PARADIGMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PENGERTIAN ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
A. Pengantar
Multikulturalisme di Indonesia adalah keniscayaan, merupakan suatu hal yang
tidak dapat dihindarkan, pada kenyataannya dilapangan multikulturalisme di
Indonesia bagaikan mata pisau yang manfaatnya sangat bergantung pada siapa yang
akan memanfaatkannya, apabila mata pisau dimanfaatkan untuk tujuan yang baik,
maka manfaatnya baik, begitu juga sebaliknya. Akan halnya dengan multikultural,
kenyataan ini akan menghasilkan lompatan peradaban yang dinamis, produktif dan
progresif apabila para pemangku kepentingan dan semua lapisan masyarakat memainkan peranan sejarahnya masing – masing secara elegan
untuk kepentingan strategis peradaban dimasa yang akan datang. Sebaliknya,
kenyataan ini juga bisa menghasilkan konflik horizontal yang tak berkesudahan
ketika kepentingan jangka menjadi alasan utamanya.
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an meniscayakan multikulturalisme di muka
bumi dan bagaimana mengelolanya sehingga menjadi energi yang produktif,
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya :
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku -
suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujuraat : 13)
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin masif yang kemudian kita
kenal dengan istilah globalisasi, dimana seolah tidak ada lagi sekat – sekat
teritorial, apapun yang terjadi dipentas dunia dapat kita saksikan dengan
mudah, mulai peristiwa politik, ekonomi, bisnis, pendidikan, sosial -
budaya, kuliner, wisata, berbagai aneka hiburan dan lain sebagainya. Multikulturalisme
di Indonesia bukan lagi hanya persoalan lokal dan nasional, tapi sudah masuk kepentas
global, hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari globalisasi, ada infiltrasi
dan akulturasi budaya secara masif dan konstan antara budaya lokal dan antara
budaya lokal dengan budaya asing, mulai dari sesama negara asia hingga negara -
negara eropa, amerika, afrika dan australia.
Infiltrasi dan akulturasi budaya dalam konteks globalisasi pada akhirnya
akan melahirkan multikulturalisme di Indonesia dengan wajah baru, sehingga
jangan heran kalau kemudian kita temukan di nusantara tercinta ini suatu budaya
dan atau aliran kepercayaan termasuk juga faham keagamaan yang bermacam ragam,
bentuk riilnya misalnya : ada ngaben di Bali, Kasodo di Bromo Jawa Timur, nyadar/persembahan
di Parangtritis Jogjakarta, An Nadhir di Makasar, berbagai macam bentuk dan
ragam upacara khitanan, perkawinan, kehamilan, kelahiran dan kematian, berbagai
macam ragam dan bentuk rumah, kuliner, seni, dan panggung hiburan.
Perlu kebajikan agama dan kearifan lokal untuk menyikapinya, sebab kalau
tidak kita akan mudah terjebak pada kepentingan jangka pendek dan atau dominasi
budaya asing baik yang berada pada kutub kanan (eksklusifitas) maupun
yang berada pada kutub kiri (westernisasi).
Atas dasar realitas
ke - Indonesiaan tentang
multikulturallisme tersebut maka konsep pendidikan multikultural dimaksudkan
untuk mengapresiasi segala bentuk keragaman yang ada pada masyarakat, menempatkan segala keragaman yang ada pada
posisi yang setara secara adil tidak membeda - bedakan satu dengan yang lain,
sehingga tidak ada anggapan hanya dirinya atau kebudayaannya yang paling
baik dan benar. Hal seperti itulah yang dapat menyebabkan permusuhan dan
peperangan baik antara kebudayaan yang berbeda maupun dalam kebudayaan yang
sama.
B. Pengertian
Multikulturalisme
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk
dari kata multi (banyak), kultur (kebudayaan), dan isme (aliran
atau paham).[1]
Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham tentang keanekaragaman kebudayaan masayarakat. Kebudayaan masyarakat tersebut meliputi
beberapa hal, seperti suku, ras, etnis, budaya, agama, bahasa, dan lain - lain. Multikulturalisme tidak sekedar mengenai perbedaan dan identitas, ia
adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek - praktek yang dijalankan
oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya,
serta mengatur kehidupan individu dan kolektif mereka.[2] suatu masyarkat disebut multikultural jika di dalamnya ada
tiga ciri umum yang menujukkan hal tersebut, yakni:
1, Keanekaragaman subkultural,
2, Keanekaragaman perspektif,
Secara hakiki, dalam kata multikultural terkandung pengakuan akan martabat
manusia yang hidup dalam komunitasnya
dengan kebudayaannya masing - masing
yang unik.[4]
Dengan demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung
jawab untuk hidup bersama komunitasnya, pengingkaran suatu masyarakat terhadap
kebutuhan untuk diakui (politic of
recognition) yang merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Multikultural
juga mengandung arti keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak
pemeliharaan.[5]
Oleh para peneliti dan pengkaji
multikulturalisme di Indonesia biasanya membedakan konsep pluralisme dengan
konsep multikulturalisme. Pluralisme dalam konteks ke-Indonesiaan lebih sering
dikonotasikan kepada pluralisme agama. Sedangkan konsep multikulturalisme tidak
hanya menegaskan pengakuan terhadap keberagaman atau pluralisme, akan tetapi
lebih jauh lagi menekankan penghargaan atas keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Selain itu, multikulturalisme juga menyangkut berbagai hal
lainnya, seperti politik, demokrasi, keadilan, penegakkan hukum, kesetaraan,
kesamaan kesempatan kerja, berusaha, berprestasi, hak asasi manusia, hak budaya
golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta berbagai konsep
lainnya yang relevan.
Multikukturalisme sebenarnya merupakan konsep
dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagamaan,
perbedaan dan kemajemukan budaya, ras,
suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa
sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan
budaya - budaya yang beragam atau multikultur. Bangsa yang multikultur adalah
bangsa yang kelompok - kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup
berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh
kesediaan untuk menghormati budaya lain.[6]
Paradigama multikulturalisme memberi pelajaran
kepada kita untuk memiliki apresiasi dan respek terhadap budaya dan agama - agama
orang lain. Atas dasar ini maka
penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal
untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang
dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan
kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis,
agama, budaya hingga orientasi politik, akan bisa mereduksi berbagai potensi
yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.
C. Pendidikan Multikulturalisme
Pendidikan
multikultural menurut Andersen dan Cusher dapat diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. James Banks mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.[7] Artinya pendidikan
multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah). Pendidikan
multikulturalisme merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul dalam dunia
pendidikan. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikulturalisme
adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota plural. Paling tidak keanekaragaman
masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi
keragaman suku, ras, agama, dan budaya.[8]
Muhaemin el
Ma’hadi berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat
didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan
dunia secara keseluruhan (global).[9]
Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang
kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras,
seksualitas, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian
- pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain bahwa ruang
pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai - nilai
multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas
yang beragam (plural), baik latar
belakangnya maupun basis sosial budaya
yang melingkupinya.[10]
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
dipandang sebagai pintu gerbang untuk melaksanakan tugas pengembangan budaya
bagi peserta didik. Sebagai pintu gerbang, maka sekolah harus memiliki kekuatan
strategis untuk menciptakan budaya positif sesuai dengan falsafah masyarakat.
Sekolah harus merupakan suatu motor penggerak dalam perubahan struktur
masyarakat yang timpang.[11]
Dari berbagai definisi diatas dapat diambil dasar
pendidikan multikulturalisme, yaitu :
1. Pendidikan
multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan (developing). Yaitu sebagai suatu proses yang tidak dibatasi oleh
ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Proses ini biasa dilakukan di mana
saja, kapan saja, untuk siapa saja dan berkaitan dengan siapa saja.
2. Pendidikan
multikulturalisme mengembangkan seluruh potensi manusia, yaitu potensi yang
sebelumnya sudah ada dan dimiliki oleh manusia, yaitu potensi intelektual,
sosial, religiusitas, moral, ekonomi, teknis, kesopanan, dan tentunya etnis
budaya.
3. Pendidikan
multikulturalisme adalah pendidikan yang menghargai pluralitas, pendidikan yang
menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama, yaitu sikap yang
sangat urgen untuk disosialisasikan.[12]
Penjelasan di atas memerlukan penjabaran dalam
berbagai kegiatan pembelajaran, yaitu:
1.
Kurikulum, yaitu diperlukan kurikulum
baru yang sesuai dengan analisis historis dan harus sesuai dengan pluralisme
budaya,
2. Mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial,
3. Mengembangkan kompetensi multikultural,
yaitu pengembangan identitas etnis dan sub-etnis melalui kegiatan kebudayaan,
4. Melaksanakan pendidikan kesetaraan, yaitu
dilaksanakan dengan pembelajaran yang tidak menyinggung tradisi kelompok
tertentu.
Dari beberapa
pendapat para ahli di atas, semuanya hampir sama mendefinisikan pendidikan multikultural
dimana intinya menjelaskan bahwa pendidikan multikultural itu mengajarkan untuk
saling menghargai setiap perbedaan, menanamkan sikap-sikap toleransi, sikap
saling menghargai, memelihara, saling pengertian, keterbukaan dalam keragaman
etnik, ras, kultural, dan agama.
D. Sejarah dan Perkembangan Pendidikan
Multikultural
Pendidikan multikultural lahir sesudah Perang Dunia II
dengan lahirnya banyak negara dan berkembangnya prinsip-psinsip demokrasi.[13] Pandangan multikulturalisme
dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani sebagaimana
mestinya. Lambang Bhineka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam
kesatuan ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan
keragaman budaya masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan relasi
masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita
ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat bhineka yang selama Orde Baru
telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa.
Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah
mengabaikan kekayaan kebhinekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan
kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.[14]
Sejak jatuhya presiden Suharto dari kekuasaannya, yang
kemudian diikuti dengan masa yang disebut era reformasi, Indonesia mengalami
disintregasi,[15] krisis
moneter, ekonomi, politik dan agama yang mengakibatkan terjadinya krisis
kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada era Reformasi pendidikan
dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli
sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan
multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat
beranekaragam.[16]
Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali wacana
pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era Reformasi
ini, tentunya banyak hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya mengenai
kurikulum di sekolah kita dari semua tingkat dan jenis, apakah telah merupakan
sarana untuk mengembangkan multikultural. Selain masalah kurikulum juga
mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar pendidikan
merupakan tempat bagi perkembangan kebhinekaan kebudayaan Indonesia.[17]
Pendidikan
multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia
belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah juga baru
disampaikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama
untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk
pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem yang cocok bagi
Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas
masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk
melaksanakannya.[18]
Gagasan
multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola
tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu,
multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan identitas yang suatu kelompok
masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan kepada terwujudnya integrasi
nasional melalui budaya yang beragam. Indonesia adalah negara bangsa yang terdiri
dari masyarakat yang multikultur seperti agama, suku, ras, kebudayaan, adat
istiadat, bahasa, dan lain sebagainya, hal ini menjadikan masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat yang majemuk dalam berbagai ragam dan varian. Dalam konteks kehidupan
yang seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk
mempersatukan berbagai keragaman dalam bingkai ke-Indonesiaan sehingga menjadi
satu kekuatan peradaban tersendiri yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan
keragaman masyarakatnya dalam harmonisasi social (Bhineka Tunggal Ika).
Hal ini mulai dapat
dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak - anak
lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru bertanggung jawab
dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang tua
dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari - hari.
Namun pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak - anak usia
sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat berbagai acara
dan even yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam keberagaman menjadikan
masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup dalam perbedaan dan
keragaman.
Setidaknya ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan
multikultural di Indonesia, yaitu :
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual
merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu
bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang
harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas
individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada
etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
Masing-masing individu
telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di
masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak
lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk
mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang penting
dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan, dalam masyarakat yang plural selalu
memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan
atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada
komunikasi di dalam masyarakat plural.
3. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan.
Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan.
Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak
harus selalu mempertahankan keyakinannya. Untuk mencapai tujuan sebagai manusia
Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan
multikultural.[19]
Adapun
pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya,
dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada
seperti sekarang. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan
diakui dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi
di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai
macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat
menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya.[20]
Wacana
multikuturalisme di Indonesia mulai terbentuk alurnya ketika Mukti Ali
merumuskan program besarnya, yaitu program pembinaan kerukunan hidup beragama
di Indonesia yang dikembangkan dalam format Trilogi Kerukunan, yaitu :
1. Kerukunan
intern umat beragama, suatu upaya dialogis menyangkut aspek-aspek
pemikiran keagamaan, gerakan, peran sosial, dan sebagainya dalam satu agama
demi kepentingan agama tersebut dan kepentingan bangsa secara keseluruhan.
2. Kerukunan
antar umat beragama, yaitu suatu upaya dialogis antar kelompok agama yang
berbeda (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, agama lainnya, dan aliran kepercayaan).
3. Kerukunan
antar umat beragama dengan pemerintah, yaitu suatu upaya dialogis antara rakyat
pemeluk agama dengan pemerintah dalam rangka meningkatkan peran agama dan umat
beragama dalam pembangunan nasional.[21]
Keberhasilan Mukti
Ali dalam menjalankan program ini ditunjang oleh latar belakang keahliannya
sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama yang diakui kepakarannya di Indonesia.[22]
Arah Trilogi Kerukunan tersebut tidak terlepas dari kasus - kasus yang terjadi
menyangkut ketiga model hubungan di atas. Ancaman perselisihan antar golongan
atau gerakan yang berbeda corak pemikiran keagamaannya dalam satu agama,
perkembangan pemikiran modern dalam Islam, kemunculan aliran-aliran sempalan,
fenomena aliran sesat, nabi baru, penodaan/penistaan agama, dan lain sebagainya.
Pada saat itu juga amat menonjol model hubungan Islam tradisional dan Islam
modernis dengan berbagai organisasinya yang mengalami pasang surut, hubungan
antar umat beragama, khususnya ketika muncul masalah yang menyangkut penyebaran
agama pada saat itu.
Paradigma
pendidikan multikulturalisme di Indonesia perlu memperhatikan konteks ke-Indonesiaan
serta karakteristik dari setiap kasus yang terjadi. Konteks ke-Indonesiaan
inilah yang membedakan antara Indonesia dengan kasus - kasus negara lain,
karena akan memberikan nuansa lokalitas Indonesia yang amat diperlukan untuk
memahami kasus-kasus tersebut. Pemahaman terhadap kasus per kasus dengan segala
karakteristik yang melingkupinya akan mengantarkan kepada rekomendasi - rekomendasi
yang dapat dirumuskan secara bijak bagi penyelesaian persoalan - persoalan
relasi antar budaya dan antar umat beragama di Indonesia.
Pendidikan
multikulturalisme juga menggunakan konsep yang terdapat pada semboyan negara
kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu
jua. Negara Indonesia yang memiliki berbagai suku, ras, agama, bahasa, dan
kebudayaan seharusnya dapat disatukan dengan menerapkan semboyan negara kita,
namun kenyataannya berbeda, masih banyak penduduk Indonesia yang bertikai
karena masalah suku, ras, agama, dan kebudayaan. Jadi, disamping menerapkan
semboyan tersebut, upaya untuk menyelesaikan masalah yang melanda negeri ini
adalah dengan menggunakan konsep - konsep kearifan lokal yang banyak di temukan
di berbagai kelompok masyarakat Indonesia dan rujukan - rujukan teoritis yang
di dasarkan pada kasus - kasus lokal Indonesia.
Menurut Tilaar
bahwa untuk merekonstruksi konsep pendidikan multikultural, ia menegaskan tiga
lapis diskursus yang berkaitan, yaitu:[23]
1. Masalah kebudayaan
Dalam hal ini
terkait masalah - masalah mengenai identitas budaya suatu kelompok masyarakat
atau suku. Bagaimana hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan dalam
masyarakat sehubungan dengan konsep kesetaraan di masyarakat. Apakah kelompok -
kelompok dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam
kesempatan mengekspresikan identitasnya di masyarakat.
2. Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan pola-pola
kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3. Kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement)
dari kelompok - kelompok dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat
pada kelompok tersebut.
Dalam hal ini
Tilaar menegaskan bahwa dalam praksis pendidikan, praktik - praktik kebudayaan
yang dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat itu lebih penting dari pada
sekedar pengembangan wacana mengenai masalah kebudayaan. Praktik-praktik
tersebut kemudian diamati apakah ada prestasi yang menonjol yang dimiliki atau
ditunjukkan oleh suatu kelompok dalam masyarakat yang dapat dijadikan contoh
dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak menimbulkan prasangka yang negatif
dari kelompok lain atas prestasi dari kelompok tersebut.
Selain itu,
Tilaar juga menguraikan persoalan - persoalan dasar untuk membangun konsep
pendidikan multikultural. Persoalan-persoalan dasar tersebut, antara lain:[24]
1. Konsep yang jelas mengenai kebudayaan,
misalnya tentang kebudayaan nasional.
2. Peranan pendidikan dalam membentuk identitas
budaya dan identitas bangsa.
3. Hakikat pluralisme yang berarti pengakuan
terhadap kelompok minoritas dalam masyarakat.
4. Hak orang tua dalam menentukan pendidikan
anaknya.
5. Nilai - nilai yang akan dipertimbangkan (shared
values).
Dalam pendidikan multikultural ada dua aspek
mendasar, yaitu nilai inti dan tujuan pendidikan multikultural. Nilai - nilai
inti tersebut mencakup:[25]
1. Apresiasi
terhadap adanya kenyataan pluralisme budaya dalam masyarakat,
2. Pengakuan
terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia,
3. Pengembangan
tanggung jawab masyarakat dunia,
4. Pengembangan
tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Berdasarkan nilai inti tersebut maka dirumuskan
enam tujuan, yaitu :[26]
1. Mengembangkan perspektif sejarah yang beragam
dari kelompok-kelompok masyarakat.
2. Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di
masyarakat.
3. Memperkuat kompetensi interkultural dari
budaya-budaya yang hidup di masyarakat.
4. Membasmi rasisme, eksklusifisme, dan berbagai
jenis prasangka.
5. Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan
planet bumi.
6. Mengembangkan ketrampilan aksi sosial.
Jadi, pada
intinya konsep pendidikan multikultural merupakan respon atas ancaman
disintegrasi bangsa dan dominasi sekelompok masyarakat terhadap kelompok
lainnya yang dipicu oleh keragaman budaya (multikultur). Pendidikan
multikultural diharapkan mampu membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di
Indonesia itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.
Pendidikan
multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional menjadi sangat
penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus
dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu. Pengembangan
kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan berdasarkan
langkah - langkah sebagai berikut :
1. Mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi
filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang
pendidikan dan unit pendidikan.
2. Harus
merubah teori tentang konten (curriculum content) yang
mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi,
menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan
(skills) yang harus dimiliki generasi muda.
3. Teori
belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
4. Proses
belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok dan
bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut,
perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan
kelompok dan siswa terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.
5. Evaluasi
yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
Inti dari
cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil yang
demokratis, dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah yang
bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, terwujudnya keteraturan sosial serta
rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga
masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Corak
masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan
keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang
keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap
saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama
lain.
Berbagai konsep
yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan
dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang
sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan
keagamaan, ungkapan - ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak asasi
manusia, hak budaya komunitas, dan kosnep - konsep lain yang relevan.[27]
E. Multikulturalisme dalam Konteks Ke-Islaman
dan Ke-Indonesiaan
Indonesia
adalah Negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak, Negara ini dihuni oleh
suku bangsa yang plural dengan aneka ragam agama/kepercayaan, suku yang
tersebar dilebih dari 17.000 pulau di Indonesia mencapai 750 etnis dengan
jumlah bahasa kurang lebih 580 bahasa. Setiap individu yang hidup di Negara ini
pasti berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap
dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali dalam hal agama, kepercayaan dan
budaya.
Paradigma yang
dipakai selama ini dipandang tidak efektif, karena pemahaman terhadap budaya
lain juga masih cenderung disalah artikan sebagai upaya untuk mengerti
sifat-sifat negatif orang lain tanpa mengimbangi dengan pemahaman terhadap nilai-nilai
positifnya. Akibatnya berbagai macam perasaan etnosentrisme, stereotype,
pelabelan negatif, dan prejudice cultural tetap menguat di tengah-tengah
masyarakat. Karena itu, banyak ahli yang berkesimpulan bahwa konflik sosial
antar kelompok yang masih timbul di masyarakat berkaitan dengan paradigma
pembangunan dan pendidikan yang dianut selama ini. Artinya, paradigma itu masih
belum tepat untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Belakangan ini
(terutama setelah reformasi) di Indonesia mulai menguat gagasan untuk
mengadopsi multikulturalisme. Banyak ahli yang memandang faham ini sangat layak
dijadikan paradigma dalam proses pembangunan di Indonesia. sebagai bagian dari
proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan.
Pada sisi yang
lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah - sekolah
kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan
cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh
adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di
sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar
dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial semakin
sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Kenyataan
menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak
hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agama sendirilah yang benar dan
mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain yang salah, tersesat dan
terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas.
Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan
secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan
memperlemah persatuan bangsa.
Pendidikan
multikultural perlu diadopsi dan diakomodir untuk kebutuhan Indonesia
kontemporer. Yaitu dikarenakan
menyangkut keragaman bangsa yang sudah tidak asing bagi kita. Inilah kekayaan
yang luar biasa, potensi kemajemukan yang menjadi landscape dan panorama musantara yang tak akan pernah habis untuk
digali. Alasan lain adalah perkembangan global yang membawa perubahan-perubahan
dalam kosntelasi sosio-politik, ekonomi dan kultural. Dominasi negara-negara
maju yang menjadi pusat penyebaran isme dunia tunggal memaksakan keseragaman
pola dan gaya hidup mondial, baik melalui dunia hiburan, makanan dan minuman,
serta mode-mode pakaian. Orang Gunung Kidul yang terbiasa makan tiwul
dikondisikan untuk dapat menikmati pizza hut atau spagheti yang asing dari cita
rasa keseharian mereka, minum coca cola dapat menaikan status gengsi sosial,
demam asereje, poco-poco, salsa, lambada, melanda tua dan muda. Bentuk-bentuk
globalisasi semacam itu memperoleh penguatan luar biasa dari kuasa kapitalisme
yang nyaris tak terbendung.
Islam sebagai
agama diturunkan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala
bentuk terorisme, brutalisme, perusakan dan tindak kekerasan yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya
bertentangan dengan watak dasar dan misi damai Islam itu sendiri. Tidak ada
doktrin dalam Islam juga agama-agama yang lain yang mengajarkan terorisme,
brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.[28]
Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin
yang memberikan rahmat bagi alam semesta. Islam sebagai ajaran yang memuat
nilai-nilai normatif, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi
pluralis-multikultural, begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan
martabat dan harkat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk
sosial.
Dalam Al-Qur’an
dijelaskan tentang kewajiban seorang Muslim untuk menjadi juru damai, yaitu
senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup dalam lingkungannya. Allah
berfirman :
* w uöyz Îû 9ÏV2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R wÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) ú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿt Ï9ºs uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã ÇÊÊÍÈ
Artinya :
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa
yang berbuat demikian Karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak kami memberi
kepadanya pahala yang besar. (QS. An Nisaa’ : 114)
Kewajiban ini tidak hanya ditujukan kepada saudara seagama saja, dalam teks
ayat diatas jelas menggunakan bahasa perdamaian diantara manusia, Allah SWT
juga secara tegas menyatakan bahwa manusia berasal dari seorang laki-laki
(Adam) dan seorang perempuan (Hawa), sehingga mereka semua bersaudara.
Lebih jauh,
ajaran Islam juga mewajibkan umatnya mencegah segala bentuk penganiayaan yang
hendak dilakukan oleh “saudaranya” kepada “saudaranya” yang lain. Sebagaimana
termaktub dalam hadits Rasul,yang artinya: “Tolonglah saudaramu, baik ia
berlaku aniaya maupun teraniaya. Seorang sahabat bertanya, waha Rasulullah,
kami pasti akan menolongnya jika ia teraniaya, akan tetapi bagaimana kami
menolongnya jika ia berlaku aniaya?, Nabi menjawab : Halangi dan
cegahlah dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pertolongan
baginya”. (HR Bukhori).
Demikian
agungnya ajaran Islam, sehingga sebenarnya jika seorang Muslim mau bersungguh
dalam mempelajari dan mengamalkannya secara utuh (kaffah), maka
keberadaan umat Islam, risalah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW akan benar-benar menjadi rahmat bagi
lingkungannya (rahmatan lil ‘alamin).[29]
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$2 wur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah : 208)
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya :
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. Al Anbiyaa’ : 107)
Spektrum kultur
masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan
guna mengelola perbedaan
tersebut menjadi suatu aset bangsa, bukan sebagai sumber
perpecahan. Saat ini, dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam yang
merupakan bagian dari pendidikan nasional mempunyai dua tanggung jawab besar,
yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era
globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam
budaya.
F. Kesimpulan
1. Secara
etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(kebudayaan), dan isme (aliran atau paham). Jadi,
multikulturalisme adalah suatu paham tentang keanekaragaman kebudayaan masayarakat. Kebudayaan masyarakat tersebut meliputi
beberapa hal, seperti suku, ras, etnis, budaya, agama, bahasa, dan lain - lain. Multikulturalisme tidak sekedar mengenai perbedaan dan identitas, ia
adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek - praktek yang dijalankan
oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya,
serta mengatur kehidupan individu dan kolektif mereka.
2. Pendidikan multikultural mengajarkan untuk
saling menghargai setiap perbedaan, menanamkan sikap-sikap toleransi, sikap
saling menghargai, memelihara, saling pengertian, keterbukaan dalam keragaman
etnik, ras, kultural, dan agama.
3. Multikuturalisme di Indonesia mulai terbentuk alurnya ketika
Mukti Ali merumuskan program besarnya, yaitu program pembinaan kerukunan hidup
beragama di Indonesia yang dikembangkan dalam format Trilogi Kerukunan, arah
Trilogi Kerukunan tersebut tidak terlepas dari kasus - kasus yang terjadi
menyangkut ketiga model hubungan, yaitu : kerukunan intern umat
beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar
umat beragama dengan pemerintah, paradigma
pendidikan multikulturalisme di Indonesia perlu memperhatikan konteks ke-Indonesiaan
serta karakteristik dari setiap kasus yang terjadi. Konteks ke-Indonesiaan
inilah yang membedakan antara Indonesia dengan kasus - kasus negara lain.
4. Setiap individu yang hidup di Negara Indonesia pasti berhadapan dengan kebhinekaan,
kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak
terkecuali dalam hal agama, kepercayaan dan budaya. Potensi kemajemukan yang
menjadi landscape dan panorama
musantara berikut perkembangan global yang membawa perubahan-perubahan dalam
kosntelasi sosio-politik, ekonomi dan kultural, menjadikan paradigma pendidikan
multikultural tidak bisa ditawar dan terus dikembangkan kearah yang lebih
pruduktif.
5. Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai,
meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi alam semesta. Islam sarat dengan
ajaran dan nilai yang menghargai dimensi pluralis-multikultural,
begitu idealnya dalam
memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai makhluk
individu maupun sebagai makhluk sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an
Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006).
Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikulturalisme, (Kementrian Agama RI, 2010).
Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism : Keberagaman Budaya dan Teori
Politik (Yogyakarta : Kanisius,
2008).
Maslikhah,
Quo Vadis Pendidikan Multikultur,
(Salatiga : Kerja sama STAIN Salatiga Press dengan JP BOOKS,2007).
Nanih
Mahendrawati dan Ahmad Syafe’i, Pengembangan
masyarakat Islam : dari Ideologi, strategi sampai tradisi, ( Bandung : Remaja
Rosda karya, 2001).
Umi
Khumaidah, Pendidikan multikulural, menuju pendidikan Islami yang humanis :
pendidikan Islam dan tantangan globalisasi (Yogyakarta : Presma Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dan Ar - ruzz Media, 2004).
H.A.R. Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya
IKAPI dan Ford Foundation, 1999).
Ruslan Ibrahim, Pendidikan Multikultural : Upaya
Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama. (Jakarta : Jurnal Pendidikan
Islam El-Tarbawi, 2008).
Achmad Munib, Pengantar Ilmu
Pendidikan, (Semarang : Unnes Press, 2009).
Media Indonesia, Rabu, 08 September
2008.
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Manajemen Pendidikan
Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009).
Brian Fay, Contemporary
Philosophy of Social Sience : A Multicultural Approach, (Oxrofd :
Backwell,1996).
Yulia
Riswanti, Urgensi Pendidikan Islam dalam
Membangun Multikulturalisme dalam Jurnal Kependidikan Islam, (Yogyakarta :
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2008).
Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam
ajaran agama-agama di Indonesia dalam Jurnal Kependidikan Islam,
(Yogyakarta : Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga,2008).
[15]Disintegrasi adalah masa kehancuran, pembubaran, pemisahan
kekuasaan, kehancuran jiwa (karena
dorongan nafsu yang menguasai jiwa), Kamus Ilmiyah Populer Pus A Partanto
dan M Dahlan Al Barry. Pada masa ini terjadi pada tahun 1998 dimana banyak
dilakukan aksi demonstrasi dalam ragka mengulingkan kekuasaan Suharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar