebangkitan nyatanya.[1]   
Secara historis peristiwa saqifah adalah kaitan yang tak dapat diputuskan dengan kemunculan pandangan Syi’i, saqifah adalah balairung tua di Madinah tempat dimana orang biasa menggunakannya untuk diskusi dan menyelesaikan problema genting mereka. Disanalah setelah terbetik berita kematian Rasul, orang Madinah berkumpul untuk memilih pemimpin mereka. Disanalah sekelompok Muhajirin memaksakan kepada kaum Anshar kehendak mereka untuk menerima Abu Bakar sebagai pemimpin tunggal umat. Dalam pertemuan di saqifah ini sebagian suara diajukan dalam mendukung klaim Ali bagi khalifah, maka saqifah harus diambil sebagai nama umum bagi awal perpecahan muslimin. Mengabaikannya dalam rangka menyelidiki sejarah Syi’ah dan perkembangannya yang kemudian dalam Islam, pasti akan membawa kepada kesalahfahaman dan kesimpulan yang salah. Oleh sebab itu, merupakan keharusan sejarah untuk menguji laporan rapat saqifah dan berusaha menetapkan poko-pokok yang terbit di dalamnya yang akhirnya menemukan ekspresinya dalam penegakan disiplin Syi’ah dalam Islam.[2]
Setelah mengabarkan kepada khalayak tentang kematian Muhammad SAW. Abu Bakar, bersama Umar dan Abu Ubaidah pergi kerumah Abu Ubaidah, disana mereka berkumpul untuk membicarakan masak-masak mengenai krisis kepemimpinan yang genting yang telah timbul karena kematian Rasul, dan tentu saja mengamati perasaan benci kaum Anshar yang telah berkembang beberapa lama. Disanalah Majelis Muhajirin diganggu oleh seorang pelapor yang nyelonong masuk untuk mengabarkan kepada mereka apa yang sedang dilakukan Anshar. Mendengar itu, Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bergegas ke Saqifah untuk mencegah perkembangan yang tidak diharapkan. Dan ketika mereka tiba di Saqifah Bani Sa’idah, kaum anshar telah berkumpul dan ditengah-tengah mereka ada seorang yang berselimut, beliau adalah Sa’ad bin Ubadah yang lagi sakit. [3]  
Abu Bakar berkata, semua kebaikan yang telah kalian utarakan tentang diri kalian memang pantas, namun orang arab tak akan mengakui otoritas kecuali dalam suku Quraisy, kami adalah orang pertama dalam Islam, keturunan kami ningrat, dan kami lebih dekat dengan Rasul, dan kalian adalah saudara kami dalam Islam, kalian menolong kami, melindungi dan menyokong kami, maka kami adalah penguasa (umara) dan kalian adalah wakil (wuzara), orang arab tidak akan tunduk kecuali pada Quraisy, Rasul berkata, para pemimpin adalah dari kalangan Quraisy (Al – A’immatu Min Al – Quraisy), karena itu jangan bersaing dengan saudara kalian kaum Muhajirin, dalam apa yang telah dikaruniakan kepada mereka.[4]    
Al Mundzir bin Arqam menyahut tajam, kami tidak akan menolak jasa yang kalian sebutkan, sesungguhnya dikalangan kalian ada seorang yang tak akan dipertengkarkan orang jika ia kehendaki otoritas ini, dan orang itu adalah Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al Hubab bin Mundzir menawarkan penyelesaian kompromi, biarlah kami mengangkat seorang pemimpin dari kalangan kami sendiri, dan pemimpin lain dari kalangan kalian. Umar menyahut, dua pedang tak dapat berada dalam satu sarung, Demi Allah, orang arab tak akan sepakat dengan otoritasmu sementara Rasul mereka dari kalangan lain. Petengkaran urat saraf-pun makin berkobar panas dan suara makin keras, demi menghindarkan bentrokan, Umar bin Khattab berteriak, bentangkan tanganmu Abu Bakar, lalu Umar berbaiat kepadanya, kaum muhajirin mengikutinya lalu diikuti oleh yang lain.[5] 
Ali bin Abi Thalib dan orang-orang dekatnya dari keluarga Bani Hasyim tidak tahu tentang keputusan yang diambil di saqifah, mereka baru mendengar setelah Abu Bakar dan Umar beserta robongannya datang ke masjid Nabi dengan suara yang hiruk-pikuk. Abu Bakar dan Umar mengundang Ali bin Abi Thalib dan keluarga Bani Hasyim yang lain ke masjid untuk memberi baiat, mereka menolak datang. Mendapati situasi seperti ini Umar menasehati Abu Bakar untuk segera bertindak. Abu Bakar dan Umar beserta pasukan bersenjata mendatangi ruma Ali dan mengepungnya, mereka mengancam akan membakarnya jika Ali dan pendukungnya tidak keluar dan membaiat khalifah terpilih. Ali keluar dan memprotes tindakan tersebut, situasi berubah beringas, tiba-tiba Fatimah muncul dan menjerit “Kalian telah meninggalkan jenazah Rasulullah pada kami dan kalian telah memutuskan dikalangan kalian sendiri tanpa bermusyawarah dengan kami dan tanpa menghormati hak-hak kami, dihadapan Allah aku katakan, apakah kalian keluar segera dari sini atau dengan rambut diacak-acak aku akan memohon kepada Allah”. Ini membuat situasi sangat kritis dan rombongan Abu Bakar dipaksa meninggalkan rumah itu tanpa berhasil mendapat bai’at Ali.[6]  
Ali bin Abi Thalib kemudian mengucilkan dirinya hingga kematian Fatimah enam bulan kemudian, namun Ali tidak dapat bertahan lama dan harus menyerah dihadapan tekanan yang terus menerus.[7]  Berikut ini adalah para sahabat yang berada pada barisan Ali bin Abi Thalib, diantaranya adalah sebagai berikut : Hudzaifah bin Al-Yaman, Khuzaimah bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Sahl bin Hunaif, Utsman bin Hunaif, Al-Bara’a bin Azib Al-Anshari, Abu Dzar bin Jundab Al-Ghiffari, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, Al-Miqdad bin Amr, Salman Al-Farisi, Az-Zubair bin Awwam, dan Khalid bin Sa’id.[8]  Ada empat shahabat yang dipandang oleh seluruh orang Syi’i sebagai empat pilar (al-arkan al-arba’a) yang membentuk Syi’ah awal Ali, mereka adalah Ammar, Miqdad, Abu Dzar dan Salman.[9]  
Sikap pasif Ali dapat dengan mudah digambarkan dengan membandingkan peran aktif yang dimainkannya selama hayat Muhammad dengan kehidupan non-aktif dan pengucilan dirinya dalam periode segera setelah kematian Rasul, sebagai orang paling aktif dan pengikut paling bersemangat dalam seluruh usaha demi Islam dan sebagai pendekar besar digaris depan dari seluruh pertempuran yang dilakukan dibawah Muhammad, tiba-tiba Ali berbalik mengucilkan diri, hampir sepenuhnya terbatas pada empat dinding rumahnya, kontras ini tak dapat terjadi tanpa sebab serius, melihat keyakinan kokoh Ali bahwa ia memiliki klaim kuat untuk menggantikan Muhammad, orang tentu akan menduga ia akan berkelahi sampai tetes darah yang terakhir demi hak-haknya itu, namun ia tidak memilih jalan ini, meskipun kesempatan itu ada, karena ia menganggap aksi demikian akan membawa kehancuran Islam yang masih “bayi”.[10] Kendatipun tetap mengasingkan diri dan bersikap pasif terhadap Abu Bakar dan Umar, Ali tak jarang membantu khalifah-khalifah itu. Sikap kooperasi yang diberikan kepada khalifah-khalifah itu tampak wajar diambil oleh setiap pemimpin oposisi yang baik.[11]
Khalifah Abu Bakar berakhir setelah kurun waktu dua tahun lebih, dan menjelang wafatnya secara eksplisit ia mengangkat Umar sebagai penggantinya. Ini adalah surat wasiat Abu Bakar, khalifah Rasulullahn kepada mukminin dan muslimin....Aku telah mengangkat Umar bin Khattab sebagai pemimpin kalian, oleh sebab itu dengar dan patuhlah kepadanya, aku tidak menjadikannya pemimpin kecuali untuk kebaikan.[12] Selama sepuluh tahun kepemimpinan Umar yang diwarnai dengan invasi militer dan penaklukan paling spektakuler atas provinsi-provinsi Byzantium dan Persia, Ali tetap tak ikut serta, pun Ali tak memegang jabatan apapun. Dari tempat pembaringannya Umar mempersiapkan penggantinya dengan menunjuk Syura/Komite yang terdiri dari :
