Kamis, 17 Oktober 2013

Multikultural



PARADIGMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PENGERTIAN ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA

A.   Pengantar
Multikulturalisme di Indonesia adalah keniscayaan, merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, pada kenyataannya dilapangan multikulturalisme di Indonesia bagaikan mata pisau yang manfaatnya sangat bergantung pada siapa yang akan memanfaatkannya, apabila mata pisau dimanfaatkan untuk tujuan yang baik, maka manfaatnya baik, begitu juga sebaliknya. Akan halnya dengan multikultural, kenyataan ini akan menghasilkan lompatan peradaban yang dinamis, produktif dan progresif apabila para pemangku kepentingan dan semua lapisan masyarakat memainkan peranan sejarahnya masing – masing secara elegan untuk kepentingan strategis peradaban dimasa yang akan datang. Sebaliknya, kenyataan ini juga bisa menghasilkan konflik horizontal yang tak berkesudahan ketika kepentingan jangka menjadi alasan utamanya.
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an meniscayakan multikulturalisme di muka bumi dan bagaimana mengelolanya sehingga menjadi energi yang produktif,
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Artinya :
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku - suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujuraat : 13)
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin masif yang kemudian kita kenal dengan istilah globalisasi, dimana seolah tidak ada lagi sekat – sekat teritorial, apapun yang terjadi dipentas dunia dapat kita saksikan dengan mudah, mulai peristiwa politik, ekonomi, bisnis, pendidikan, sosial - budaya, kuliner, wisata, berbagai aneka hiburan dan lain sebagainya. Multikulturalisme di Indonesia bukan lagi hanya persoalan lokal dan nasional, tapi sudah masuk kepentas global, hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari globalisasi, ada infiltrasi dan akulturasi budaya secara masif dan konstan antara budaya lokal dan antara budaya lokal dengan budaya asing, mulai dari sesama negara asia hingga negara - negara eropa, amerika, afrika dan australia.
Infiltrasi dan akulturasi budaya dalam konteks globalisasi pada akhirnya akan melahirkan multikulturalisme di Indonesia dengan wajah baru, sehingga jangan heran kalau kemudian kita temukan di nusantara tercinta ini suatu budaya dan atau aliran kepercayaan termasuk juga faham keagamaan yang bermacam ragam, bentuk riilnya misalnya : ada ngaben di Bali, Kasodo di Bromo Jawa Timur, nyadar/persembahan di Parangtritis Jogjakarta, An Nadhir di Makasar, berbagai macam bentuk dan ragam upacara khitanan, perkawinan, kehamilan, kelahiran dan kematian, berbagai macam ragam dan bentuk rumah, kuliner, seni, dan panggung hiburan.
Perlu kebajikan agama dan kearifan lokal untuk menyikapinya, sebab kalau tidak kita akan mudah terjebak pada kepentingan jangka pendek dan atau dominasi budaya asing baik yang berada pada kutub kanan (eksklusifitas) maupun yang berada pada kutub kiri (westernisasi).
Atas dasar realitas ke - Indonesiaan tentang multikulturallisme tersebut maka konsep pendidikan multikultural dimaksudkan untuk mengapresiasi segala bentuk keragaman yang ada pada masyarakat,  menempatkan segala keragaman yang ada pada posisi yang setara secara adil tidak membeda - bedakan satu dengan yang lain, sehingga tidak ada anggapan hanya dirinya atau kebudayaannya yang paling baik dan benar. Hal seperti itulah yang dapat menyebabkan permusuhan dan peperangan baik antara kebudayaan yang berbeda maupun dalam kebudayaan yang sama.
 
B.   Pengertian Multikulturalisme
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (kebudayaan), dan isme (aliran atau paham).[1] Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham tentang keanekaragaman kebudayaan masayarakat. Kebudayaan masyarakat tersebut meliputi beberapa hal, seperti suku, ras, etnis, budaya, agama, bahasa, dan lain - lain. Multikulturalisme tidak sekedar mengenai perbedaan dan identitas, ia adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek - praktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya, serta mengatur kehidupan individu dan kolektif mereka.[2] suatu masyarkat disebut multikultural jika di dalamnya ada tiga ciri umum yang menujukkan hal tersebut, yakni:
1,    Keanekaragaman subkultural,
2,    Keanekaragaman perspektif,
3,    Keanekaragaman komunal.[3]
Secara hakiki, dalam kata multikultural terkandung pengakuan akan martabat manusia  yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing - masing  yang unik.[4] Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya, pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politic of recognition) yang merupakan akar dari segala ketimpangan  dalam berbagai bidang kehidupan. Multikultural juga mengandung arti keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan.[5]
Oleh para peneliti dan pengkaji multikulturalisme di Indonesia biasanya membedakan konsep pluralisme dengan konsep multikulturalisme. Pluralisme dalam konteks ke-Indonesiaan lebih sering dikonotasikan kepada pluralisme agama. Sedangkan konsep multikulturalisme tidak hanya menegaskan pengakuan terhadap keberagaman atau pluralisme, akan tetapi lebih jauh lagi menekankan penghargaan atas keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Selain itu, multikulturalisme juga menyangkut berbagai hal lainnya, seperti politik, demokrasi, keadilan, penegakkan hukum, kesetaraan, kesamaan kesempatan kerja, berusaha, berprestasi, hak asasi manusia, hak budaya golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta berbagai konsep lainnya yang relevan.
Multikukturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagamaan, perbedaan  dan kemajemukan budaya, ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya - budaya yang beragam atau multikultur. Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok - kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.[6]
Paradigama multikulturalisme memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi dan respek terhadap budaya dan agama - agama orang lain. Atas  dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya hingga orientasi politik, akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.

C.   Pendidikan Multikulturalisme 
Pendidikan multikultural menurut Andersen dan Cusher dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Banks mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.[7] Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah). Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul dalam dunia pendidikan. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikulturalisme adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota plural. Paling tidak keanekaragaman masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi  keragaman suku, ras, agama, dan budaya.[8]
Muhaemin el Ma’hadi berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).[9]
Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian - pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai - nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakangnya  maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.[10]
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dipandang sebagai pintu gerbang untuk melaksanakan tugas pengembangan budaya bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan strategis untuk menciptakan budaya positif sesuai dengan falsafah masyarakat. Sekolah harus merupakan suatu motor penggerak dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang.[11] 
Dari berbagai definisi diatas dapat diambil dasar pendidikan multikulturalisme, yaitu :
1.    Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan (developing). Yaitu sebagai suatu proses yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Proses ini biasa dilakukan di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja dan berkaitan dengan siapa saja.
2.    Pendidikan multikulturalisme mengembangkan seluruh potensi manusia, yaitu potensi yang sebelumnya sudah ada dan dimiliki oleh manusia, yaitu potensi intelektual, sosial, religiusitas, moral, ekonomi, teknis, kesopanan, dan tentunya etnis budaya.
3.    Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menghargai pluralitas, pendidikan yang menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama, yaitu sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan.[12]
Penjelasan di atas memerlukan penjabaran dalam berbagai kegiatan pembelajaran, yaitu:
1.    Kurikulum, yaitu diperlukan kurikulum baru yang sesuai dengan analisis historis dan harus sesuai dengan pluralisme budaya,
2.    Mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial,
3.    Mengembangkan kompetensi multikultural, yaitu pengembangan identitas etnis dan sub-etnis melalui kegiatan kebudayaan,
4.    Melaksanakan pendidikan kesetaraan, yaitu dilaksanakan dengan pembelajaran yang tidak menyinggung tradisi kelompok tertentu.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, semuanya hampir sama mendefinisikan pendidikan multikultural dimana intinya menjelaskan bahwa pendidikan multikultural itu mengajarkan untuk saling menghargai setiap perbedaan, menanamkan sikap-sikap toleransi, sikap saling menghargai, memelihara, saling pengertian, keterbukaan dalam keragaman etnik, ras, kultural, dan agama.
D.   Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural lahir sesudah Perang Dunia II dengan lahirnya banyak negara dan berkembangnya prinsip-psinsip demokrasi.[13] Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhineka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam kesatuan ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat bhineka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah mengabaikan kekayaan kebhinekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.[14]
Sejak jatuhya presiden Suharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut era reformasi, Indonesia mengalami disintregasi,[15] krisis moneter, ekonomi, politik dan agama yang mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada era Reformasi pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat beranekaragam.[16]
Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali wacana pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era Reformasi ini, tentunya banyak hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya mengenai kurikulum di sekolah kita dari semua tingkat dan jenis, apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikultural. Selain masalah kurikulum juga mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar pendidikan merupakan tempat bagi perkembangan kebhinekaan kebudayaan Indonesia.[17]
Pendidikan multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah juga baru disampaikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk melaksanakannya.[18]
Gagasan multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam. Indonesia adalah negara bangsa yang terdiri dari masyarakat yang multikultur seperti agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya, hal ini menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk dalam berbagai ragam dan varian. Dalam konteks kehidupan yang seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk mempersatukan berbagai keragaman dalam bingkai ke-Indonesiaan sehingga menjadi satu kekuatan peradaban tersendiri yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman masyarakatnya dalam harmonisasi social (Bhineka Tunggal Ika).
Hal ini mulai dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak - anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari - hari. Namun pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak - anak usia sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat berbagai acara dan even yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman.
       Setidaknya ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia, yaitu :
1.    Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2.    Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan, dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat plural. 
3.    Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya. Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.[19]
Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sekarang. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya.[20]
Wacana multikuturalisme di Indonesia mulai terbentuk alurnya ketika Mukti Ali merumuskan program besarnya, yaitu program pembinaan kerukunan hidup beragama di Indonesia yang dikembangkan dalam format Trilogi Kerukunan, yaitu :
1.    Kerukunan intern umat beragama, suatu upaya dialogis menyangkut aspek-aspek pemikiran keagamaan, gerakan, peran sosial, dan sebagainya dalam satu agama demi kepentingan agama tersebut dan kepentingan bangsa secara keseluruhan.
2.    Kerukunan antar umat beragama, yaitu suatu upaya dialogis antar kelompok agama yang berbeda (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, agama lainnya, dan aliran kepercayaan).
3.    Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, yaitu suatu upaya dialogis antara rakyat pemeluk agama dengan pemerintah dalam rangka meningkatkan peran agama dan umat beragama dalam pembangunan nasional.[21]
Keberhasilan Mukti Ali dalam menjalankan program ini ditunjang oleh latar belakang keahliannya sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama yang diakui kepakarannya di Indonesia.[22] Arah Trilogi Kerukunan tersebut tidak terlepas dari kasus - kasus yang terjadi menyangkut ketiga model hubungan di atas. Ancaman perselisihan antar golongan atau gerakan yang berbeda corak pemikiran keagamaannya dalam satu agama, perkembangan pemikiran modern dalam Islam, kemunculan aliran-aliran sempalan, fenomena aliran sesat, nabi baru, penodaan/penistaan agama, dan lain sebagainya. Pada saat itu juga amat menonjol model hubungan Islam tradisional dan Islam modernis dengan berbagai organisasinya yang mengalami pasang surut, hubungan antar umat beragama, khususnya ketika muncul masalah yang menyangkut penyebaran agama pada saat itu.
Paradigma pendidikan multikulturalisme di Indonesia perlu memperhatikan konteks ke-Indonesiaan serta karakteristik dari setiap kasus yang terjadi. Konteks ke-Indonesiaan inilah yang membedakan antara Indonesia dengan kasus - kasus negara lain, karena akan memberikan nuansa lokalitas Indonesia yang amat diperlukan untuk memahami kasus-kasus tersebut. Pemahaman terhadap kasus per kasus dengan segala karakteristik yang melingkupinya akan mengantarkan kepada rekomendasi - rekomendasi yang dapat dirumuskan secara bijak bagi penyelesaian persoalan - persoalan relasi antar budaya dan antar umat beragama di Indonesia.
Pendidikan multikulturalisme juga menggunakan konsep yang terdapat pada semboyan negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Negara Indonesia yang memiliki berbagai suku, ras, agama, bahasa, dan kebudayaan seharusnya dapat disatukan dengan menerapkan semboyan negara kita, namun kenyataannya berbeda, masih banyak penduduk Indonesia yang bertikai karena masalah suku, ras, agama, dan kebudayaan. Jadi, disamping menerapkan semboyan tersebut, upaya untuk menyelesaikan masalah yang melanda negeri ini adalah dengan menggunakan konsep - konsep kearifan lokal yang banyak di temukan di berbagai kelompok masyarakat Indonesia dan rujukan - rujukan teoritis yang di dasarkan pada kasus - kasus lokal Indonesia.
Menurut Tilaar bahwa untuk merekonstruksi konsep pendidikan multikultural, ia menegaskan tiga lapis diskursus yang berkaitan, yaitu:[23]
1.    Masalah kebudayaan
Dalam hal ini terkait masalah - masalah mengenai identitas budaya suatu kelompok masyarakat atau suku. Bagaimana hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan dalam masyarakat sehubungan dengan konsep kesetaraan di masyarakat. Apakah kelompok - kelompok dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di masyarakat.
2.    Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3.    Kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok - kelompok dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
Dalam hal ini Tilaar menegaskan bahwa dalam praksis pendidikan, praktik - praktik kebudayaan yang dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat itu lebih penting dari pada sekedar pengembangan wacana mengenai masalah kebudayaan. Praktik-praktik tersebut kemudian diamati apakah ada prestasi yang menonjol yang dimiliki atau ditunjukkan oleh suatu kelompok dalam masyarakat yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak menimbulkan prasangka yang negatif dari kelompok lain atas prestasi dari kelompok tersebut.
Selain itu, Tilaar juga menguraikan persoalan - persoalan dasar untuk membangun konsep pendidikan multikultural. Persoalan-persoalan dasar tersebut, antara lain:[24]
1.    Konsep yang jelas mengenai kebudayaan, misalnya tentang kebudayaan nasional.
2.    Peranan pendidikan dalam membentuk identitas budaya dan identitas bangsa.
3.    Hakikat pluralisme yang berarti pengakuan terhadap kelompok minoritas dalam masyarakat.
4.    Hak orang tua dalam menentukan pendidikan anaknya.
5.    Nilai - nilai yang akan dipertimbangkan (shared values).
Dalam pendidikan multikultural ada dua aspek mendasar, yaitu nilai inti dan tujuan pendidikan multikultural. Nilai - nilai inti tersebut mencakup:[25]
1.    Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralisme budaya dalam masyarakat,
2.    Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia,
3.    Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia,
4.    Pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Berdasarkan nilai inti tersebut maka dirumuskan enam tujuan, yaitu :[26]
1.    Mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat.
2.    Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat.
3.    Memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat.
4.    Membasmi rasisme, eksklusifisme, dan berbagai jenis prasangka.
5.    Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi.
6.    Mengembangkan ketrampilan aksi sosial.
Jadi, pada intinya konsep pendidikan multikultural merupakan respon atas ancaman disintegrasi bangsa dan dominasi sekelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya yang dipicu oleh keragaman budaya (multikultur). Pendidikan multikultural diharapkan mampu membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional menjadi sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu. Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah - langkah sebagai berikut :
1.    Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
2.    Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi, menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
3.    Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
4.    Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok  dan siswa terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.
5.    Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis, dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama lain. 
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan - ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak asasi manusia, hak budaya komunitas, dan kosnep - konsep lain yang relevan.[27]

E.   Multikulturalisme dalam Konteks Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan
Indonesia adalah Negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, Negara ini dihuni oleh suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama/kepercayaan, suku yang tersebar dilebih dari 17.000 pulau di Indonesia mencapai 750 etnis dengan jumlah bahasa kurang lebih 580 bahasa. Setiap individu yang hidup di Negara ini pasti berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali dalam hal agama, kepercayaan dan budaya.
Paradigma yang dipakai selama ini dipandang tidak efektif, karena pemahaman terhadap budaya lain juga masih cenderung disalah artikan sebagai upaya untuk mengerti sifat-sifat negatif orang lain tanpa mengimbangi dengan pemahaman terhadap nilai-nilai positifnya. Akibatnya berbagai macam perasaan etnosentrisme, stereotype, pelabelan negatif, dan prejudice cultural tetap menguat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, banyak ahli yang berkesimpulan bahwa konflik sosial antar kelompok yang masih timbul di masyarakat berkaitan dengan paradigma pembangunan dan pendidikan yang dianut selama ini. Artinya, paradigma itu masih belum tepat untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Belakangan ini (terutama setelah reformasi) di Indonesia mulai menguat gagasan untuk mengadopsi multikulturalisme. Banyak ahli yang memandang faham ini sangat layak dijadikan paradigma dalam proses pembangunan di Indonesia. sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan.
Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah - sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agama sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain yang salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.     
Pendidikan multikultural perlu diadopsi dan diakomodir untuk kebutuhan Indonesia kontemporer.  Yaitu dikarenakan menyangkut keragaman bangsa yang sudah tidak asing bagi kita. Inilah kekayaan yang luar biasa, potensi kemajemukan yang menjadi landscape dan panorama musantara yang tak akan pernah habis untuk digali. Alasan lain adalah perkembangan global yang membawa perubahan-perubahan dalam kosntelasi sosio-politik, ekonomi dan kultural. Dominasi negara-negara maju yang menjadi pusat penyebaran isme dunia tunggal memaksakan keseragaman pola dan gaya hidup mondial, baik melalui dunia hiburan, makanan dan minuman, serta mode-mode pakaian. Orang Gunung Kidul yang terbiasa makan tiwul dikondisikan untuk dapat menikmati pizza hut atau spagheti yang asing dari cita rasa keseharian mereka, minum coca cola dapat menaikan status gengsi sosial, demam asereje, poco-poco, salsa, lambada, melanda tua dan muda. Bentuk-bentuk globalisasi semacam itu memperoleh penguatan luar biasa dari kuasa kapitalisme yang nyaris tak terbendung.
Islam sebagai agama diturunkan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala bentuk terorisme, brutalisme, perusakan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya bertentangan dengan watak dasar dan misi damai Islam itu sendiri. Tidak ada doktrin dalam Islam juga agama-agama yang lain yang mengajarkan terorisme, brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.[28] Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi alam semesta. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural, begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang kewajiban seorang Muslim untuk menjadi juru damai, yaitu senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup dalam lingkungannya. Allah berfirman :
* žw uŽöyz Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã ÇÊÊÍÈ
Artinya :
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. An Nisaa’ : 114)
Kewajiban ini tidak hanya ditujukan kepada saudara seagama saja, dalam teks ayat diatas jelas menggunakan bahasa perdamaian diantara manusia, Allah SWT juga secara tegas menyatakan bahwa manusia berasal dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), sehingga mereka semua bersaudara.
Lebih jauh, ajaran Islam juga mewajibkan umatnya mencegah segala bentuk penganiayaan yang hendak dilakukan oleh “saudaranya” kepada “saudaranya” yang lain. Sebagaimana termaktub dalam hadits Rasul,yang artinya: “Tolonglah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya. Seorang sahabat bertanya, waha Rasulullah, kami pasti akan menolongnya jika ia teraniaya, akan tetapi bagaimana kami menolongnya jika ia berlaku aniaya?, Nabi menjawab : Halangi dan cegahlah dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pertolongan baginya”. (HR Bukhori).
Demikian agungnya ajaran Islam, sehingga sebenarnya jika seorang Muslim mau bersungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya secara utuh (kaffah), maka keberadaan umat Islam, risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW akan benar-benar menjadi rahmat bagi lingkungannya (rahmatan lil ‘alamin).[29]
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah : 208)
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya :
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al Anbiyaa’ : 107)
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengelola perbedaan tersebut menjadi suatu aset bangsa, bukan sebagai sumber perpecahan. Saat ini, dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.
F.    Kesimpulan
1.    Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (kebudayaan), dan isme (aliran atau paham). Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham tentang keanekaragaman kebudayaan masayarakat. Kebudayaan masyarakat tersebut meliputi beberapa hal, seperti suku, ras, etnis, budaya, agama, bahasa, dan lain - lain. Multikulturalisme tidak sekedar mengenai perbedaan dan identitas, ia adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek - praktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya, serta mengatur kehidupan individu dan kolektif mereka.
2.    Pendidikan multikultural mengajarkan untuk saling menghargai setiap perbedaan, menanamkan sikap-sikap toleransi, sikap saling menghargai, memelihara, saling pengertian, keterbukaan dalam keragaman etnik, ras, kultural, dan agama.
3.    Multikuturalisme di Indonesia mulai terbentuk alurnya ketika Mukti Ali merumuskan program besarnya, yaitu program pembinaan kerukunan hidup beragama di Indonesia yang dikembangkan dalam format Trilogi Kerukunan, arah Trilogi Kerukunan tersebut tidak terlepas dari kasus - kasus yang terjadi menyangkut ketiga model hubungan, yaitu : kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, paradigma pendidikan multikulturalisme di Indonesia perlu memperhatikan konteks ke-Indonesiaan serta karakteristik dari setiap kasus yang terjadi. Konteks ke-Indonesiaan inilah yang membedakan antara Indonesia dengan kasus - kasus negara lain.
4.    Setiap individu yang hidup di Negara Indonesia  pasti berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali dalam hal agama, kepercayaan dan budaya. Potensi kemajemukan yang menjadi landscape dan panorama musantara berikut perkembangan global yang membawa perubahan-perubahan dalam kosntelasi sosio-politik, ekonomi dan kultural, menjadikan paradigma pendidikan multikultural tidak bisa ditawar dan terus dikembangkan kearah yang lebih pruduktif.
5.    Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi alam semesta. Islam sarat dengan ajaran dan nilai yang menghargai dimensi pluralis-multikultural, begitu idealnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).

Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Kementrian Agama RI, 2010).

Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism : Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta : Kanisius, 2008).

Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, (Salatiga : Kerja sama STAIN Salatiga Press dengan JP BOOKS,2007).

Nanih Mahendrawati dan Ahmad Syafe’i, Pengembangan masyarakat Islam : dari Ideologi, strategi sampai tradisi, ( Bandung : Remaja Rosda karya, 2001).

Umi Khumaidah, Pendidikan multikulural, menuju pendidikan Islami yang humanis : pendidikan Islam dan tantangan globalisasi (Yogyakarta : Presma Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dan Ar - ruzz Media, 2004).

H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999).

Ruslan Ibrahim,  Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama. (Jakarta : Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi, 2008).

Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Semarang : Unnes Press, 2009).

Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008.

H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009).

Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Sience : A Multicultural Approach, (Oxrofd : Backwell,1996).

Yulia Riswanti, Urgensi Pendidikan Islam dalam Membangun Multikulturalisme dalam Jurnal Kependidikan Islam, (Yogyakarta : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2008).

Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia dalam Jurnal Kependidikan Islam, (Yogyakarta :  Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga,2008).

















       [1]Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 75
       [2]Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Kementrian Agama RI, 2010), h. 65
       [3]Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism : Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta : Kanisius, 2008), Cet. Ke-5, h. 15-17
       [4]Choirul Mahfud, Lok. Cit. 75
       [5]Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, (Salatiga : Kerja sama STAIN Salatiga Press dengan JP BOOKS,2007), h. 47
       [6]Nanih Mahendrawati dan Ahmad Syafe’i, Pengembangan masyarakat Islam : dari Ideologi, strategi sampai tradisi, ( Bandung : Remaja Rosda karya, 2001), h. 34
       [7]Choirul Mahfud, Op. Cit. 175
       [8]Umi Khumaidah, Pendidikan multikulural, menuju pendidikan Islami yang humanis : pendidikan Islam dan tantangan globalisasi (Yogyakarta : Presma Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dan Ar - ruzz Media, 2004), h. 264
       [9]Choirul Mahfud, Op. Cit. 176
       [10]Choirul Mahfud, Op.Cit. 175-176
       [11]Maslikhah, Op.Cit. 79
       [12]Umi Khumaidah, Op. Cit. 266
       [13]H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999), h. 16
       [14]Ibid.,  h. 166
       [15]Disintegrasi adalah masa kehancuran, pembubaran, pemisahan kekuasaan, kehancuran jiwa (karena dorongan nafsu yang menguasai jiwa), Kamus Ilmiyah Populer Pus A Partanto dan M Dahlan Al Barry. Pada masa ini terjadi pada tahun 1998 dimana banyak dilakukan aksi demonstrasi dalam ragka mengulingkan kekuasaan Suharto.
       [16]Ruslan Ibrahim,  Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama. (Jakarta : Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi, 2008),  No. 1. Vol 1. h. 116
       [17]H.A.R Tilaar, Lok. Cit. 166
       [18]Ibid.,  h. 166
       [19]Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Semarang : Unnes Press, 2009), h. 100
       [20]Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008.
       [21]Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta : Kementrian Agama RI, 2010), h. 81
       [22]Ibid., h. 101
       [23]H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), h. 207
       [24]Ibid., h. 207-208
       [25]Dody S. Taruna, Op. Cit. 107
       [26]H.A.R. Tilaar, Op. Cit. 209-210
       [27]Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Sience : A Multicultural Approach, (Oxrofd : Backwell,1996),  h. 203
       [28]Yulia Riswanti, Urgensi Pendidikan Islam dalam Membangun Multikulturalisme dalam Jurnal Kependidikan Islam, (Yogyakarta : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2008), h. 31
       [29]Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia dalam Jurnal Kependidikan Islam, (Yogyakarta :  Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga,2008), h. 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar