Sabtu, 19 Oktober 2013

Ismail Raji Al farugi



ISLAMISASI  ILMU  PENGETAHUAN
Analisis terhadap Pemikiran Ismail Raji Al Farugi

1.             IFTITAH
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& zNù=Ïèø9$# z`»yJƒM}$#ur ôs)s9 óOçFø[Î6s9 Îû É=»tFÏ. «!$# 4n<Î) ÇPöqtƒ Ï]÷èt7ø9$# ( #x»ygsù ãPöqtƒ Ï]÷èt7ø9$# öNà6¨ZÅ3»s9ur óOçFZä. Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÎÏÈ
Artinya :
Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)." (QS. Ar Ruum : 56)

Selama ini ada sebuah adagium yang berkembang di dunia Islam dan sangat diyakini kebenarannya, agama Islam itu “Ya’lu wa la yu’la alaihi” (unggul dan tidak ada yang lebih unggul darinya). Adagium ini tidak hanya menjadi sebuah slogan kebanggaan semata, tetapi telah dibuktikan oleh umat Islam dengan menguasai sebagian besar wilayah di dunia dan membangun sebuah peradaban yang tak tertandingi pada masanya.
Kemajuan peradaban ini ditandai dengan revolusi ilmiah yang terjadi secara besar-besaran di dunia Islam. Cerdik cendikia pun bermunculan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non-agama (pengetahuan umum). Tidak hanya menyangkut permasalahan fiqih dan teologi, tetapi juga dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya.[1] Satu hal yang menarik adalah para cerdik cendekia tersebut mempunyai pandangan yang menunjukkan adanya kesatupaduan antara ilmu pengetahuan dan iman.[2] Tradisi ilmiah dalam masyarakat muslim pada saat itu mempunyai nilai yang sangat “Islamis” karena kuatnya pengaruh dari kitab suci Al-Qur’an.
Namun kegemilangan peradaban umat Islam tersebut, pada saat ini hanya menjadi artefak yang menyimpan nostalgia keindahan sejarah. Sedikit demi sedikit umat Islam mulai mengalami kemunduran dan kelemahan di berbagai bidang. Dimulai dengan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan saling berebut kekuasaan di kalangan kerajaan yang mengakibatkan merosotnya kekuasaan khalifah serta melemahnya posisi umat Islam sampai akhirnya terjadi tragedi yang menjadi catatan hitam dalam sejarah, jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu yang diikuti dengan pengrusakan pusat-pusat kegiatan ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru dan ilmuwan. Hal ini mengakibatkan umat Islam kehilangan harmoni dan tidak menentu arahnya. Kepahitan ini ditambah lagi dengan kekalahan umat Islam dalam perang Salib III sehingga konsekuensi yang harus diterima adalah hancur dan hilangnya ruh peradaban. Umat Islam pun mengalami kemunduran yang serius dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan yang diikuti kekalahan dalam kehidupan intelektual, moral, kultural, budaya, dan ideologi.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 yang merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern mengantarkan Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan teknologi masa depan. Sedangkan Umat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran sistemik dan sistematis dalam alur peradabannya. Praktis, menurut Nurcholish Madjid, dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia,[3] dikarenakan begitu rendahnya kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam hanya menjadi penonton pasif bahkan dalam beberapa hal “terbuai” oleh kenikmatan semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan teknologinya.
Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oeh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme, utilitarianisme, dan materialisme. Sehingga konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri tidak bisa terhindar dari pengaruh pemikirannya.[4] Konsep pemikiran demikian dikonsumsi oleh umat Islam yang mulai tergantung kepada Barat.  Mempelajari sains Barat tanpa menyadari kaitan tali-temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga umat Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat (imperialisme cultural) dan proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang sekuler.
Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) tersebut membawa dampak yang sangat negatif terhadap peradaban lainnya, termasuk Islam. Pada tataran epistemologi, terjadi proses westernisasi yang dikatakan Syed Naquib al-Attas[5] sebagai “virus” yang terkandung dalam ilmu pengetahuan Barat modern-sekuler, dan ini merupakan tantangan terbesar bagi kalangan kaum muslimin saat ini.
Munculnya kesadaran bahwa paradigma ilmu pengetahuan yang telah terpengaruh oleh sekularisme, utilitarianisme dan materialisme telah menjadikan pengetahuan modern menjadi kering dan kehilangan kesakralannya (terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis).[6] Akibatnya terjadi pengasingan dan pemisahan dalam kehidupan manusia. Manusia modern menderita pengasingan (alienation.). Di sisi lain keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah (fiqh produk abad pertengahan) yang dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kretifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya.
Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat serta sikap keilmuan muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran dari aksi dan kultur dipandang sama berbahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena itu, muncullah sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan".
Sesungguhnya, diskursus tentang islamisasi sains bukan konsep baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Istilah ini telah dikembangkan oleh para pemikir Islam yang secara geografis bersinggungan langsung dengan modernisasi sebagai produk ilmu pengetahuan barat, sehingga mereka melihat dan merasakan ketimpangan ilmu pengetahuan antara timur dan barat. Sejak kelahirannya ide islamisasi sains tidak sedikit menuai kontroversi mulai dari prosedur implementasi, visi misi, dan bentuk realisasinya. Disatu sisi proyek islamisasi sains memang visioner dan utopis, namun disisi lain perlu pemahaman, telaah, dan kajian ulang agar proyek ini membuahkan hasil karya yang benar – benar orisinal dan efektif.[7]
Al Faruqi berpendapat bahwa pengeatahuan modern barat memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal dikalangan umat muslim, pengetahuan modern tersebut memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius, oleh karena itu, Al farugi berpendapat diperlukan islamisasi sains dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, serta kesatuan hidup
Gagasan islamisasi dengan demikian merupakan upaya dekunstruksi terhadap ilmu pengetahuan barat untuk kemudian direkonstruksi kedalam sistem pengetahuan islam, gagasan islamisasi sains lebih komprehensif dan jelas dan mendapatkan tempat yang layak untuk dijadikan bahan diskusi. [8]  
Gagasan ini pernah menjadi sangat populer semenjak awal dicanangkannya dan hingga sekarang masih menjadi pembicaraan di kalangan umat Islam, baik yang mendukung maupun yang menolaknya. Hal ini menjadi menarik untuk memperbincangkan dan mengkaji lebih jauh mengenai ide, gagasan dan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dan kontroversi yang mengitarinya. Namun dalam makalah ini akan fokus pada konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Raji Al Farugi, Selain itu akan dikaji pula tentang perkembangan ide Islamisasi tersebut hingga saat sekarang ini.

2.             SKETSA BIOGRAFI ISMAIL RAJI AL FARUGI
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektual universal. Konsep dan teorinya tentang islamisasi ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai mega-proyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia. Berkat beliau pula agenda besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan' hingga kini tumbuh dan berkembang di berbagai negara, meski untuk itu harus menuai badai kritik dan kecaman.
Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan Islam dan Barat, beliau dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921.[9] Saat itu, negerinya memang tak separah dan strategis sekarang, yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel. Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika Faruqi dilahirkan. Ayahnya seorang qodi di palestina. Pengalaman pendidikanya di awali dari pendidikan madrasah di desa kelahirannya Libanon college des freres (St. Joseph) yang dimulai 1926 sampai dengan tahun 1936, pendidikan ini menggunakan bahasa prancis sebagai bahasa pengantarnya, predikat sarjana muda diperolehnya dari American University of Beirut, dengan mengambil kajian filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art) pada tahun 1941.
Ismail Raji Al-Faruqi  pernah menjadi pegawai negeri selama empat tahun di Palestina yang ketika itu masih dalam status mandat Inggris. Karir birokrasi Ismail Raji Al-Faruqi pernah mencapai jabatan sebagai gubenur di Galilea pada usia 24 tahun. Namun jabatan ini tidak lama karena pada tahun 1947 propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel, sehingga ia pindah ke Amerika serikat pada tahun 1948. [10]
Pada tahun 1949 Ismail Raji Al-Faruqi melanjutkan studinya di Universitas Indiana sampai meraih gelar master dalam bidang filsafat,  dua tahun kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Universitas Harvard. Pada tahun 1952 ia meraih gelar Ph.D. dari Universitas Indiana dengan disertasi berjudul “Tentang Pembenaran Tuhan: Metafisika dan Epistimologi nilai”.[11] Namun apa yang ia capai tidak memuaskan, karena itu ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih mendalam ilmu keislaman di Universitas Al-Azhar Kairo.
Ismail Raji Al-Faruqi mulai mengajar di McGill University Kanada pada tahun 1958 - 1961. Pada tahun 1961-1963 ia pindah ke Karachi Pakistan untuk ikut bagian dalam kegiatan Centeral Institute For Islamic Reseach dan jurnalnya Islamic Studies. Tahun 1968 ia pindah ke Temple University Philadelphia sebagai guru besar agama dan mendirikan pusat kajian Islam. Hidup Ismail Raji Al-Faruqi berahir tragis setelah ia dan isterinya dibunuh pembunuh gelap di rumahnya di Philadelphia pada tanggal 27 Mei 1986. beberapa penganut menduga bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh Zionis Yahudi karena proyek Ismail Raji Al-Faruqi yang demikian inten untuk kemajuan islam.[12]

3.             IDE DAN GAGASAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
Artinya :
1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.  Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.  Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.  Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5.  Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS Al ‘Alaq : 1-5)

Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat terawal yang diwahyukan kepada nabi secara jelas menegaskan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.[13] Ide yang disampaikan al-Qur'an tersebut membawa suatu perubahan radikal dari pemahaman umum bangsa Arab pra-Islam, yang menganggap suku dan tradisi kesukuan serta pengalaman empiris sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam. Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Beliau menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat atheistik, sehingga bisa menggoyahkan aqidah umat, sehingga beliau menyarankan umat Islam agar "mengonversikan ilmu pengetahuan modern". Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi secara jelas problem epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat yang sekuler itu, dan juga tidak mengemukakan saran-saran atau program konseptual atau metodologis untuk megonversikan ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan Islam.[14] Sehingga, sampai saat itu, belum ada penjelasan yang sistematik secara konseptual mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.[15]
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul "Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education". Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
Selain itu, secara konsisten dari setiap yang dibicarakannya, al-Attas menekankan akan tantangan besar yang dihadapi zaman pada saat ini, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Menurut al-Attas, "Ilmu Pengetahuan" yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi "ilmiah" dan menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan masa kini dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Jika pemahaman ini merasuk ke dalam pikiran elite terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan timbulnya sebuah fenomena berbahaya yang diidentifikasikan oleh al-Attas sebagai "deislamisasi pikiran pikiran umat Islam". Oleh karena itulah, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ia mengajukan gagasan tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini”[16] serta memberikan formulasi awal yang sistematis yang merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam modern. Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas ini, tak pelak lagi, mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya adalah Ismail Raji al-Faruqi dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya.

4.             KONSEP ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ISMAIL RAJI AL-FARUGI
Ketika mendengar istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu untuk diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label "Islam" sehingga kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan sebagainya.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita). Dan untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, bukanlah tugas yang ringan yang harus dihadapi oleh intelektual-intelektual dan pemimipin-pemimpin Islam saat ini. Karena itulah, untuk melandingkan gagasannya tentang Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan "prinsip tauhid" sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip tauhid ini dikembangkan oleh al-Faruqi menjadi lima macam kesatuan, yaitu  :  
(1)   Kesatuan Tuhan,
(2)   Kesatuan ciptaan,
(3)   Kesatuan kebenaran dan Pengetahuan,
(4)   Kesatuan kehidupan, dan
(5)   Kesatuan kemanusiaan. [17]
Secara umum, Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang "terlalu" religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka Islamisasi ilmu pengetahuan, tujuan yang dimaksud adalah:
1.        Penguasaan disiplin ilmu modern.
2.        Penguasaan khazanah Islam
3.        Penentuan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
4.        Pencarian cara – cara untuk melakukan sintesis kreatif antara khazanah Islam dan khazanah ilmu pengetahuan modern
5.      Pengarahan aliran pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[18]
Untuk merealisasikan  tujuan-tujuan tersebut, Al-Faruqi menyusun 12 langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Penguasaan terhadap disiplin ilmu modern, disiplin ilmu modern ini harus dipecah – pecah menjadi kategori – kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problem-problem, dan tema-tema, suatu pemilahan yang mencerminkan daftar isi suatu buku teks klasik.
2.        Survei disiplin ilmu, jika kategori-kategori disiplin ilmu telah dipilah-pilah, suatu survei menyeluruh harus ditulis untuk suatu disiplin ilmu, langkah ini diperlukan agar sarjana – sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern.
3.        Penguasaan terhadap khazanah Islam, sebuah antologi khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama, namun disini apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
4.        Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisis, jika antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisis dari perspektif masalah – masalah masa kini.
5.        Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu, relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan, Pertama, apa yang disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al Qur’an hingga pemikiran kaum modernis dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin ilmu modern. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga, apabila ada bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslimin harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasi masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6.        Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern, jika relevansi Islam telah disusun ia harus dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam.
7.        Penilaian secara kritis terhadap khazanah Islam, sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisis dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
8.        Survei mengenai permasalahan terbesar umat Islam, suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral, dan spiritual dari kaum muslimin.
9.        Survei mengenai  permasalahan yang dihadapi umat manusia, suatu studi yang sama sekali difokuskan pada seluruh umat manusia harus dilakukan.
10.    Analisis dan sintesis kreatif, pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesis antara khazanah Islam dan disiplin ilmu modern, serta untuk menjembatani jurang kemandekan berabad- abad, dari sini pemikiran Islam harus sinambung dengan prestasi-prestasi modern dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan kehorizon yang lebih luas daripada yang sudah dicapai disiplin modern.
11.    Merumuskan kembali disiplin – disiplin ilmu dalam kerangka kerja Islam, sekali keseimbangan antara khazanah Islam dan disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
12.    Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.[19]  
Inti islamisasi adalah sitesis kreatif ilmu-ilmu khazanah Islam klasik dengan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan kontemporer, sintesis kreatif ini diharapkan mampu melahirkan disiplin ilmu pengetahuan Islam yang utuh, terpadu, tidak dikotomis, dibawah pancaran nilai-nilai tauhid dan mampu memberikan solusi bagi problema masyarakat muslim khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya untuk membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, baik pada aspek ontologis, epistimologis, maupun aksiologis. Ide dasarnya adalah dorongan yang sangat kuat dari umat Islam untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan hegemoni peradaban barat yang materialistik-atheistik, hal ini harus dimulai dengan umat Islam mempunyai paradigma sendiri tentang keilmuannya.

È@t/ yìt7©?$# šúïÏ%©!$# (#þqßJn=sß Nèduä!#uq÷dr& ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ ( `yJsù Ïöku ô`tB ¨@|Êr& ª!$# ( $tBur Mçlm; `ÏiB tûïÎŽÅÇ»¯R ÇËÒÈ
Artinya :
Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang Telah disesatkan Allah? dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun. (QS. Ar Ruum : 29)

5.             KONTROVERSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Diskursus seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya sekitar 30 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal kebangkitan Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan "Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati "sakit hati" karena ketertinggalan umat Islam yang sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan sendirinya.
Kaitannya dengan Islamisasi Ilmu pengetahuan Rosnani Hashim[20] membagi  menjadi empat golongan. Pertama, golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka. Kedua, golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara praktis. Ketiga, golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan ini. Dan keempat, kalangan yang tidak mempunyai pendirian terhadap isu ini. Untuk golongan kedua dan keempat tidak akan dibahas di sini karena tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan, pembahasan akan lebih difokuskan pada golongan pertama dan ketiga.
Aktivitas golongan pertama mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka mengokohkan dan memurnikan kembali konsep Islamisasi ilmu ini walaupun mereka saling mengkritik ide satu sama lain, tetapi itu dimaksudkan untuk merekonstruksinya bukan untuk mendekontruksi. Sebut saja S.A. Ashraf yang melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.” Pada fikirannya, kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan yang sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan prinsip yang dinukil dari al-Quran dan al-Sunnah.[21]
Namun dalam pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi bukan saja sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.[22]
Kritik lainnya dilakukan oleh Zianuddin Sardar, pemikir muslim dari Inggris, yang beranggapan bahwa program Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang naif dan dangkal. Beliau mengkhawatirkan gagasan gerakan Islamisasi ini nantinya malah menghasilkan deislamisasi (westernisasi) Islam. Sardar pesimis akan kemampuan para ilmuwan muslim untuk memadukan ilmu Islam dengan ilmu Barat karena di antara keduanya terdapat perbedan paradigma yang mencolok. Hal ini merupakan reaksi ketidaksetujuan Sardar terhadap al-Faruqi yang meletakkan penguasaan ilmu pengetahuan modern sebagai langkah pertama mendahului penguasaan ilmu warisan Islam dan menjelaskan relevansi Islam kepada disiplin ilmu Barat. Menurutnya ilmu pengetahuan modernlah yang perlu dijadikan relevan kepada Islam, merupakan suatu yang sangat fatal jika mementingkan adanya relevansi Islam terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern, itu hannya akan membuat kita terjebak ke dalam “Westernisasi Islam” dengan menjustifikasi kepada pembenaran ilmu Barat sebagai standar dan mendominasi perkembangan ilmu pengetahuan secara makro. Sardar  mengajak bahwa Islamisasi ilmu bagaimanapun juga harus bertitik tolak dari membangun epistemologi Islam sehingga benar-benar menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam.[23]
Al-Attas juga meng”amini” pendapat tersebut. Langkah dalam kerangka kerja al-Faruqi tersebut seolah-olah menggambarkan ada yang salah dalam ilmu pengetahuan Islam sehingga perlu dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak dibenarkan dan perlu dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dari Barat. Inilah yang menjadi alasan al-Attas bahwa yang perlu diislamisasi hanyalah ilmu pengetahuan kontemporer atau masa kini, sedangkan ilmu pengetahuan Islam tradisional hanya diteliti sekedar untuk melihat sejauhmana penyimpangannya dari tradisi Islam tapi bukan untuk direlevansikan terhadap ilmu pengetahuan Barat.[24]
Gerakan Islamisasi ini juga mendapat dukungan dari Jafar Syeikh Idris, seorang ulama Sudan yang pernah mengajar di Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi. Idris menyarankan agar para cendikiawan muslim membawa pandangan Islam ke dalam bidang dan karya akademis mereka dalam rangka evolusi sosial Islam. Dan ketika slogan Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi sangat popular, pada 1987, Syeikh Idris menulis sebuah artikel yang mengingatkan agar beberapa masalah filsafat dan metodologi yang serius ditetapkan terlebih dahulu sebelum program Islamisasi yang berarti dapat dilaksanakan.[25]
Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti AM. Saifuddin. Menurutnya, Islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi yang rendah. Hal senada diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman, dosen psikologi UI Jakarta. Hanya saja beliau memperingatkan bahwa gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerjasama yang baik dan terbuka di antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang berwajah Islami.[26]
Maraknya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide tersebut. Ada yang berpendapat bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi sumber utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan Islam atau bukan Islam pada segala ilmu. Sebut saja dalam hal ini Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul Salam.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya. Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa "kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk berkreasi." Baik dan buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.[27]
Abdul Salam, pemenang anugerah Nobel fisika berpandangan bahwa “hanya ada satu ilmu universal yang problem-problem dan modalitasnya adalah internasional dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen. Abdul Salam menceraikan pandangan hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains. Ia menafikan bahwa pandangan hidup seseorang akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktivitas seorang ilmuwan, sebagaimana diungkapkan Alparsalan Acikgenc bahwa “seorang saintis akan bekerja sesuai dengan persfektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan hidup yang dimilikinya.” [28]
Senada dengan Abdul Salam, Pervez Hoodbhoy, yang juga pernah meraih penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban. Begitu juga Bassam Tibi, Bassam Tibi menganggap bahwa Islamisasi merupakan suatu bentuk indegenisasi atau pribumisasi (indegenization) yang berhubungan secara integral dengan strategi kultural fundamentalisme Islam. Islamisasi dianggap sebagai penegasan kembali ilmu pengetahuan lokal untuk menghadapi ilmu pengetahuan global dan invansi kebudayaan yang berkaitan dengan itu, yakni “dewesternisasi”.[29]
Kritik terhadap Islamisasi ini juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush, ia menyimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis atau tidak mungkin. Alasannya, realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Untuk itu secara ringkas Soroush mengargumentasikan bahwa; 1) Metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; 2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa diislamkan; 3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh non-muslim; 4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan. Dari keempat argumentasi ini terlihat Soroush memandang realitas sebagai sebuah perubahan dan ilmu pengetahuan dibatasi hanya terhadap fenomena yang  berubah. Muhsin Mahdi juga menolak ide ilmu Islam sebagai istilah yang telah dipakai sekarang. Mahdi beranggapan bahwa ide ilmu Islam adalah produk dari filsafat agama. Dan dia juga beranggapan bahwa ide kontemporer mengenai ilmu Islam adalah suatu usaha untuk mengaplikasikan formulasi filsafat khas Kristen neo-Thomist ke dalam Islam, yang tidak dapat dibenarkan, karena tidak seperti Kristen Katholik, Islam tidak memiliki apa yang disebut sebagai “induk dari segala ilmu” yang merupakan pokok dari seluruh diskursus dan aktivitas filsafat keilmuan.[30]
Terlepas dari pro-kontra di atas, yang menjadi tantangan besar bagi kelanjutan proses Islamisasi adalah komitmen sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri. Ilmu dianggap sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya, orientasinya pun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “Keridhaan Allah” tetapi untuk kepentingan diri sendiri. Universitaspun hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan bukan lagi merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan.

6.             PERKEMBANGAN IDE DAN GAGASAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Sejak digagasnya ide Islamisasi ilmu pengetahuan oleh para cendikiawan muslim dan telah berjalan lebih dari 30 tahun, jika dihitung dari Seminar Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, berbagai respon terhadapnya pun mulai bermunculan, baik yang mendukung ataupun menolak, usaha untuk merealisasikan pun secara perlahan semakin marak dan beberapa karya yang berkaitan dengan ide Islamisasi mulai bermunculan di dunia Islam.
Al-Faruqi sendiri, setelah menggagas konferensi internasional I, tahun 1977, yang membahas tentang ide Islamisasi ilmu pengetahuan di Swiss, ia mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada tahun 1981 di Washington DC untuk merealisasikan gagasannya tentang Islamisasi tersebut, selain menulis buku Islamization of Knowledge. Konferensi lanjutan pun diadakan kembali pada tahun 1983 di Islamabad Pakistan yang bertujuan untuk  mengekspos hasil konferensi I dan hasil rumusan yang dihasilkan IIIT tentang cara mengatasi krisis umat, juga mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut, dan juga mencari penyebab dan gejalanya. Setahun kemudian diadakan lagi konferensi di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan tujuan untuk mengembangkan rencana reformasi landasan berfikir umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik kepada metodologi dan prioritas masa depan, dan mengembangkan skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Pada tahun 1987, diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan, yang membahas persoalan metodologi yang merupakan tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya program Islamisasi ilmu pengetahuan.[31]
Selain IIIT, beberapa institusi Islam menyambut hangat gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan bahkan menjadikannya sebagai raison d'etre institusi tersebut, seperti International Islamic University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Mereka secara aktif menerbitkan jurnal-jurnal untuk mendukung dan mempropagandakan gagasan ini seperti American Journal of Islamic Social Sciences (IIIT), The Muslim Education Quarterly (Akademi Islam) dan al-Shajarah (ISTAC).[32]
Walaupun demikian, setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, Islamisasi ilmu pengetahuan ini dinilai oleh beberapa kalangan belum memberikan hasil yang konkrit dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam. Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Makkah (1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman (1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan pada Islamisasi pendidikan, namun hingga saat ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks, dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan.[33]      
      
7.             ANALISIS DAN KESIMPULAN
Bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini dibangun diatas pemikiran barat yang sekuler dengan berlandaskan pada falsafah materialisme atheistik yang berakibat pada hilangnya nilai-nilai religiusitas dan kemanusiaan. Di yang sisi lain, keilmuan Islam yang dibangun diatas nilai-nilai teologis, pada kenyataannya terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas bahkan dalam beberapa hal tampak sangat literal dan simbolistik, kurang atau bahkan tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Hal ini kemudian  memunculkan sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu pengetahuan yang dihasilkan bersifat holistik, ilmu pengetahuan yang berlandaskan tauhid dan mampu menjawab setiap problematika kehidupan umat manusia, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan".
Ide ini yang dilemparkan oleh Syed Hossein Nasr walaupun belum menggunakan identitas atau label yang jelas, dilanjutkan Syed M. Naquib al-Attas dan kemudian dipertajam dan disebarluaskan oleh Ismail Raji Al-Faruqi dengan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan tujuan gagasan tersebut yang pada dasarnya adalah sama yaitu untuk mencegah penyebaran  lebih luas "virus-virus" Westernisasi yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern, walaupun masih menjadi perdebatan sampai saat ini tentang siapa yag menjadi penggagas ide Islamisasi tersebut, karena masing-masing pihak meng"klaim" diri mereka sebagai penggagasnya, tapi menurut hemat penulis itu bukan persoalan yang penting. Hal mendesak yang harus dilakukan sekarang adalah merealisasikan gagasan itu sendiri, sehingga gagasan Islamisasi tidak terhenti dan hanya menjadi sebuah wacana yang berkembang dan selalu menimbulkan perdebatan, proses westernisasi terus berkembang di dunia Islam tanpa ada usaha yang jelas untuk menghentikannya.
Dalam beberapa hal, para pendukung Islamisasi belum mempunyai kata sepakat yang jelas baik dalam langkah-langkah yang harus dilakukan maupun ilmu pengetahuan yang harus di Islamisasi, tetapi itu bukan dijadikan alasan untuk menghentikan kegiatan ini. Walaupun banyak yang menentang gagasan Islamisasi tetapi mereka belum mempunyai argumen yang kuat untuk menafikannya. Pada masa awal Islam sampai masa keemasannya memang tidak ada labelisasi Islam pada setiap ilmu pengetahuan, karena saat itu umat Islam mempunyai posisi yang kuat dan penguasa ilmu pengetahuan. Ini berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini, Islam berada pada posisi yang kalah, terhegemoni dan terdesak oleh keilmuan dan peradaban Barat sehingga untuk membuatnya bebas dari hegemoni tersebut perlu dimunculkan ciri keislaman yang tegas dan jelas dalam bidang keilmuwan.
Diperlukan energi baru untuk membangkitkan kembali semangat Islamisasi ilmu pengetahuan ini dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai titik tolaknya yang didukung dengan pemahaman tentang Islam dan penghayatannya. Pada skala yang lebih besar, model lembaga seperti Baitul Hikmah yang pernah dibangun oleh Daulah Bani Abbasiyah perlu dihidupkan kembali sebagai tempat berkumpulnya para cendikiawan muslim di seluruh dunia dan menjadikannya center of knowledge dan pusat kajian Islamisasi ilmu pengetahuan. Negara yang mayoritas penduduknya muslim, seharusnya memiliki lembaga kajian keislaman yang dibiayai oleh Negara sehingga dapat dengan mudah untuk mengadakan workshop atau seminar yang berkaitan dengan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan, dengan adanya lembaga tersebut disetiap negara Islam, kerjasama antar institusi-akademik di bidang riset, penerbitan ataupun pertukaran sumber daya manusia lebih mudah untuk dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar negeri. Lembaga tersebut juga bisa dijadikan sebagai pusat penterjemahan karya para pakar muslim maupun ang non-muslim dalam berbagai disiplin keilmuan yang dianggap penting untuk mempercepat transformasi ilmu pengetahuan, selain itu juga bisa secara aktif menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah hasil dari penemuan dan pemikiran intelektual muslim sehingga proses Islamisasi terus berjalan walaupun banyak tantangan yang menjadi penghalangnya.
Harus kita sadari bahwa untuk mengislamkan ilmu pengetahuan bukanlah pekerjaan mudah, tidak sekedar memberikan label Islam atau ayatisasi terhadap pengetahuan kontemporer, tetapi dibutuhkan kerja keras dan orang-orang yang mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam sekaligus mampu memahami peradaban Islam dan Barat sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama bisa terealisasi sesuai dengan yang diinginkan.





DAFTAR PUSTAKA

Tim Perumus Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah Jakarta,  Al-Islam dan Iptek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998).

Nurcholish Madjid,  Kaki Langit Peradaban Islam,  (Jakarta: Paramadina, 1997).

Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer : Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan,  dalam Islamia : Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST : Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005).

Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005).

Ahmad Khudori Soleh, Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, (el-Harakah, edisi 57,  Desember 2001-Pebruari 2002).

Hasan Baharun, Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam, Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), cet. 1.

Abdul  Sani,  Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam,  (Bandung: PT Raja Gravindo Persada, 1998).

Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan Implementasi Kuriulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004).

Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994).

Dian Saifuddin,  Pemikiran Modern dan Post Modern Islam (Biografi Intelektual 17 Tokoh), (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003).

Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,  (Bandung: Mizan, 1998).

Ismail Raji Al Farugi, Islamisasi Pengetahuan,  (Bandung  : Pustaka, 1984).

Muhammad Djakfar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan : Peluang dan Tantangan UIN Malang, dalam M. Zainuddin dkk. (ed), Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam Masa Depan (Malang: Bayumedia, 2004).

A. Khudori Soleh, Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu : Pengertian, Perkembangan dan Respon, dalam Inovasi,  (Malang : Majalah Mahasiswa UIN Malang,  Edisi 22 Th. 2005).









[1].      Tim Perumus Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah Jakarta,  Al-Islam dan Iptek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), h. 105
[2].      Ibid., h. 105
[3].      Nurcholish Madjid,  Kaki Langit Peradaban Islam,  (Jakarta: Paramadina, 1997),  h.  21
[4].     Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer : Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan,  dalam Islamia : Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST : Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005), h. 29
[5]       Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005), h. 12
[6]       Ahmad Khudori Soleh, Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, (el-Harakah, edisi 57,  Desember 2001-Pebruari 2002), h. 5

[7]       Hasan Baharun, Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam, Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), cet. 1, h. 104-105
[8]       Ibid., h. 105
[9].      Abdul  Sani,  Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam,  (Bandung: PT Raja Gravindo Persada, 1998), h.  262
[10].   Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan Implementasi Kuriulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), h. 60
[11].    Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 153 
[12].    Dian Saifuddin,  Pemikiran Modern dan Post Modern Islam (Biografi Intelektual 17 Tokoh), (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), h. 157-158  
[13].    Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,  (Bandung: Mizan, 1998), h. 341
[14].    Wan  Mohd  Nor Wan Daud, Op. Cit.,  390
[15].    Wan  Mohd  Nor Wan Daud, Op. Cit.,  402         
[16].    Wan  Mohd  Nor Wan Daud, Op. Cit.,  335
[17].    Ismail Raji Al Farugi, Islamisasi Pengetahuan,  (Bandung  : Pustaka, 1984),  h. 96
[18] .   Hasan Baharun, Akmal Mundiri, dkk., Op. Cit. 112
[19].    Ibid., h. 114-115
[20].   Rosnani Hashim,  Op.Cit., 40.
[21].    Ibid. 40.
[22].    Ibid. 41
[23].    Muhammad Djakfar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan : Peluang dan Tantangan UIN Malang, dalam M. Zainuddin dkk. (ed), Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam Masa Depan (Malang: Bayumedia, 2004), h. 83-84.

[24].    Ibid. 84
[25].    Wan  Mohd  Nor Wan Daud, Op. Cit., 414
[26].    A. Khudori Soleh, Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu : Pengertian, Perkembangan dan Respon, dalam Inovasi,  (Malang : Majalah Mahasiswa UIN Malang,  Edisi 22 Th. 2005), h. 28.
[27].    Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit., 409
[28].    Adnin Armas, Op.Cit., 16.
[29].    Wan  Mohd  Nor Wan Daud, Op.Cit., 422

[30].    Ibid. 418-419
[31].    A. Khudori Soleh,  Op.Cit.,  27-28
[32].    Adnin Armas, Op.Cit., 33
[33].    Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit., 399-400

Tidak ada komentar:

Posting Komentar