1.        Utsman bin Affan,
2.        Abdurrahman bin Auf,
3.        Sa’ad bin Abi Waqqash,
4.        Ali bin Abi Thalib,
5.        Zubair bin Awwam,
6.        Thalhan bin Ubaidillah.
Umar secara cermat menetapkan aturan yang harus dipatuhi anggota komite :
1.        Khalifah harus berasal dari komite ini, dipilih oleh suara mayoritas para anggotanya,
2.        Apabila dua kandidat memiliki jumlah suara sama, orang yang didukung Abdurrahman bin Auf yang harus diangkat,
3.        Siapapun dari anggota komite yang mundur dari partisipasi, kepalanya harus dipenggal ditempat,
4.        Bila kandidat sudah terpilih dan satu atau dua orang anggota komite menolak mengakuinya, maka minoritas ini atau dalam hal jumlah suara sama banyak, maka kelompok yang menentang kubu Abdurrahman bin Auf harus dibunuh.[13]
Ketika Ali mendengar aturan yang dipaparkan Umar dan bahwa Abdurrahman diberikan hak sebagai penentu suara, Ali memprotes dengan berkata, Demi Allah, khalifah sekali lagi dicabut dari kami karena otoritas terakhir berada ditangan Abdurrahman bin Auf, yang merupakan teman lama dan ipar Utsman, sementara Sa’ad adalah sepupu Abdurrahman, tentu ketiga orang ini akan saling mendukung, seandainya Zubair dan Thalhah memberikan suara padaku, hal itu tidak ada gunanya.[14]
Abdurrahman bin Auf menawarkan khalifah kepada Ali bin Abi Thalib dengan dua syarat :
1.        Ia harus memerintah menurut Al Qur’an dan Sunnah Rasul,
2.        Ia harus mengikuti preseden/yurisprudensi yang telah ditegakkan dua khalifah terdahulu.
Ali menerima syarat pertama dan menolak syarat kedua, dalam hal ia tidak menemukan hukum positif dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul ia hanya akan berpegang pada pendapatnya sendiri. Abdurrahman kemudian berpaling kepada Utsman, dan Utsman menerima kedua syarat tersebut, kemudian Abdurrahman memaklumkannya sebagai khalifah.[15] Ketika Utsman terpilih, umayyah menganggap ini kemenangan bagi seluruh klan, bukan sukses pribadi Utsman semata, mereka menganggap wajar bahwa khalifah harus memberi mereka bagian keuntungan, dan tuntutan mereka sulit ditolak khalifah baru, yang merasa bahwa kekuatannya terletak pada dukungan anggota klannya, ia lakukan apa saja untuk dapat ia puaskan terhadap tuntutan mereka, dan masyarakat sangat kecewa ketika mereka melihat bahwa sang khalifah lebih terikat pada upaya memperbaiki nasib keluarga dan klannya sendiri ketimbang kesejahteraan msyarakat umumnya.[16] 
Ketidak puasan yang membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan ditahun 35/656, ketika rombongan pemberontak dari Kufah, Bashrah dan Mesir bergerak ke Madinah dibawah kepemimpinan para Qurra, situasi segera berubah kacau balau, peristiwa yang membawa kepada pembunuhan Utsman, yang pasti pembunuhan ini berada diluar keinginan para Qurra, sasaran mereka sesungguhnya adalah memakzulkan Utsman bukan membunuhnya. [17]  
Dalam suasana keruh menyusul pembunuhan sang khalifah, satu-satunya kandidat untuk khalifah yang dapat diterima oleh Muhajirin dan Anshar serta para Qurra adalah Ali bin Abi Thalib, ditekan oleh permintaan dari hampir seluruh penjuru negeri, Ali akhirnya setuju menerima jabatan itu, dengan syarat ia akan memerintah menurut Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Ali mewarisi masalah besar, adalah Marwan bin Hakam sekretaris Utsman melarikan diri ke syiria bergabung dengan Mu’awiyah dengan tujuan propaganda, menuntut balas atas kematian Utsman dan menentang kekhalifahan Ali.[18]  
Kesalahfahaman dan propaganda politik mengalami eskalasi yang cukup masif, sehingga pada ujungnya melahirkan musibah besar bagi internal umat Islam, yaitu perang saudara pertama dalam Islam. Perang Jamal yang dimotori oleh janda Nabi Siti Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, perang ini dimenangkan oleh kubu Ali. Selanjutnya perang Siffin yang dimotori oleh Mu’awiyah dan klan Umayyah dalam rangka menuntut balas atas kematian Utsman, perang ini menghasilkan arbitrase/tahkim, yang berujung pada konflik yang lebih besar, umat Islam terpecah kedalam tiga faksi besar, faksi/syi’ah Ali, faksi Mu’awiyah, dan Khuwarij. Dalam arti yang lebih luas istilah Syi’ah digunakan pertama kali dalam dokumen arbitrase di shiffin.[19]
Sejak Ali pindah ke Kufah tahun 36/656, kota ini menjadi pusat utama gerakan, aspirasi, harapan, dan kadang pusat usaha yang direncanakan bersama oleh kaum Syi’ah, didalam dan disekitar Kufah inilah banyak terjadi peristiwa-peristiwa dahsyat yang membuahkan awal sejarah Islam Syi’ah, seperti mobilisasi pasukan oleh Ali untuk perang Jamal dan Shiffin, pemilihan dan penurunan Hasan dari khalifah, pemberontakan Hujr bin Adi Al Kindi, pembantaian Husain, keluarga Nabi dan sahabat-sahabatnya, gerakan tawwabun, dan pemberontakan Al-Muchtar. Kufah menjadi sejarah kekecewaan Syi’ah dalam rangka menjadikan Ahlul Bait Nabi sebagai pemimpin umat Islam.[20] 
Adalah imam Syi’ah yang keenam, Imam Ja’far Ash-Shadiq, putra sulung Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bi Abi Thalib. Dari pihak ayahnya Ja’far tentu seorang husainiyah keturunan Rasul, adapun dari pihak ibunya, Ja’far adalah cicit Abu Bakar, ibunya Ummu Farwah adalah putri Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Ummu Farwah adalah cicit Abu Bakar dari pihak ayah maupun ibunya. Imam Ja’far Ash-Shadiq muncul dengan interpretasi komprehensifnya tentang fungsi imamah, pandangannya secara kategoris berbeda dari pandangan yang dominan pada waktu itu, bahwa imam harus sekaligus menjadi khalifah. Ia mengajukan gagasan tentang pemisahan imamah dan khalifah kedalam dua institusi terpisah hingga suatu waktu ketika Allah akan menjadikan imam jaya. Imam ini yang harus dari keturunan Rasul lewat Ali dan Fatimah mendapatkan otoritas eksklusifnya, bukan dengan klaim politik tapi dengan nash, ditunjuk secara eksplisit oleh imam sebelumnya dan ia memperoleh ilmu agama khusus yang diturunkan dalam keluarga, dari generasi ke generasi. Jadi bidang dan wilayah dari imam terutama adalah kepemimpinan religius dan tuntutan spiritual masyarakat, bukan kekuasaan duniawi.[21] 
Bahwa doktri imamah dan fungsi imam yang diuraikan Ja’far pada tahap ini, membekali otoritas dasar bagi para teolog dan teoritisi Syi’ah imam dua belas dikemudian hari, untuk menjelaskan dan menyelesaikan banyak masalah dari periode pra Ja’far, ini dilakukan dengan menerapkan teori Ja’far tentang imamah hingga tindakan-tindakan para imam Ahlul Bait yang datang sebelum dia, misalnya penerimaan Ali bin Abi Thalib terhadap tiga khalifah pertama, pemakzulan Hasan bin Ali, sikap tidak aktif Husain bin Ali, dan kebijaksanaan tutup mulut Ali Zainal Abidin bin Husain serta Muhammad Al-Baqir, seluruh persoalan ini diselesaikan dengan penjelasan Ja’far, bahwa tidak perlu lagi bagi imam yang sejati untuk memadukan kekuasaan religius dan duniawi dalam dirinya, atau bahkan menuntut otoritas politik bila keadaan tidak memungkinkan.[22]

2.             Tokoh – Tokoh Syi’ah
Abul Fadhl, Nashr bin Muzahim bin Sayyar al-Minqari
Salah seorang sejarawan terhosor Syi'ah lahir di kota Kufah. Akan tetapi, sejarah tidak mencatat tanggal kelahirannya secara pasti. Sebagian sejarawan menganggap ia hidup dalam kurun waktu dimana Abu Mikhnaf hidup. Mengingat Abu Nashr memiliki usia yang cukup panjang dan Abu Mikhnaf meninggal dunia sebelum tahun 170 H., ada kemungkinan ia dilahirkan pada tahun 120 H.
Nashr bin Muzahim lebih banyak menghabiskan usianya di Baghdad. Pada waktu itu, Baghdad adalah sebuah kota yang baru dibangun. Akan tetapi, karena kota ini adalah ibu kota dan pusat kekhalifahan pada masa itu, ia mampu menarik para ilmuwan tersohor untuk berdomisili di sana. Al-Khathib al-Baghdadi di dalam buku sejarahnya menyebut Nashr bin Muzahim sebagai salah seorang tokoh ilmuwan Baghdad. Nashr bin Muzahim meninggal dunia pada tahun 212 H.
Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Abdullah al-Asy'ari al-Qomi
Dilahirkan pada abad ketiga Hijriah. Ia adalah salah seorang sahabat para imam ma'shum as. Ia dilahirkan di kota Qom, kota ilmu agama dan para perawi handal Syi'ah dan tempat perlindungan bagi para fuqaha dan ilmuwan handal yang selalu mencintai Ahlul bait Rasulullah SAW. Ia dibesarkan dan dididik di dalam sebuah keluarga ahli ilmu yang selalu mendambakan kecintaan kepada Ahlul bait Nabi SAW. Dari sejak masa muda, ia telah menimba ilmu pengetahuan Islam di bawah bimbingan langsung ayahnya, Muhammad bin Isa al-Asy'ari. Tidak ada informasi yang detail tentang tahun kewafatannya. Akan tetapi, ia masih hidup sehat hingga tahun 274 H.
Abul Hasan Ali bin Husein bin Musa bin Babawaeh
Ia adalah seorang faqih dan pemimpin penduduk Qom yang pendapatnya selalu diperhitungkan dan dihormati orang. Ia adalah ayah Syeikh Muhammad bin Ali bin Babawaeh yang lebih dikenal dengan julukan Syeikh Shaduq. Di kalangan ulama dan fuqaha`, ayah dan putra ini biasa disebut dengan Shaduqain. Para ulama selalu memperhitungkan pendapatnya. Oleh karena itu, jika mereka tidak mendapatkan ayat Al Quran atau hadis berkenaan dengan hukum sebuah masalah dan yang ada hanya fatwa Ali bin Babawaeh, mereka akan menentukan hukum masalah tersebut berdasarkan fatwanya. Hal ini dikarenakan kedekatan masa hidupnya dengan masa ma’shumin a.s. yang menjadi faktor penguat bahwa segala yang ditentukannya pasti berlandaskan kepada sebuah hadis yang tidak diketahui oleh mereka. Ali bin Babawaeh meninggal dunia pada tahun 329 H.
Abu ‘Amr Muhammad bin Umar bin Abdul Aziz al-Kasyi
Adalah salah seorang ulama dan tokoh mazhab Syi‘ah yang hidup pada sekitar abad ke-3 dan ke-4 Hijriah. Akan tetapi, kita tidak memiliki informasi yang pasti tentang tanggal kelahirannya. “Kasy” adalah sebuah daerah yang terletak di pinggiran kota Samarqand, Asia Tengah.
Masa al-Kasyi hidup bertepatan dengan permulaan periode Ghaibah Shughra. Karena ia berdomisili di Baghdad seperti al-Kulaini, dapat dipastikan bahwa ia selalu berhubungan dengan para wakil khusus Imam dan menimba ilmu dari mereka. Abu ‘Amr al-Kasyi meninggal dunia pada sekitar pertengahan abad ke-4 Hijriah, yaitu sekitar tahun 350 Hijriah.
Syeikh Shaduq
Ia dilahirkan berkat doa Imam Mahdi a.s. pada tahun 311 H. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Babawaeh Al-Qomi. Ayahnya adalah salah seorang ulama kaliber yang hidup di Qom. Ketika Muhammad masih muda dan setelah ia berhasil menguasai ilmu-ilmu mukadimah yang diperlukan, ia mempelajari ilmu hadis dan fiqih dari ulama-ulama besar yang ada di Qom kala itu, seperti ayahnya sendiri, Muhammad bin Hasan bin Walid (salah seorang faqih kenamaan), Ahmad bin Ali bin Ibrahim Al-Qomi dan Husein bin Idris Al-Qomi. Di masa Syeikh Shaduq, Iran secara keseluruhan dikuasai oleh dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah. Hal ini memberikan kesempatan emas kepadanya untuk mengadakan kunjungan kepada ulama-ulama kaliber yang hidup di luar kota Qom dan belajar dari mereka. Ia tidak menyia-siakan kesempatan emas tersebut. Syeikh Shaduq wafat pada tahun 381 H. dalam usianya yang ke-70-an lebih.
Muhammad bin Muhammad bin Nu‘man dikenal dengan julukan Syaikh Mufid
Ia dilahirkan di tengah berkecamuknya krisis akidah dan politik pada tahun 338 Hijriah di pinggiran kota Baghdad. Akhirnya, setelah tujuh puluh lima tahun menghaturkan berbagai pengorbanan dan khidmat berharga, Syaikh yang agung ini harus meninggalkan dunai yang fana. Ia meninggal dunia pada tahun tahun 413 Hijriah.[23]
Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini (IMAM KHOMEINI RA)


Ruhullah Musawi Khomeini lahir pada tanggal 20 Jumadis-Tsani 1320 H (24 September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir di tengah keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang masih menyimpan darah keturunan Sayidah Fatimah Az-Zahra as, putri Rasulullah saw. Ruhullah adalah pribadi agung yang menjadi pewaris kemuliaan para bapak dan kakeknya yang selalu mengabdikan diri untuk membimbing umat dan menuntut ma’rifat ilahi dari suatu generasi ke generasi lainnya.  Ayah Imam Khomeini adalah Al-Marhum Ayatollah Sayid Mostafa Musawi.
Sejak kecil Ruhullah memang sudah terbiasa dengan derita anak yatim dan mengenal arti syahid. Di masa kecil dan remajanya, Ruhullah berada di bawah asuhan ibunya, bernama Hajar. Ibunya sendiri adalah putri keluarga ulama. Ia adalah cucu Al-Marhum Ayatollah Khounsari, penulis kitab Zubdah Al-Tasanif. Imam Khomeini telah menyampaikan seluruh tujuan dan cita-cita perjuangan yang mesti diungkapkan. Dalam prakteknya pun, beliau mengerahkan seluruh daya dan upaya yang dimilikinya untuk merealisasikan cita-cita tersebut. pukul 22.20 adalah saat-saat perpisahan. Sebuah jantung yang menghidupkan jutaan jantung-jantung lainnya dengan sinaran ilahi dan spiritualitas, berhenti berdetak di usianya yang ke-87 tahun, tangis dan duka rakyat Iran pun tak bisa ditahan.[24]
Ayatullah al-udzma Sayyid Ali Sistani
Ayatullah Al-Uzhma Sistani lahir di kota Masyhad pada tahun 1349 H. dan dari keluarga ruhaniawan yang taat beragama.


Setelah menamatkan ilmu-ilmu dasar dan tingkat menengah (suthuh), beliau mulai mengkaji ilmu rasional dan teologi di bawah bimbingan guru-guru besar hauzah. Di kota kelahirannya pula beliau memulai kajian-kajian Bahtsul Kharij fiqih dan menyelesaikannya dengan baik di bawah bimbingan Allamah Mirza Mahdi Isfahani r.a.
Pada tahun 1368 H., beliau berhijrah ke kota Qom. Di sana beliau melanjutkan karir ilmiahnya di bidang ilmu fiqih dan ushul fiqih di bawah asuhan sejumlah ulama’ dan ahli hukum setempat, termasuk marja’ (pemegang otoritas ijtihad) besar masa itu, Ayatullah Al-Uzhma Sayid Burujerdi r.a. yang menjadi gurunya dalam ilmu ushul dan fiqih. Selain itu, Sayid Sistani juga belajar banyak ilmu lainnya, khususnya ilmu Rijal dan hadis pada beliau.[25]

3.             Sekte – Sekte Syi’ah
öqs9ur uä!$x© y7/u Ÿ@yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ( Ÿwur tbqä9#ttƒ šúüÏÿÎ=tGøƒèC ÇÊÊÑÈ žwÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4 y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3 ôM£Js?ur èpyJÎ=x. y7În/u ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèuHødr& ÇÊÊÒÈ
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Huud : 118-119)
Hal pokok yang menjadi persoalan krusial sehingga muncul perselisihan diantara mereka adalah problem imamah setelelah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Hasan serta Husein. Karena sejak wafatnya Husein, para pengikut Ali (Syi'ah) berbeda pendapat tentang siapa  yang akan mereka jadikan anutan serta pimpinan setelah itu.[26] Al Imam Ash Sahrastani dalam Al Milal wa an Nihal menyebutkan bahwa perpecahan dalam tubuh syi'ah dapat dikelompokkan kedalam empat aliran pokok diantaranya; Kaisaniyah, Zaidiyah, Ghulat dan Imamiyah. Dari empat kelompok besar inilah muncul beragam sekte-sekte yang lain.[27]

1.    Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte Syi'ah yang mempercayai keimaman Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara Husein dari lain ibu. Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al Baghdadi, al As'ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama Kaisan dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas'ud at Tsaqafi salah seorang sahabat yang sangat mencintai Ali. Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam.[28]
Sekte Kaisaniyah telah lama musnah. Namun kehebatan perjuangan Muhammad bin Hanafiyah ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan rumpun Melayu, terlebih lagi orang-orang aceh, mereka mengenalnya dengan Hikayat Muhammad bin Hanafiyah. Di Makkah sendiri, hikayat ini telah dikenal sejak abad ke 15 M.[29] 
2.    Syi'ah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein. Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein. Beliau  merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. Tentang Zaid bin Ali zainal Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban menyebutkan profilnya dalam kitab At Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan beliau mengatakan, al Jama'ah meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari para sahabat Rasulullah. Demikian pula Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad 'Ali."[30]
Dimasa Zaid inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah mulai dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan sebuah riwayat tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz menyebutkan kedatangan para penganut syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin seraya bertanya, "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar dan Umar ?. Zaid berkata, "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak pernah mendengar seorang pun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada keduanya. Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan (keduanya baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid. Mereka ini menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.[31]
Pada tahun 122 H, Zaid sempat mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umayyah yang terkenal dzalim. Pada saat itulah Zaid wafat dalam pertempuran yang tak seimbang. ketika perang terjadi, pendukung Ali yang berasal dari Kuffah tiba-tiba meninggalkan Zaid sehingga hanya tersisa 218 orang saja. Dalam pertempuran inilah Zaid rahimahullah gugur. Dalam hal ini Al Imam Abu Hanifah yang hidup sezaman dengannya berkata;
"Sekiranya aku yakin bahwa rakyat akan tetap berdiri secara tulus disampingnya dan tidak akan meninggalkannya, niscaya aku juga akan ikut bersamanya dan berjuang memerangi orang-orang yang menentangnya, sebab dia adalah imam yang haq. Tetapi aku khawatir mereka akan menelantarkannya sebagaimana mereka telah berbuat terhadap kakeknya (Husein bin Ali bin Abi Thalib). Bagaimanapun aku akan membantunya dengan hartaku, sehingga dia akan menjadi semakin kuat melawan musuh-musuhnya.[32]
Setelah wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin para pengikutnya mengklaim beliau sebagai imam Syi'ah yang kelima. Syi'ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan kekhilafahan Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka tetap diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu' ia menganut paham Hanafiyah. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh dengan al Qur'an dan sunnah Nabi.[33] 
3.    Syi'ah Ghulat
Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, mereka juga meyakini para imam-imam pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil beliau dengan sebutan; "Anta, Anta" yang merujuk kepada makna Tuhan. Sebagian dari mereka mendapatkan eksekusi mati, sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Saba' dibuang ke Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang menyalahkan sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak menuntut kehilafahannya setelah wafatnya Rasulullah. Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari  ide-ide Syi'ah Abdullah bin Saba'.[34]
Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak se-ekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingkat Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.[35]


4.    Syi'ah Imamiyah
Secara garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat. Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan menjadi beberapa golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 adalah yang tebesar, disusul Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan perpolitikan yang cukup signifikan. Syi'ah Isma'iliyah misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan. Beberapa doktrin bermasalah yang dibawa gerakan ini diantaranya adalah perintah syari'at Islam hanya berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah seorang mujaddid, para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, al Qur'an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti lahir dan arti bathin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja. Keyakinan gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar dari perpaduan ajaran syi'ah dengan filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala Ikhwan as Shafa.[36]
Pemimpin pergerakan Isma'iliyah yang mewujudkan khilafah Fathimiyah adalah Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah mendakwakan dirinya sebagai al Mahdi ke 7. Dakwaan itu mendapat sambutan kelompok pengikut-pengikutnya dan terus menjadi gelombang masa yang makin terorganisir dengan baik.  Hingga pada tahun 909 M, Ubaidillah berhasil memproklamirkan diri menjadi khalifah/Imam untuk dinasti Fathimiyah yang terpisah dari dinasti Abbasiyah. Nama Fathimiah diambil menjadi nama resmi kekuasaan Syi'ah Isma'iliyah, merujuk kepada nama putri Rasulullah, Fatimah Az Zahra radhiyallahu'anha sekaligus penisbatan keturunan mereka.[37]
Demikian halnya dengan kelompok Syi'ah 12. Dinasti Buwaihi merupakan penjelmaan dari gerakan syi'ah ini. Mereka berhasil menggulingkan dinasti Abbasiyah selama kurang lebih satu abad lamanya. Bahkan hingga kini, mereka tetap eksis dengan Republik Islam Iran sebagai basis gerakannya. Mereka berpandangan bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan 12 orang Imam sebagai penerus Risalah, yaitu Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad al Baqir, Ja'far as Shadiq, Musa Al Kadzim, Ali ar Ridha, Muhammad al Jawwad, Ali al Hadi, Hasan al Askari, dan Muhammad al Mahdi.[38]

4.             Pokok – Pokok Ajaran Syi’ah 
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok ajaran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.[39]
At Tauhid, Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim, azaliy dan baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.
Al ‘Adl, Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah SWT adalah baik.
An Nubuwwah, Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal.
Al Imamah, Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia. Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adalah pemimpin yang ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga imam tidak berdosa.
Al Ma’ad, Secara harfiah adalah tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwa hari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.
Doktrin – doktrin yang diajarkan Syi’ah Zaidiyah
1.        Condong kepada mu’tazilah dalam masalah yang berkaitan dengan Zat Allah dan  hukum yang berkenaan pelaku dosa besar dan mereka menyamai pendapat mu’tazilah dalam masalah manzilah bain al manzilatain,
2.        Mereka membolehkan Imamah pada semua anak-anak Fatimah,
3.        Mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman serta mereka juga tidak melaknat mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah,
4.        Mereka tidak membenarkan Nikah Mut’ah,
5.        Mereka berpandangan sama dengan Syi’ah Rafidhah dalam zakat humus dan bolehnya taqiyyah dalam keadaan terpaksa/darurat,
6.        Dalam adzan mereka ditambah dengan kalimat “hayya ‘ala khairil ‘amal”,
7.        Mereka berpandangan shalat tarawih adalah bid’ah,
8.        Mereka menolak sholat dibelakang imam yang dzalim,
9.        Mereka tidak mengimani Mahdi Al Muntadhar,
10.    Mereka berpandangan bahwa wajibnya memberontak atas pemimpin yang dzalim dan tidak wajib taat atasnya.

Doktrin - Doktrin yang diajarkan Syi’ah Ghulat
1.        Tanasukh yang merupakan keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bahwa Roh Allah berpindah kepada Nabi Adam dan Nabi-nabi berikutnya, seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun,
2.        Bada’ yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.
3.        Raj’ah yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam Mahdi Al-Muntadhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali.
4.        Tasbih artinya  menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
5.        Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
6.        Ghayba yang artinya menghilangnya Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konsep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.

5.       Implikasi Sosial yang ditimbulkan Syi’ah 
Syi’ah sebagai sebuah aliran yang berkembang dalam sejarah perkembangan Islam memiliki keunikan tersendiri dan perkembangan yang signifikan. Permasalahan politis yang mewarnai kelahiran aliran Sunni dan Syi’ah menjadikan kedua aliran tersebut masuk ke bingkai pemikiran teologis yang mempunyai corak keyakinan tertentu yang membedakan satu dengan lainnya. Implikasinya adalah, adanya perbedaan dalam memahami masalah yang menyangkut sumber ajaran Islam, permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh aliran Sunni dan Syi’ah dalam masalah tersebut sangat prinsip. Untuk mendudukan Syi’ah dalam koridor yang ada maka perlu dikemukakan doktrin keagamaan dan sosial yang ada dalam ajaran tersebut. Dari konteks keagamaan kemudian diturunkan ke dalam konteks sosial. Menurut Syi‘ah, doktrin imamah dikemukakan oleh Nabi dalam haji wada’ di Gadir Khum, doktrin ini juga dipahami sebagai contoh dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum, serta memberikan suatu teori politik yang koheren. Akan tetapi prinsip dasar tentang suksesi yang dikemukakan oleh doktrin ini tidak pernah diterima secara universal, dan tetap menjadi harapan eskatologis.[40]
Dalam pandangan kaum Syi‘ah, Imam bukan sekedar penguasa yang wajib ditaati,  ia merupakan satu-satunya yang berwenang dalam menafsirkan dan mengimplementasi-kan hukum Tuhan. Ia juga seorang yang ma’sum dari segala kesalahan, Ia haruslah seorang yang dapat memberi petunjuk kepada manusia atas jalan yang benar dan melarang berbuat salah dalam hukum. Seorang imam harus lebih mulia dan utama di mata rakyatnya dalam hal ilmu pengetahuan dan akhlak.[41] Dari sini terlihat bahwa antara Syi‘ah dan Sufisme memiliki pandangan sama pada gerakan protes terhadap kekuasaan zalim, dan dalam hal ketidaksetujuannya terhadap segala bentuk kemewahan dan  hingar-bingarnya.
Dalam Syi’ah, kemunculan Imam Mahdi adalah permasalahan yang sudah pasti, hari yang dijanjikan dengan kemunculan Imam Mahdi adalah langkah awal untuk menuju Hari Akhir yang telah dijanjikan Allah. Di antara tanda-tanda kemunculannya adalah ketika bumi ini telah dipenuhi dengan kerusakan, kebobrokan, ketidakadilan dan penindasan yang merajalela. Kemunculan al-Mahdi akan memenuhi bumi dengan keadilan, persamaan hak dan penegakan moral. Keadilan menempati posisi puncak dari seluruh nilai-nilai kemanusiaan, menempati posisi final dalam wilayah interaksi manusia, dan merupakan cita-cita yang sangat indah dari semua bangsa. Oleh sebab itu, konsep Imam Mahdi dalam Islam mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan konsepsi Islam mengenai keadilan dan persamaan hak.
Selain gaya esoterisme Syi‘ah yang diajarkan dalam rangka membumikan kebenaran-kebenaran agama, Adalah doktrin taqiyyah (expedient dissimulation) atau bisa diartikan sebagai penyamaran yang perlu. Secara etimologi, kata taqiyyah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata waqa-yaqi yang berarti melindungi atau menjaga diri, praktek taqiyyah diartikan bahwa seseorang yang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktek tertentu dari agamanya dalam keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya sebagai akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau praktek-praktek keagamaan tertentu.
Marja’iyyah, yang kemudian menjelma ke dalam Wilayat al-Faqih dalam struktur sistem ketatanegaraan Republik Islam Iran, merupakan sebuah doktrin keagamaan yang juga menduduki posisi sentral dalam Syi‘ah. Karena doktrin tersebut nantinya akan menentukan bagaimana masyarakat akan menjalani sebuah pemahaman keagamaan, baik dalam bidang teologis, filosofis, politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain sebagainya. Konsep Marja’iyyah ialah proses pelimpahan tanggungjawab kepemimpinan kepada para fuqaha yang bersifat adil, setiap orang Syi‘ah yang tidak mampu mengambil kesimpulan hukum dalam permasalahan sehari-hari harus merujuk kepada para Fuqaha. Hal ini disebabkan karena para Fuqaha merupakan penerus kepemimpinan Imam Mahdi selama masa kegaibannya, wewenang atau kekuasaan yang dimiliki fuqaha terhadap umat sangat besar, semangat agama terlihat di dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya.[42] Doktrin ini melahirkan tatanan masyarakat yang menyatu dengan ruh keislaman dan menjadikan suatu kekuatan tersendiri dalam berbagai bidang, doktrin keagamaan dan sosial juga termanifestasikan dalam akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Sehingga nampak bahwa ada kontinuitas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di Syi‘ah.








DAFTAR PUSTAKA

S.H.M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah, Dari Saqifah sampai Imamah, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1995)  

Abu Ja’far Ath Thabari, Tarikh Ar-Rasul Wa Al-Muluk, ed. M.J. De Goeje et al. (Leiden 1879-1901)

Ahmad b. Yahya b. Jabir Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, Jilid 1, ed. Muhammad Hamidullah, Kairo 1955: jilid IV A-B, ed. Max Schloessinger, Jerussalem 1938-1971: jilid V, ed. S.D.F. Goitein, Jerussalem 1936

Muhammad Ibnu Sa’ad, Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra, (Beirut : 1957)

Ahmad bin Ali Ya’qub Al-Wadhih Al-Ya’qubi, At-Tarikh, (Beirut : 1960)


http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-singkat-ayatullah-ruhullah-al.html
        
http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-ayatullah-al-udzma-sayyid-ali.html

http://melayu.husayniya.org, 12 November 2012

Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, (Beirut : Dar Surûr, 1948)

Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi’ah dalam Ukhuwah,  Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab, (Sidogiri : Pustaka Sidogiri, 2008)

Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru  Van Hoeve, 2000)

Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, (Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah, 1996)

Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, (Beirut: Dâr al Ma'rifah, 1999)

Abul A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, (Bandung: Mizan, 2007)

Tim Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002)

Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, (Jakarta: Penerbit Minaret, 1987)

Mohammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981)

Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1998)

Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung : Mizan, 2004)

Aboe Bakar Aceh, Syi‘ah, Rasionalisme dalam Islam,  (Solo : Ramadhani, 1988)

Seyyed Hossein Nasr, Islam, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung :  Pustaka, 1983)



[1].      S.H.M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah, Dari Saqifah sampai Imamah, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1995), Cet. Ke-2., h. 57  
[2].      Ibid., h. 57-58
[3].      Abu Ja’far Ath Thabari, Tarikh Ar-Rasul Wa Al-Muluk, ed. M.J. De Goeje et al. (Leiden 1879-1901), h. 1683
[4].      S.H.M. Jafri, Op. Cit. 83-84
[5].      Ibid., h. 85
[6].      Ahmad b. Yahya b. Jabir Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, Jilid 1, ed. Muhammad Hamidullah, Kairo 1955: jilid IV A-B, ed. Max Schloessinger, Jerussalem 1938-1971: jilid V, ed. S.D.F. Goitein, Jerussalem 1936, h. 585
[7].      Ibid., h. 586
[8].      Muhammad Ibnu Sa’ad, Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra, (Beirut : 1957), h. 97
[9].      S.H.M. Jafri, Op. Cit. 94
[10].    Abu Ja’far Ath Thabari, Op. Cit. 1827
[11].    S.H.M. Jafri, Op. Cit. 97
[12].    Abu Ja’far Ath Thabari, Op. Cit. 2138
[13].    Ahmad bin Ali Ya’qub Al-Wadhih Al-Ya’qubi, At-Tarikh, (Beirut : 1960), II., h. 160
[14] .   Ahmad b. Yahya b. Jabir Al-Baladzuri,                Op. Cit. V., h. 19
[15].    Ahmad bin Ali Ya’qub Al-Wadhih Al-Ya’qubi, Op. Cit. I., h. 162
[16].    Abu Ja’far Ath Thabari, Op. Cit. I. h. 2948
[17].    S.H.M. Jafri, Op. Cit. 131
[18].    Ibid., h. 133
[19].    Abu Ja’far Ath Thabari, Op. Cit. I. h. 3336
[20].    S.H.M. Jafri,  Op. Cit. h. 147
[21].    Ibid., h. 380
[22].    Ibid., h. 381
[23].          http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/index.htm, 12 November 2012
[24].    http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-singkat-ayatullah-ruhullah-al.html               
[25].    http://laskarimamzaman.blogspot.com/2011/02/biografi-ayatullah-al-udzma-sayyid-ali.html
[26].    http://melayu.husayniya.org, 12 November 2012
[27].    Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, (Beirut : Dar Surûr, 1948), Jilid I, h. 235
[28].    Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi’ah dalam Ukhuwah,  Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab, (Sidogiri : Pustaka Sidogiri, 2008), h. 54
[29].    Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru  Van Hoeve, 2000), Jilid V, h. 7
[30].    Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, (Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah, 1996), Jilid, 10, h. 96-98
[31].    Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, (Beirut: Dâr al Ma'rifah, 1999), Jilid 9,  h. 382
[32].    Abul A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, (Bandung: Mizan, 2007), h. 308
[33].    Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Op. Cit, h. 382
[34].    Tim Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002), h. 6-7
[35].    Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, (Jakarta: Penerbit Minaret, 1987), h. 25. lihat juga, Ensiklopedi Islam, Jilid V, h. 10
[36].    Mohammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981), h. 129
[37].    Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Op. Cit. Jilid II, h. 4-5
[38].    Sayyid Husein Al Musawi, Lillahi tsumma li At Tarikh, Tt, tt, h. 105
[39].    Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1998)
[40].    Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung : Mizan, 2004), h. 34
[41].    Aboe Bakar Aceh, Syi‘ah, Rasionalisme dalam Islam,  (Solo : Ramadhani, 1988), h. 24
[42].    Seyyed Hossein Nasr, Islam, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung :  Pustaka, 1983), h. 181

1 komentar:

  1. Betfair Casino: Where to play & Get Directions - Mapyro
    Located 영천 출장샵 in the heart of the Gold Coast 거제 출장샵 in the heart of Gold 제주도 출장샵 Coast's famous Gold Coast 서산 출장안마 area, Betfair is a 파주 출장마사지 fun, live casino and hotel with a

    BalasHapus