ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Analisis
terhadap Pemikiran Ismail Raji Al Farugi
1.
IFTITAH
tA$s%ur tûïÏ%©!$#
(#qè?ré& zNù=Ïèø9$# z`»yJM}$#ur ôs)s9 óOçFø[Î6s9 Îû
É=»tFÏ.
«!$# 4n<Î) ÇPöqt Ï]÷èt7ø9$# (
#x»ygsù ãPöqt Ï]÷èt7ø9$# öNà6¨ZÅ3»s9ur
óOçFZä.
w tbqßJn=÷ès?
ÇÎÏÈ
Artinya
:
Dan
Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada
orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu Telah berdiam (dalam kubur)
menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit
itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)." (QS. Ar Ruum : 56)
Selama ini ada
sebuah adagium yang berkembang di dunia Islam dan sangat diyakini kebenarannya,
agama Islam itu “Ya’lu wa la yu’la alaihi” (unggul dan tidak ada yang
lebih unggul darinya). Adagium ini tidak hanya menjadi sebuah slogan kebanggaan
semata, tetapi telah dibuktikan oleh umat Islam dengan menguasai sebagian besar
wilayah di dunia dan membangun sebuah peradaban yang tak tertandingi pada
masanya.
Kemajuan peradaban ini ditandai dengan
revolusi ilmiah yang terjadi secara besar-besaran di dunia Islam. Cerdik
cendikia pun bermunculan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama
maupun non-agama (pengetahuan umum). Tidak hanya menyangkut permasalahan
fiqih dan teologi, tetapi juga dalam bidang filsafat, matematika, astronomi,
kedokteran dan lain sebagainya.[1]
Satu hal yang menarik adalah para cerdik cendekia tersebut mempunyai pandangan
yang menunjukkan adanya kesatupaduan antara ilmu pengetahuan dan iman.[2]
Tradisi ilmiah dalam masyarakat muslim pada saat itu mempunyai nilai yang
sangat “Islamis” karena kuatnya pengaruh dari kitab suci Al-Qur’an.
Namun kegemilangan peradaban umat
Islam tersebut, pada saat ini hanya menjadi artefak yang menyimpan nostalgia keindahan
sejarah. Sedikit demi sedikit umat Islam mulai mengalami kemunduran dan
kelemahan di berbagai bidang. Dimulai dengan terjadinya perpecahan di kalangan
umat Islam dan saling berebut kekuasaan di kalangan kerajaan yang mengakibatkan
merosotnya kekuasaan khalifah serta melemahnya posisi umat Islam sampai
akhirnya terjadi tragedi yang menjadi catatan hitam dalam sejarah, jatuhnya
Baghdad ke tangan Hulagu yang diikuti dengan pengrusakan pusat-pusat kegiatan
ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru dan ilmuwan. Hal
ini mengakibatkan umat Islam kehilangan harmoni dan tidak menentu arahnya.
Kepahitan ini ditambah lagi dengan kekalahan umat Islam dalam perang Salib III
sehingga konsekuensi yang harus diterima adalah hancur dan hilangnya ruh
peradaban. Umat Islam pun mengalami kemunduran yang serius dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan yang diikuti kekalahan
dalam kehidupan intelektual, moral, kultural, budaya, dan ideologi.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi
sosial politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 yang merupakan titik
awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern
mengantarkan Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan teknologi masa
depan. Sedangkan Umat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran sistemik dan sistematis dalam alur peradabannya. Praktis,
menurut Nurcholish Madjid, dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang
paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia,[3] dikarenakan begitu rendahnya
kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam
hanya menjadi penonton pasif bahkan
dalam beberapa
hal “terbuai” oleh kenikmatan semu yang
disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan teknologinya.
Sejak terjadinya pencerahan di
Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat
dan hampir keseluruhannya dipelopori oeh ahli sains dan cendikiawan Barat.
Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat
yang dipengaruhi oleh sekularisme, utilitarianisme, dan materialisme. Sehingga
konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri tidak bisa terhindar dari
pengaruh pemikirannya.[4]
Konsep pemikiran demikian dikonsumsi oleh umat Islam yang mulai tergantung kepada
Barat. Mempelajari sains Barat tanpa
menyadari kaitan tali-temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga umat
Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat (imperialisme cultural) dan
proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah
kemajuan peradaban Barat yang sekuler.
Hegemoni peradaban Barat yang
didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview)
tersebut membawa dampak yang sangat negatif terhadap peradaban lainnya,
termasuk Islam. Pada tataran epistemologi, terjadi proses westernisasi yang
dikatakan Syed Naquib al-Attas[5]
sebagai “virus” yang terkandung dalam ilmu pengetahuan Barat
modern-sekuler, dan ini merupakan tantangan terbesar bagi kalangan kaum
muslimin saat ini.
Munculnya kesadaran bahwa paradigma
ilmu pengetahuan yang telah terpengaruh oleh sekularisme, utilitarianisme dan
materialisme telah menjadikan pengetahuan modern menjadi kering dan kehilangan
kesakralannya (terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis).[6]
Akibatnya terjadi pengasingan dan pemisahan
dalam kehidupan manusia. Manusia modern menderita pengasingan (alienation.). Di sisi lain keilmuan Islam sendiri yang dianggap
bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas
dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang
dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya
global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi
konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan
mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah (fiqh produk abad
pertengahan) yang dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kretifitas,
yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya.
Hilangnya aspek kesakralan dari
konsep ilmu Barat serta sikap keilmuan muslim yang menyebabkan terjadinya
stagnasi setelah memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran dari aksi
dan kultur dipandang sama berbahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena
itu, muncullah sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara
keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat
religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah
"Islamisasi Ilmu Pengetahuan".
Sesungguhnya,
diskursus tentang islamisasi sains bukan konsep baru dalam dunia ilmu
pengetahuan. Istilah ini telah dikembangkan oleh para pemikir Islam yang secara
geografis bersinggungan langsung dengan modernisasi sebagai produk ilmu
pengetahuan barat, sehingga mereka melihat dan merasakan ketimpangan ilmu
pengetahuan antara timur dan barat. Sejak kelahirannya ide islamisasi sains
tidak sedikit menuai kontroversi mulai dari prosedur implementasi, visi misi,
dan bentuk realisasinya. Disatu sisi proyek islamisasi sains memang visioner dan
utopis, namun disisi lain perlu pemahaman, telaah, dan kajian ulang agar proyek
ini membuahkan hasil karya yang benar – benar orisinal dan efektif.[7]
Al Faruqi
berpendapat bahwa pengeatahuan modern barat memunculkan adanya pertentangan
wahyu dan akal dikalangan umat muslim, pengetahuan modern tersebut memisahkan
pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius, oleh karena
itu, Al farugi berpendapat diperlukan islamisasi sains dan upaya tersebut
beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan
alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, serta kesatuan hidup
Gagasan
islamisasi dengan demikian merupakan upaya dekunstruksi terhadap ilmu
pengetahuan barat untuk kemudian direkonstruksi kedalam sistem pengetahuan
islam, gagasan islamisasi sains lebih komprehensif dan jelas dan mendapatkan
tempat yang layak untuk dijadikan bahan diskusi. [8]
Gagasan ini pernah menjadi sangat
populer semenjak awal dicanangkannya dan
hingga sekarang masih menjadi pembicaraan di kalangan umat Islam, baik yang
mendukung maupun yang menolaknya.
Hal ini menjadi menarik untuk memperbincangkan dan mengkaji lebih jauh mengenai ide, gagasan dan
konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dan
kontroversi yang mengitarinya.
Namun dalam makalah
ini akan fokus pada konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Raji Al Farugi, Selain itu akan dikaji pula tentang
perkembangan ide Islamisasi tersebut hingga saat sekarang ini.
2.
SKETSA BIOGRAFI
ISMAIL RAJI AL FARUGI
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia
intelektual universal. Konsep dan teorinya tentang islamisasi ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai mega-proyek
keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di
Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia. Berkat beliau pula agenda besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan' hingga kini tumbuh dan
berkembang di berbagai negara, meski untuk itu harus menuai badai kritik dan
kecaman.
Itulah
antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati
dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan Islam dan Barat, beliau dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921.[9]
Saat itu, negerinya memang tak separah dan strategis sekarang, yang menjadi
sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel. Palestina masih begitu
harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika Faruqi dilahirkan. Ayahnya seorang qodi di palestina. Pengalaman pendidikanya
di awali dari pendidikan madrasah di desa kelahirannya Libanon college des
freres (St. Joseph) yang dimulai 1926 sampai dengan tahun 1936, pendidikan
ini menggunakan bahasa prancis sebagai bahasa pengantarnya, predikat sarjana
muda diperolehnya dari American University of Beirut, dengan mengambil kajian
filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art) pada tahun
1941.
Ismail Raji Al-Faruqi pernah menjadi pegawai negeri selama empat
tahun di Palestina yang ketika itu masih dalam
status mandat Inggris. Karir birokrasi Ismail Raji Al-Faruqi pernah mencapai jabatan
sebagai gubenur di Galilea pada usia 24 tahun. Namun jabatan ini tidak lama
karena pada tahun 1947 propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel, sehingga ia
pindah ke Amerika serikat pada tahun 1948. [10]
Pada tahun
1949 Ismail Raji Al-Faruqi melanjutkan studinya di Universitas Indiana sampai
meraih gelar master dalam bidang filsafat, dua tahun
kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Universitas
Harvard. Pada tahun 1952 ia meraih gelar Ph.D. dari Universitas
Indiana dengan disertasi berjudul “Tentang Pembenaran Tuhan:
Metafisika dan Epistimologi nilai”.[11]
Namun apa yang ia capai tidak memuaskan, karena itu ia kemudian pergi ke Mesir
untuk lebih mendalam ilmu keislaman di Universitas
Al-Azhar Kairo.
Ismail Raji
Al-Faruqi mulai mengajar di McGill
University Kanada pada tahun 1958 - 1961. Pada tahun
1961-1963 ia pindah ke Karachi Pakistan untuk ikut bagian dalam kegiatan Centeral
Institute For
Islamic Reseach dan jurnalnya Islamic Studies. Tahun 1968 ia pindah ke Temple University
Philadelphia sebagai guru besar agama dan
mendirikan pusat kajian Islam. Hidup Ismail Raji Al-Faruqi berahir tragis setelah ia dan
isterinya dibunuh pembunuh gelap di rumahnya di Philadelphia pada tanggal 27
Mei 1986. beberapa penganut menduga bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh Zionis
Yahudi karena proyek Ismail Raji Al-Faruqi yang demikian inten untuk kemajuan
islam.[12]
3.
IDE DAN GAGASAN ISLAMISASI ILMU
PENGETAHUAN
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya :
1. Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.(QS Al ‘Alaq : 1-5)
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud,
proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak
permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat terawal yang
diwahyukan kepada nabi secara jelas menegaskan semangat Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber
dan asal ilmu manusia.[13]
Ide yang disampaikan al-Qur'an tersebut membawa suatu perubahan radikal dari
pemahaman umum bangsa Arab pra-Islam, yang menganggap suku dan tradisi kesukuan
serta pengalaman empiris sebagai
sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada
masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut
secara besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya penterjemahan terhadap
karya-karya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan
dengan konsep Agama Islam. Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal
menegaskan akan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan.
Beliau menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat atheistik, sehingga bisa menggoyahkan
aqidah umat, sehingga beliau menyarankan umat Islam agar "mengonversikan
ilmu pengetahuan modern". Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut
atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi secara jelas problem
epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat yang sekuler itu, dan
juga tidak mengemukakan saran-saran atau program konseptual atau metodologis
untuk megonversikan ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang
sejalan dengan Islam.[14]
Sehingga, sampai saat itu, belum ada penjelasan yang sistematik secara
konseptual mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini
dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran
Iran, tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan
modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas
untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science
and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Nasr
bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan
kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.[15]
Gagasan tersebut kemudian
dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek "Islamisasi"
yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam
yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang
pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan,
Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan
makalah yang berjudul "Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge
and the Definition and Aims of Education". Ide ini kemudian
disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The
concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of
Education (1980). Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai
pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
Selain itu, secara konsisten dari
setiap yang dibicarakannya, al-Attas menekankan akan tantangan besar yang
dihadapi zaman pada saat ini, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan
tujuannya. Menurut al-Attas, "Ilmu Pengetahuan" yang ada saat ini
adalah produk dari kebingungan skeptisme yang meletakkan keraguan dan spekulasi
sederajat dengan metodologi "ilmiah" dan menjadikannya sebagai alat
epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan
masa kini dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan
diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis
dari kebudayaan dan peradaban Barat. Jika pemahaman ini merasuk ke dalam
pikiran elite terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan timbulnya sebuah
fenomena berbahaya yang diidentifikasikan oleh al-Attas sebagai
"deislamisasi pikiran pikiran umat Islam". Oleh karena itulah, sebagai bentuk
keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ia mengajukan gagasan
tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini”[16]
serta memberikan formulasi awal yang sistematis yang merupakan prestasi
inovatif dalam pemikiran Islam modern. Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas
ini, tak pelak lagi, mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya adalah Ismail
Raji al-Faruqi dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya.
4.
KONSEP ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
ISMAIL RAJI AL-FARUGI
Ketika mendengar istilah Islamisasi
Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam
sehingga perlu untuk diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka diberikanlah
kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label "Islam" sehingga kemudian
muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan
sebagainya.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi Ilmu
pengetahuan adalah
usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali
argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali
kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan
semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan
Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita). Dan untuk menuangkan
kembali keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam,
bukanlah tugas yang ringan yang harus dihadapi oleh intelektual-intelektual dan
pemimipin-pemimpin Islam saat ini. Karena itulah, untuk melandingkan
gagasannya tentang Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan "prinsip
tauhid" sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam.
Prinsip tauhid ini dikembangkan oleh al-Faruqi menjadi lima macam kesatuan,
yaitu :
(1) Kesatuan Tuhan,
(2) Kesatuan ciptaan,
(3) Kesatuan kebenaran dan Pengetahuan,
(4) Kesatuan kehidupan, dan
Secara umum, Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan
Islam yang "terlalu" religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh
dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Sebagai panduan untuk usaha
tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam
rangka Islamisasi ilmu pengetahuan, tujuan yang dimaksud adalah:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguasaan khazanah Islam
3. Penentuan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
4. Pencarian cara – cara untuk melakukan
sintesis kreatif antara khazanah Islam dan khazanah ilmu pengetahuan modern
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke
lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[18]
Untuk merealisasikan
tujuan-tujuan tersebut, Al-Faruqi menyusun 12 langkah yang harus ditempuh terlebih
dahulu. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Penguasaan terhadap disiplin ilmu modern, disiplin ilmu
modern ini harus dipecah – pecah menjadi kategori – kategori, prinsip-prinsip,
metodologi-metodologi, problem-problem, dan tema-tema, suatu pemilahan yang
mencerminkan daftar isi suatu buku teks klasik.
2. Survei disiplin ilmu, jika kategori-kategori disiplin
ilmu telah dipilah-pilah, suatu survei menyeluruh harus ditulis untuk suatu
disiplin ilmu, langkah ini diperlukan agar sarjana – sarjana muslim mampu
menguasai setiap disiplin ilmu modern.
3. Penguasaan terhadap khazanah Islam, sebuah antologi
khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama, namun disini apa yang
diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang
berkaitan dengan disiplin ilmu.
4. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisis, jika
antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisis
dari perspektif masalah – masalah masa kini.
5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu,
relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan, Pertama, apa
yang disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al Qur’an hingga pemikiran kaum
modernis dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin ilmu
modern. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan
hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga, apabila
ada bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak
diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslimin harus mengusahakan
untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasi masalah-masalah, dan memperluas
visi disiplin tersebut.
6. Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern, jika relevansi
Islam telah disusun ia harus dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam.
7. Penilaian secara kritis terhadap khazanah Islam, sumbangan
khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisis dan
relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
8. Survei mengenai permasalahan terbesar umat Islam, suatu studi sistematis harus dibuat
tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral,
dan spiritual dari kaum muslimin.
9. Survei mengenai permasalahan yang dihadapi umat manusia, suatu studi
yang sama sekali difokuskan pada seluruh umat manusia harus dilakukan.
10. Analisis dan sintesis kreatif, pada tahap
ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesis antara khazanah Islam
dan disiplin ilmu modern, serta untuk menjembatani jurang kemandekan berabad-
abad, dari sini pemikiran Islam harus sinambung dengan prestasi-prestasi modern
dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan kehorizon yang lebih luas
daripada yang sudah dicapai disiplin modern.
11. Merumuskan kembali disiplin – disiplin
ilmu dalam kerangka kerja Islam, sekali keseimbangan antara khazanah Islam dan
disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk
menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
Inti islamisasi
adalah sitesis kreatif ilmu-ilmu khazanah Islam klasik dengan disiplin-disiplin
ilmu pengetahuan kontemporer, sintesis kreatif ini diharapkan mampu melahirkan
disiplin ilmu pengetahuan Islam yang utuh, terpadu, tidak dikotomis, dibawah
pancaran nilai-nilai tauhid dan mampu memberikan solusi bagi problema
masyarakat muslim khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Gagasan islamisasi
ilmu pengetahuan adalah suatu upaya untuk membangun paradigma keilmuan yang
berlandaskan pada nilai-nilai Islam, baik pada aspek ontologis, epistimologis,
maupun aksiologis. Ide dasarnya adalah dorongan yang sangat kuat dari umat
Islam untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan hegemoni peradaban barat
yang materialistik-atheistik, hal ini harus dimulai dengan umat Islam mempunyai
paradigma sendiri tentang keilmuannya.
È@t/ yìt7©?$# úïÏ%©!$# (#þqßJn=sß Nèduä!#uq÷dr& ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ ( `yJsù
Ïöku ô`tB ¨@|Êr& ª!$# ( $tBur
Mçlm; `ÏiB tûïÎÅÇ»¯R ÇËÒÈ
Artinya :
Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu
pengetahuan; Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang Telah disesatkan
Allah? dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun. (QS. Ar Ruum : 29)
5.
KONTROVERSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Diskursus seputar Islamisasi ilmu
pengetahuan ini telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi di
kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya sekitar 30 tahun yang lalu,
berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak
dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal
kebangkitan Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan
"Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati
"sakit hati" karena ketertinggalan umat Islam yang sangat jauh dari peradaban
Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan
semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan sendirinya.
Kaitannya
dengan Islamisasi Ilmu pengetahuan Rosnani Hashim[20]
membagi menjadi empat golongan. Pertama,
golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya dan
berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan maksud
Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka. Kedua, golongan yang sependapat
dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara
praktis. Ketiga, golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya
mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan ini. Dan keempat, kalangan
yang tidak mempunyai pendirian terhadap isu ini. Untuk golongan kedua dan
keempat tidak akan dibahas di sini karena tidak terlalu memberikan pengaruh
terhadap perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan, pembahasan akan lebih
difokuskan pada golongan pertama dan ketiga.
Aktivitas golongan pertama mempunyai
peranan yang sangat penting dalam rangka mengokohkan dan memurnikan kembali
konsep Islamisasi ilmu ini walaupun mereka saling mengkritik ide satu sama
lain, tetapi itu dimaksudkan untuk merekonstruksinya bukan untuk mendekontruksi. Sebut saja S.A.
Ashraf yang melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan
dilakukan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui
subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.” Pada
fikirannya, kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan yang
sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan konsep
Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan prinsip yang
dinukil dari al-Quran dan al-Sunnah.[21]
Namun dalam pandangan Syed Hossein
Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi bukan saja sesuatu yang mungkin
tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para pemikir muslim seharusnya
memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya
menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu
sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya
kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu
Khaldun di masa lalu.[22]
Kritik lainnya dilakukan oleh Zianuddin Sardar, pemikir muslim dari
Inggris, yang beranggapan bahwa program Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan
sesuatu yang naif dan dangkal. Beliau mengkhawatirkan gagasan gerakan
Islamisasi ini nantinya malah menghasilkan deislamisasi (westernisasi)
Islam. Sardar pesimis akan kemampuan para ilmuwan muslim untuk memadukan ilmu
Islam dengan ilmu Barat karena di antara keduanya terdapat perbedan paradigma
yang mencolok. Hal ini merupakan reaksi ketidaksetujuan Sardar terhadap
al-Faruqi yang meletakkan penguasaan ilmu pengetahuan modern sebagai langkah
pertama mendahului penguasaan ilmu warisan Islam dan menjelaskan relevansi
Islam kepada disiplin ilmu Barat. Menurutnya ilmu pengetahuan modernlah yang
perlu dijadikan relevan kepada Islam, merupakan
suatu yang sangat fatal jika mementingkan adanya relevansi Islam terhadap
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern, itu hannya akan membuat kita
terjebak ke dalam “Westernisasi Islam” dengan menjustifikasi kepada pembenaran
ilmu Barat sebagai standar dan mendominasi perkembangan ilmu pengetahuan secara
makro. Sardar mengajak bahwa
Islamisasi ilmu bagaimanapun juga harus bertitik tolak dari membangun
epistemologi Islam sehingga benar-benar menghasilkan sistem ilmu pengetahuan
yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam.[23]
Al-Attas juga meng”amini” pendapat
tersebut. Langkah dalam kerangka kerja al-Faruqi tersebut seolah-olah
menggambarkan ada yang salah dalam ilmu pengetahuan Islam sehingga perlu
dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak dibenarkan dan perlu dibenarkan
adalah ilmu pengetahuan sekuler dari Barat. Inilah yang menjadi alasan al-Attas
bahwa yang perlu diislamisasi hanyalah ilmu pengetahuan kontemporer atau masa
kini, sedangkan ilmu pengetahuan Islam tradisional hanya diteliti sekedar untuk
melihat sejauhmana penyimpangannya dari tradisi Islam tapi bukan untuk
direlevansikan terhadap ilmu pengetahuan Barat.[24]
Gerakan Islamisasi ini juga mendapat
dukungan dari Jafar Syeikh Idris, seorang ulama Sudan yang pernah mengajar di
Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi. Idris menyarankan agar para
cendikiawan muslim membawa pandangan Islam ke dalam bidang dan karya akademis
mereka dalam rangka evolusi sosial Islam. Dan ketika slogan Islamisasi ilmu
pengetahuan menjadi sangat popular, pada 1987, Syeikh Idris menulis sebuah
artikel yang mengingatkan agar beberapa masalah filsafat dan metodologi yang
serius ditetapkan terlebih dahulu sebelum program Islamisasi yang berarti dapat
dilaksanakan.[25]
Di Indonesia sendiri ada beberapa
tokoh yang mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti AM. Saifuddin.
Menurutnya, Islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena
sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan
tersingkirnya pada posisi yang rendah. Hal senada diungkapkan Hanna Djumhana
Bastaman, dosen psikologi UI Jakarta. Hanya saja beliau memperingatkan bahwa gagasan
ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerjasama yang baik dan terbuka di
antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang
berwajah Islami.[26]
Maraknya gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide tersebut. Ada yang
berpendapat bahwa
semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi sumber utamanya adalah Allah
SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan Islam atau bukan Islam
pada segala ilmu. Sebut saja dalam hal ini Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul
Karim Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul Salam.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu
pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu
pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya. Dan bahkan ia
berkesimpulan bahwa "kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan
bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan
waktu, energi dan uang untuk berkreasi." Baik dan buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas
moral pemakainya.[27]
Abdul Salam, pemenang anugerah Nobel
fisika berpandangan bahwa “hanya ada satu ilmu universal yang problem-problem
dan modalitasnya adalah internasional dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu
Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen. Abdul
Salam menceraikan pandangan hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains.
Ia menafikan bahwa pandangan hidup seseorang akan selalu terkait dengan
pemikiran dan aktivitas seorang ilmuwan, sebagaimana diungkapkan Alparsalan
Acikgenc bahwa “seorang saintis akan bekerja sesuai dengan persfektifnya yang
terkait dengan framework dan pandangan hidup yang dimilikinya.” [28]
Senada dengan Abdul Salam, Pervez
Hoodbhoy, yang juga pernah meraih penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan
sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan
bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban.
Begitu juga Bassam Tibi, Bassam Tibi menganggap bahwa Islamisasi merupakan
suatu bentuk indegenisasi atau pribumisasi (indegenization) yang
berhubungan secara integral dengan strategi kultural fundamentalisme Islam.
Islamisasi dianggap sebagai penegasan kembali ilmu pengetahuan lokal untuk
menghadapi ilmu pengetahuan global dan invansi kebudayaan yang berkaitan dengan
itu, yakni “dewesternisasi”.[29]
Kritik terhadap
Islamisasi ini juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush, ia menyimpulkan bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis atau tidak mungkin. Alasannya, realitas bukan Islami
atau bukan pula tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi yang
benar, bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Untuk itu secara ringkas
Soroush mengargumentasikan bahwa; 1) Metode metafisis, empiris atau logis
adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan;
2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran
dan kebenaran tidak bisa diislamkan; 3) Pertanyaan-pertanyaan dan
masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh
non-muslim; 4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa
diislamkan. Dari keempat argumentasi ini terlihat Soroush memandang realitas
sebagai sebuah perubahan dan ilmu pengetahuan dibatasi hanya terhadap fenomena
yang berubah. Muhsin Mahdi juga menolak ide ilmu Islam sebagai istilah yang telah dipakai
sekarang. Mahdi beranggapan bahwa ide ilmu Islam adalah produk dari filsafat
agama. Dan dia juga beranggapan bahwa ide kontemporer mengenai ilmu Islam
adalah suatu usaha untuk mengaplikasikan formulasi filsafat khas Kristen neo-Thomist
ke dalam Islam, yang tidak dapat dibenarkan, karena tidak seperti Kristen
Katholik, Islam tidak memiliki apa yang disebut sebagai “induk dari segala
ilmu” yang merupakan pokok dari seluruh diskursus dan aktivitas filsafat
keilmuan.[30]
Terlepas dari pro-kontra di atas,
yang menjadi tantangan besar bagi kelanjutan proses Islamisasi adalah komitmen
sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri. Ilmu dianggap sebagai
komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya,
orientasinya pun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “Keridhaan Allah” tetapi untuk
kepentingan diri sendiri. Universitaspun hanya berorientasi untuk memenuhi
kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan bukan lagi
merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan.
6.
PERKEMBANGAN IDE DAN GAGASAN ISLAMISASI
ILMU PENGETAHUAN
Sejak digagasnya ide Islamisasi ilmu
pengetahuan oleh para cendikiawan muslim dan telah berjalan lebih dari 30
tahun, jika dihitung dari Seminar Internasional pertama tentang Pendidikan
Islam di Makkah pada tahun 1977, berbagai respon terhadapnya pun mulai
bermunculan, baik yang mendukung ataupun menolak, usaha untuk merealisasikan
pun secara perlahan semakin marak dan beberapa karya yang berkaitan dengan ide
Islamisasi mulai bermunculan di dunia Islam.
Al-Faruqi sendiri, setelah menggagas
konferensi internasional I, tahun 1977, yang membahas tentang ide Islamisasi
ilmu pengetahuan di Swiss, ia mendirikan International Institute of Islamic
Thought (IIIT) pada tahun 1981 di Washington DC untuk merealisasikan
gagasannya tentang Islamisasi tersebut, selain menulis buku Islamization of
Knowledge. Konferensi lanjutan pun diadakan kembali pada tahun 1983 di
Islamabad Pakistan yang bertujuan untuk
mengekspos hasil konferensi I dan hasil rumusan yang dihasilkan IIIT
tentang cara mengatasi krisis umat, juga mengupayakan suatu penelitian dalam
rangka mengevaluasi krisis tersebut, dan juga mencari penyebab dan gejalanya.
Setahun kemudian diadakan lagi konferensi di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan
tujuan untuk mengembangkan rencana reformasi landasan berfikir umat Islam
dengan mengacu secara lebih spesifik kepada metodologi dan prioritas masa
depan, dan mengembangkan skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Pada
tahun 1987, diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan, yang membahas persoalan
metodologi yang merupakan tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya
program Islamisasi ilmu pengetahuan.[31]
Selain IIIT, beberapa institusi
Islam menyambut hangat gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan bahkan
menjadikannya sebagai raison d'etre institusi tersebut, seperti International
Islamic University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur, Akademi Islam di
Cambridge dan International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC) di Kuala Lumpur. Mereka secara aktif menerbitkan jurnal-jurnal
untuk mendukung dan mempropagandakan gagasan ini seperti American Journal of
Islamic Social Sciences (IIIT), The Muslim Education Quarterly
(Akademi Islam) dan al-Shajarah (ISTAC).[32]
Walaupun
demikian, setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, Islamisasi ilmu
pengetahuan ini dinilai oleh beberapa kalangan belum memberikan hasil yang
konkrit dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam. Bahkan secara lugas editor American
Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah
diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Makkah
(1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman
(1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan pada Islamisasi
pendidikan, namun hingga saat ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah,
buku-buku teks, dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan.[33]
7.
ANALISIS
DAN KESIMPULAN
Bahwa ilmu
pengetahuan yang berkembang pada saat ini dibangun diatas pemikiran
barat yang sekuler dengan berlandaskan pada falsafah
materialisme atheistik yang
berakibat pada hilangnya nilai-nilai religiusitas
dan kemanusiaan. Di yang sisi lain,
keilmuan Islam yang dibangun diatas nilai-nilai teologis, pada
kenyataannya terlalu berorientasi pada religiusitas dan
spiritualitas bahkan dalam beberapa hal tampak sangat literal dan
simbolistik, kurang atau bahkan tanpa
memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Hal ini
kemudian memunculkan sebuah
gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu pengetahuan yang
dihasilkan bersifat holistik, ilmu pengetahuan yang berlandaskan tauhid dan
mampu menjawab setiap problematika kehidupan umat manusia, gagasan ini
kemudian dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan".
Ide ini yang
dilemparkan oleh Syed Hossein Nasr walaupun belum menggunakan identitas atau
label yang jelas, dilanjutkan Syed M. Naquib al-Attas dan kemudian dipertajam
dan disebarluaskan oleh Ismail Raji Al-Faruqi
dengan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan tujuan gagasan tersebut yang pada
dasarnya adalah sama yaitu untuk mencegah penyebaran lebih luas
"virus-virus" Westernisasi yang terkandung dalam ilmu pengetahuan
modern, walaupun masih menjadi perdebatan
sampai saat ini tentang siapa yag menjadi penggagas ide Islamisasi tersebut,
karena masing-masing pihak meng"klaim" diri mereka sebagai
penggagasnya, tapi menurut hemat penulis itu bukan persoalan yang penting. Hal
mendesak yang harus dilakukan sekarang adalah merealisasikan gagasan itu
sendiri, sehingga gagasan Islamisasi tidak terhenti dan hanya menjadi sebuah
wacana yang berkembang dan selalu menimbulkan perdebatan, proses westernisasi terus
berkembang di dunia Islam tanpa ada usaha yang jelas untuk
menghentikannya.
Dalam
beberapa hal, para pendukung Islamisasi belum mempunyai kata sepakat yang jelas
baik dalam langkah-langkah yang harus dilakukan maupun ilmu pengetahuan yang
harus di Islamisasi, tetapi itu bukan dijadikan alasan untuk menghentikan
kegiatan ini. Walaupun banyak yang menentang gagasan Islamisasi tetapi mereka
belum mempunyai argumen yang kuat untuk menafikannya. Pada masa awal Islam
sampai masa keemasannya memang tidak ada labelisasi Islam pada setiap ilmu
pengetahuan, karena saat itu umat Islam mempunyai posisi yang kuat dan penguasa
ilmu pengetahuan. Ini berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini, Islam berada
pada posisi yang kalah, terhegemoni dan terdesak oleh keilmuan dan peradaban
Barat sehingga untuk membuatnya bebas dari hegemoni tersebut perlu dimunculkan
ciri keislaman yang tegas dan jelas dalam bidang keilmuwan.
Diperlukan energi baru untuk
membangkitkan kembali semangat Islamisasi ilmu pengetahuan ini dengan
menjadikan diri kita sendiri sebagai titik tolaknya yang didukung dengan
pemahaman tentang Islam dan penghayatannya. Pada skala yang lebih besar, model
lembaga seperti Baitul Hikmah yang pernah dibangun oleh Daulah Bani
Abbasiyah perlu dihidupkan kembali sebagai tempat berkumpulnya para cendikiawan
muslim di seluruh dunia dan menjadikannya center of knowledge dan pusat
kajian Islamisasi ilmu pengetahuan. Negara yang mayoritas penduduknya muslim, seharusnya memiliki lembaga kajian
keislaman yang
dibiayai oleh Negara sehingga dapat dengan mudah untuk mengadakan workshop atau seminar yang berkaitan
dengan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan, dengan adanya lembaga tersebut disetiap negara Islam, kerjasama antar institusi-akademik
di bidang riset, penerbitan ataupun pertukaran sumber daya manusia lebih mudah
untuk dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar negeri. Lembaga tersebut juga
bisa dijadikan sebagai pusat penterjemahan karya para pakar muslim maupun ang
non-muslim dalam berbagai disiplin keilmuan yang dianggap penting untuk
mempercepat transformasi ilmu pengetahuan, selain itu juga bisa secara aktif
menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah hasil dari penemuan dan pemikiran intelektual
muslim sehingga proses Islamisasi terus berjalan walaupun banyak tantangan yang
menjadi penghalangnya.
Harus kita sadari bahwa untuk
mengislamkan ilmu pengetahuan bukanlah pekerjaan mudah, tidak sekedar memberikan label
Islam atau ayatisasi terhadap pengetahuan kontemporer, tetapi dibutuhkan kerja
keras dan orang-orang yang mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam sekaligus
mampu memahami peradaban Islam dan Barat sehingga apa yang menjadi
cita-cita bersama bisa terealisasi sesuai dengan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Perumus Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Al-Islam dan Iptek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1998).
Nurcholish
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997).
Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer : Sejarah,
Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia : Majalah
Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST : Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005).
Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,
dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II
No.6/ Juli-September 2005).
Ahmad Khudori Soleh, Mencermati Gagasan Islamisasi
Ilmu Faruqi, (el-Harakah,
edisi 57, Desember 2001-Pebruari 2002).
Hasan Baharun, Akmal
Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam, Percikan Pemikiran Tokoh dalam
Membumikan Agama, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), cet. 1.
Abdul Sani, Lintasan Sejarah
Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Bandung: PT
Raja Gravindo Persada, 1998).
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan Implementasi
Kuriulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004).
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada,
1994).
Dian Saifuddin,
Pemikiran
Modern dan Post Modern Islam (Biografi Intelektual 17 Tokoh), (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2003).
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998).
Ismail Raji Al Farugi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Pustaka, 1984).
Muhammad Djakfar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan : Peluang
dan Tantangan UIN Malang, dalam M. Zainuddin dkk. (ed), Memadu sains dan Agama: menuju
Universitas Islam Masa Depan (Malang: Bayumedia, 2004).
A. Khudori Soleh, Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu : Pengertian, Perkembangan dan Respon,
dalam Inovasi, (Malang : Majalah Mahasiswa UIN Malang,
Edisi
22 Th. 2005).
[1]. Tim Perumus Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Al-Islam dan Iptek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1998), h. 105
[4]. Rosnani
Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer : Sejarah, Perkembangan dan Arah
Tujuan, dalam Islamia : Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam (INSIST : Jakarta,
Thn II No.6/ Juli-September 2005), h. 29
[5] Adnin Armas,
Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005), h. 12
[6] Ahmad
Khudori Soleh, Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, (el-Harakah,
edisi 57, Desember 2001-Pebruari 2002), h. 5
[7] Hasan Baharun,
Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam, Percikan Pemikiran Tokoh dalam
Membumikan Agama, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), cet. 1, h. 104-105
[9]. Abdul Sani, Lintasan Sejarah
Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Bandung: PT
Raja Gravindo Persada, 1998), h. 262
[10]. Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan Implementasi Kuriulum,
Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), h. 60
[11]. Jalaluddin
dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 153
[12]. Dian
Saifuddin, Pemikiran
Modern dan Post Modern Islam (Biografi Intelektual 17 Tokoh), (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2003), h. 157-158
[13]. Wan Mohd Nor Wan Daud, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas,
diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), h. 341
[23]. Muhammad
Djakfar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan : Peluang dan Tantangan UIN Malang, dalam M. Zainuddin
dkk. (ed), Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam Masa Depan
(Malang: Bayumedia, 2004), h. 83-84.
[26]. A. Khudori Soleh, Ide-Ide
tentang Islamisasi Ilmu : Pengertian, Perkembangan
dan Respon, dalam Inovasi, (Malang : Majalah
Mahasiswa UIN Malang, Edisi
22 Th. 2005), h. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar