TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA
DALAM PEMBELAJARAN PAI
Oleh : Abdul Aziz
I.
PENDAHULUAN
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.(QS. Al ‘Alaq : 1-5)[1]
Al Qur’an memerintahkan kepada umat manusia
untuk belajar, sejak ayat pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Perintah untuk membaca dalam ayat itu disebut dua kali, perintah kepada
Rasulullah SAW. Dan selanjutnya perintah kepada seluruh umat manusia. Membaca
adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologis
berupa membaca huruf – huruf yang tertulis dala buku – buku maupun
terminologis, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya, membaca alam
semesta (ayatul-kaun).[2] Term
kalam disebut dalam ayat itu lebih memperjelas makna hakiki membaca, yaitu
sebagai alat belajar.
Belajar merupakan aktifitas individu yang melakukan belajar, yaitu proses
kerja faktor internal. belajar adalah proses penyesuaian atau adaptasi melalui
asimilasi dan akomodasi antara stimulasi dengan unit dasar kognisi seseorang.
Menurut pandangan psikologi behavioristik merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika yang
bersangkutan dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini yang
penting dalam belajar adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon.
Teori behavioristik memandang bahwa belajar adalah mengubah tingkah laku
siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan
tugas guru adalah mengontrol stimulus dan lingkungan belajar agar perubahan
mendekati tujuan yang diinginkan, dan guru pemberi hadiah siswa yang telah
mampu memperlihatkan perubahan bermakna sedangkan hukuman diberikan kepada
siswa yang tidak mampu memperlihatkan perubahan makna.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian belajar menurut pandangan teori
behavioristik/?
2.
Bagaimana teori belajar menurut Thorndike,
Watson, Clark Hull, Edwin Gutrie dan Skiner?
3.
Bagaiamana aplikasi teori belajar behavioristik
dalam kegiatan pembelajaran PAI di sekolah/madrasah?
4.
Bagaimana desain pembelajaran berbasis teori
belajar behavioristik?
III. PEMBAHASAN
1.
Pengertian belajar menurut pandangan teori
behavioristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain
adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang
dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang
baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.[3]
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang
dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang
terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pembelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila
penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin
kuat. Begitu pula bila penguatan dikurangi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka respon juga semakin kuat.[4]
Istilah imbalan (reward) dan penguatan (reinforcement)
kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan mengapa anggapan itu
kurang tepat. suatu penguat (reinforcer) didefinisikan sebagai unconditioned
stimulus, yakni setiap stimulus yang menimbulkan reaksi alamiah dan
otomatis dari suatu organisme. Stimulus ini bisa disebut sebagai penguat, namun
sulit untuk dianggap sebagai imbalan, jika imbalan itu dianggap sebagai suatu
yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga tidak mau menyamakan penguat
dengan imbalan. Menurut mereka, penguat akan memperkuat setiap perilaku
yang secara langsung mendahului kejadian penguat. Sebaliknya, imbalan
biasanya dianggap sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima hanya untuk
prestasi yang layak pencapaiannya membutuhkan waktu dan energi, atau diberikan
untuk tindakan yang dianggap diinginkan oleh masyarakat. Lebih jauh, karena
perilaku yang diinginkan itu biasanya sudah lama ada sebelum perilaku tersebut
diakui lewat pemberian imbalan, maka imbalan itu tidak bisa dikatakan
memperkuat perilaku itu. Jadi menurut penganut Skinnerian, penguat akan memperkuat
perilaku, namun imbalan tidak.[5]
2.
Teori belajar
menurut Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Gutrie, dan Skiner
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu
yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.[6]
Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme. bentuk paling
dasar dari proses belajar adalah trial-and-error learning (belajar
dengan uji coba), atau yang disebutnya sebagai selecting and connecting
(pemilihan dan pengaitan). Dia mendapatkan ide dasar ini melalui eksperimen
awalnya, dengan memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata
sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis respon tertentu ia
bisa keluar dari perangkat itu.
Waktu yang dibutuhkan hewan untuk memecahkan problem sebagai fungsi
dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki hewan untuk memecahkna problem.
Setiap kesempatan adalah usaha coba-coba, dan upaya percobaan berhenti saat si
hewan mendapatkan solusi yang benar. Dengan mencatat penurunan gradual dalam
waktu untuk mendapatkan solusi (membebaskan diri) sebagai fungsi
percobaan suksesif (kesempatan untuk membebaskan diri), Dengan kata
lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan
langsung melompat ke pengertian yang mendalam.
Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih
mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar. Penentangan
terhadap arti penting nalar dan ide dalam belajar ini menjadi awal dari apa
yang kemudian menjadi gerakan behavioristik di Amerika Serikat. Banyak orang
yang terganggu oleh pandangan Thorndike bahwa semua proses belajar adalah
langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, dan juga terutama karena dia juga
menegaskan bahwa proses belajar semua mamalia, termasuk manusia, mengikuti
kaidah yang sama. Menurut Thorndike, tidak ada proses khusus yang perlu
dipostulatkan dalam rangka menjelaskan proses belajar manusia.[7]
Teori Belajar Menurut Watson
Menurut Watson, Belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan
mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati
dan diukur.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Menurut Clark Hull, Belajar merupakan perubahan tingkah laku melalui kekuatan
kebiasaan. Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan
kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
bermacam-macam bentuknya.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh
teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa
belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respon
tertentu. Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar, hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini
adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat, siswa harus
dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari, dalam mengelola kelas guru tidak
boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.[8]
Konsep yang dikemukakan
oleh Guthrie ini berisi makna bahwa belajar
pada diri siswa terjadi tidak harus mengulang-ulang urutan antara hubungan
stimulus dengan respons, serta tidak memerlukan adanya hadiah. Dia menyatakan
bahwa belajar itu akan terjadi oleh karena adanya contiguity (hubungan kontak
antara stimulus dengan respons). Tidak menjadi soal apakah respons didapat
selama latihan dengan stimulus atau dengan cara lain, sepanjang stimulus
dan respons terjadi secara bersama-sama, maka belajar itu terjadi.[9]
pada diri siswa terjadi tidak harus mengulang-ulang urutan antara hubungan
stimulus dengan respons, serta tidak memerlukan adanya hadiah. Dia menyatakan
bahwa belajar itu akan terjadi oleh karena adanya contiguity (hubungan kontak
antara stimulus dengan respons). Tidak menjadi soal apakah respons didapat
selama latihan dengan stimulus atau dengan cara lain, sepanjang stimulus
dan respons terjadi secara bersama-sama, maka belajar itu terjadi.[9]
Teori Belajar Menurut Skiner
Konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus
dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang
dihasilkan, respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang
nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah
laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu
dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut, dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya. [10]
3.
Aplikasi teori
belajar behavioristik dalam kegiatan pembelajaran PAI di sekolah/madrasah
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar, dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu
dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung
dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pelajar, media Dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
ke orang yang belajar, siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar
atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, Siswa dianggap sebagai objek
pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena
itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pembelajar diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang
sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah.
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
siswa menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan
bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Teori ini menekankan evaluasi
pada kemampuan pembelajar secara individual. Langkah-langkah pembelajarannya meliputi:
1. Menentukan
tujuan-tujaun pembelajaran.
2. Menganalisis
lingkungan kelas yang ada.
3. Menentukan
materi pembelajaran.
4. Memecah
materi pelajaran menjadi kecil-kecil.
5. Menyajikan
materi pelajaran.
6. Memberikan
stimulus.
7. Mengamati
dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8. Memberikan
penguatan ataupun hukuman.
9. Memberikan
stimulus baru.
10. Mengamati dan
mengkaji respons yang diberikan siswa.
11. Memberikan penguatan
lanjutan atau hukuman.
12. Demikian seterusnya.
13. Evaluasi hasil
belajar.[11]
Bahwa
perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan,
rangsangan, dan stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran
positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika
diberikan ganjaran negatif suatu perilaku akan dihambat.[12]
Dalam situasi belajar PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak
diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement
langsung. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan oleh murid.
Sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai
contoh murid yang tidak menghafalkan pelajaran Qur’an Hadits selalu disuruh
berdiri didepan kelas oleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia
disuruh duduk kembali dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar
menghafal setiap pelajaran Qur’an Hadits.
4.
Desain
pembelajaran berbasis teori belajar behavioristik
Istilah
pengembangan sistem instruksional (instructional system development) dan
desain instruksional (instructional design) sering dianggap sama, atau
setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam penggunaannya, meskipun
menurut arti katanya ada perbedaan antara desain dan pengembangan. Kata desain
berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan. Sedang
pengembangan berarti membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu
lebih besar, lebih baik, lebih efektif dan sebagainya.[13]
Desain
pembelajaran adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar
serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket
pembelajaran, kegiatan mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi
hasil belajar.[14]
Desain
pembelajaran berhubungan dengan pemahaman, perbaikan, dan penerapan
metode-metode pembelajaran. Desain pembelajaran merupakan proses penentuan
metode pembelajaran yang tepat untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan
dalam diri siswa yang berkaitan dengan pengetahuan dang keterampilan sesuai
dengan isi pembelajaran dan siswa tertentu.
Teori behaviorisme
yang menekankan adanya hubungan antara stimulus
(S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting
bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan
stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons
secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai
reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan, yaitu :
(S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting
bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan
stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons
secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai
reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan, yaitu :
1.
Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar
adalah perubahan
tingkah laku, seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang
bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
tingkah laku, seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang
bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2.
Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam
belajar adalah adanya
stimulus dan respon, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang
terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
stimulus dan respon, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang
terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3.
Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan
timbulnya respon,
merupakan faktor penting dalam belajar. Agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
merupakan faktor penting dalam belajar. Agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang
tepat untuk
diberikan kepada siswa.
diberikan kepada siswa.
2.
Guru mengerti jenis respons apa yang akan muncul pada
diri siswa.
3.
Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa
ini benar-benar
sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a.
Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati
(observable)
b.
Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur
(measurable)
c.
Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat
dinyatakan secara
eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d.
Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau
setia dalam
ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam
hadiah (reward).[15]
ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam
hadiah (reward).[15]
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1.
belajar adalah
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.
2.
Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori
belajar, belajar artinya perubahan perilaku sebagai pengaruh lingkungan,
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dipengaruhi oleh
stimulus.
3.
Pembelajaran
yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan.
4.
Desain pembelajaran adalah keseluruhan proses analisis
kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi
pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Rekomendasi
1.
Teori ini cocok diterapkan
untuk melatih peserta
didik yang masih membutuhkan dominansi peran guru, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.
2. Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kontinyuitas,
kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleks, dan daya tahan. misalnya : shalat, puasa,
kemampuan membaca Al Qur’an dengan tartil, percakapan
bahasa asing, mengetik, menari, berenang, olahraga dan lain sebagainya.
3. Dapat dikendalikan melalui cara mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon
yang diinginkan, sementara peserta didik tidak menyadari bahwa ia dikendalikan
oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an
Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).
Yusuf Qardhawi
(penerjemah : Abdul Hayyie Al-Kattani, Irfan Salim, Sochimien), Al Qur’an
Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Gema Insani Press,
1998).
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru
dalam Psikologi Pembelajaran,
(Jakarta : Bumi Aksara, 2006).
Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia on line,
http://id.wikipedia.org/wiki /Teori_Belajar_ Behavioristik, 16 Januari
2012, diakses tanggal 18 April 2013.
B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning :
Teori Belajar, terj. Tri Wibowo, (Jakarta: Prenada Media, 2008).
Asri
Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).
Randy Harland, Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya
dalam Pembelajaran, Wordpress on line, http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/,
diakses tanggal 17 April 2013.
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta :
Depdikbud, 1989).
Asri
Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005).
Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Sebuah Pendekatan Baru, (Bandung : Rosda, 1997).
Harjanto, Perencanaan
Pengajaran, (Jakarta
: Rineka Cipta, 2008).
Leslie
J. Briggs, Instruksional Design : Prinsiples and Aplication, (Englewood Cliffs, N.J. : Educational Technology Publicatios, 1979).
Mukminan. Teori
Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : P3G IKIP, 1997).
RENCANA PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan : Madrasah
Tsanawiyah (MTs.) Al Hikmah
Mata Pelajaran : Fiqh
Materi Pokok : Sholat Jama’
Kelas/Semester :
VII/Genap
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit (1 x pertemuan)
I. Standar
Kompetensi
Menjadikan shalat jama’ sebagai pedoman bagi individu dalam
menjalankan ibadah sholat dalam kehidupan sehari-hari.
II. Kompetensi
Dasar
1. Siswa mampu memahami konsep
sholat jama’(kognitif)
2. Siswa mematuhi konsep sholat
jama’ dalam kehidupan sehari – hari (Afektif)
3. Siswa terampil melaksanakan
sholat jama’ dalam kehidupan sehari – hari (Psikomotor)
III. Indikator
1. Menjelaskan pengertian
2. Menjelaskan konsep shalat jama’
3. Menjelaskan syarat dan
macam-macam shalat jama’
4. Mendemontrasikan shalat jama’
5. Menuntun siswa untuk
melaksanakan shalat jama’ dalam kehidupan sehari-hari
IV. Tujuan
Pembelajaran
No
|
Tujuan Pembelajaran
|
Nilai Karakter
|
1
2
3
4
|
siswa dapat menjelaskan pengertian shalat jama’ dengan benar
siswa dapat menjelaskan alasan diberikannya keringanan berupa shalat
jama’
siswa dapat menyebutkan macam-macam
shalat jama’, dan syarat
sah shalat jama’
siwa dapat melaksanakan shalat jama’ dengan baik dan benar
|
Berani, percaya diri
Konsentrasi,
cinta ilmu
Kerjasama,
cinta ilmu
|
V. Uraian
Materi
A.
Pengertian
Shalat Jama’
Menurut
bahasa sholat jama' artinya
shalat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat Islam ialah dua shalat
fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada sebab-sebab tertentu.
Menurut Shiddieq sholat jama’ ialah menggabungkan dua waktu sholat
yang sebab waktunya sama dikerjakan di salah satu dari kedua waktu itu. Sedangkan dalam istilah
fiqih, menjama` sholat berarti mengumpulkan dua sholat yang dilakukan pada
waktu salah satunya. Sholat yang boleh dijama` adalah sholat Zuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya, pada
waktu salah satu dari keduanya.
Menurut Khalil sholat jama’
(penggabungan dua sholat) adalah pelaksanaan dua sholat wajib (Zuhur
+ ‘Ashar dan Maghrib + ‘Isya ) dalam salah satu waktunya; sedang masing-masing
sholat tetap dilaksanakan satu persatu (tidak digabung) dan dengan
urut-urutan yang tetap. Hal ini dapat dilakukan apabila seseorang sedang dalam
perjalanan (sejak saat akan berangkat, selama dalam perjalanan, sampai saat
tiba/pulang dari perjalanan). Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa sholat jama’ adalah menggabungkan dua waktu
sholat wajib dan dikerjakan dalam satu waktu.
Dalil yang
digunakan adalah :
Dari Mu’adz, katanya: “
Kami pernah keluar (dari rumah) bersama Nabi SAW. dalam peperangan Tabuk,
beliau melakukan sholat Zuhur dan ‘Ashar dengan dijama’ serta sholat Maghrib
dan Isya’ dengan dijama’ ( HR. Muslim ).
B.
Macam-macam Sholat Jama’
Sholat jama’ terbagi menjadi dua macam yaitu :
1. Jama’ Taqdim
Jama` Taqdim, apabila
shalat jama’ itu dilakukan pada waktu sholat
yang pertama (Zuhur atau Maghrib). Maksudnya adalah
apabila kita menjama’ sholat yakni sholat Zuhur dan ‘Ashar maka sholat jama’
dikerjakan pada waktu Zuhur. Begitu juga ketika menjama’ sholat Maghrib dan
‘Isya maka sholat jama’ dikerjakan pada waktu Maghrib.
2. Jama’ Ta’khir
Jama` Takhir, apabila sholat jama’
itu dilakukan pada waktu shalat yang kedua (Ashar atau
`Isya). Maksudnya adalah apabila kita menjama’ sholat yakni sholat Zuhur dan
‘Ashar maka sholat jama’ dikerjakan pada waktu ‘Ashar. Begitu juga
ketika menjama’ sholat Maghrib dan ‘Isya maka sholat jama’ dikerjakan
pada waktu ‘Isya.
C.
Syarat
Sholat Jama’
1.
Syarat Jama` Taqdim adalah:
· Mendahulukan sholat
yang punya waktu, artinya sholat Zuhur lebih dahulu baru kemudian baru sholat ‘Ashar, Maghrib lebih dahulu baru
kemudian sholat ‘Isya.
· Berniat sholat jama’
dalam hati ketika takbiratul ihram masing-masing sholat, seperti: “niat
aku sholat Zuhur jama’ sholat ‘Ashar” di waktu sholat Zuhurnya, dan “aku
niat sholat ‘Ashar dengan Zuhur” ketika sholat ‘Asharnya.
· Tidak terselang
melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan sholat tersebut. Maka urutan
mengerjakan sholat jama’ adalah: iqamat, sholat yang pertama sampai
selesai salam lalu iqamat lagi dan diteruskan dengan sholat yang kedua hingga
salam selesai.
2. Syarat Jama` Ta’khir
· Niat Jama` Ta’khir
ketika masuk waktu yang pertama.
Misalnya kita menjama’ sholat Zuhur dan ‘Ashar, maka ketika masuk waktu Zuhur
itulah menyatakan niat dalam hati “ Zuhur ini akan digabung dengan Ashar ”.
Adapun urutan mengerjakannya nanti di waktu ‘Ashar, dapat dilakukan dengan
mengerjakan sholat Zuhur dulu karena dia yang pertama dan waktunya sudah lewat,
atau sholat ‘Ashar dulu karena dia yang punya waktu.
·
Berniat sholat jama’ ketika masing-masing takbiratul Ihram.
·
Tidak terselang dengan suatu kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan
sholat.
VI. Skenario
Pembelajaran
No
|
Kegiatan
|
Langkah-Langkah
Kegiatan
|
Nilai karakter
|
Waktu
|
1
|
Kegiatan
Awal
|
Pendahuluan
a. Guru menyiapkan kondisi siswa untuk siap belajar
b. Guru mengucapkan salam
c. Guru dan siswa membaca basmalah.
d. Guru menyampaikan tema dan tujuan pembelajaran
e. Guru memberikan appersepsi : Fun story.
f. Guru memberikan pretest dengan mengajukan
pertanyaan : apa yang dimaksud dengan
shalat jama’?
g. Motivasi awal
|
Disiplin
Religius
Religius
Peduli
Cinta Ilmu
Gemar membaca
|
15 Menit
|
2
|
Kegiaatan
Inti
|
Eksplorasi
Guru menjelaskan shalat jama’ dengan menggunakan metode ceramah dan
selanjutnya memberikan contoh.
a. Guru membagi siswa
menjadi 2 kelompok besar.
c. Guru memerintahkan
team A untuk menyiapkan latihan shalat
jama’ taqdim.
d. Guru memerintahkan
team B untuk menyiapkan latihan shalat jama’ ta’khir.
Elaborasi
a. Siswa secara
berkelompok mendengarkan penjelasan singkat dari guru
b. Siswa team A mempraktekkan
latihan shalat jama’ taqdim.
Siswa team B mempraktekkan latihan
shalat jama’ taqdim.
Konfirman
a. Guru mereview dan memberi
penjelasan tambahan terkait praktek latihan shalat jama’ siswa secara
mendalam
b. Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai praktek latihan yang belum
dipahami
c. Guru memberikan
reward kepada yang benar dan memberikan punishment kepada yang belum benar.
|
Kerjasama,
berani, dan disiplin
|
60Menit
|
3
|
Kegiatan
Akhir
|
Penutup
a. Guru membimbing siswa
untuk menyimpulkan materi yang telah di pelajari
b. Kemudian Guru
melakukan evaluasi
c. Guru memberikan
Motivasi akhir kepada siswa untuk mengulangi pelajaran di rumah
d. Do’a
e. Salam
|
Kerjasama,
demokratis
Bertanggung
jawab
Bertanggung
jawab, cinta ilmu
Religius
|
5 Menit
|
VII. Metode Pembelajaran
1.
Ceramah
2.
Kelompok
3.
Latihan
VIII. Media dan Sumber Belajar
1. Media
·
LCD dan Laptop
2. Sumber
·
Amir
Abyan, Pendidikan Agama Islam, Fiqih MTs kls VII, (Semarang : PT.
Karya Toha Putra, 2009).
·
Sudarko, Fiqih MTs kls VII, (Semarang : CV Aneka Ilmu, 2007).
·
Umay M. Dja’far Shiddieq, Syri’ah Ibadah; Pengamalan Rukun Islam dari
al-Quran dan As-Sunnah. (Jakarta : Al-Ghuraba, 2006).
·
M. S. Khalil, Tata Cara Sholat Nabi SAW. (Bantul : ‘Izzan Pustaka,
2006).
·
Mahmudin, Shalat Jama` dan Qashar,
(Yogyakarta : Sketsa, 2007).
· Moh. Rifa’I, Ilmu
Fiqh Islam Lengkap, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978).
IX. Evaluasi
No
|
Tujuan
Pembelajaran
|
Tehnik
|
Bentuk
|
1
2.
3.
4.
|
siswa dapat menjelaskan pengertian shalat jama’ dengan benar
siswa dapat menjelaskan alasan diberikannya keringanan berupa shalat
jama’
siswa dapat menyebutkan macam-macam
shalat jama’, dan syarat
sah shalat jama’
siswa dapat
melaksanakan shalat jama’ dengan baik dan benar
|
Test lisan
Test lisan
Test lisan
praktek
|
Essay
Essay
Essay
Praktek
|
Bandar Lampung, 19 April 2013
Mengetahui, Guru
Mata pelajaran
Kepala Madrasah
MUHAMMAD
ITSNAINI, S.Pd.I. ABDUL AZIZ, S.Pd.I.
[1]. Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah
Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja
Fahd, 1412 H.),
h. 1079.
[2]. Yusuf Qardhawi (penerjemah : Abdul Hayyie
Al-Kattani, Irfan Salim, Sochimien), Al Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Gema Insani Press, 1998), h. 235.
[3]. Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam
Psikologi Pembelajaran, (Jakarta :
Bumi Aksara, 2006), h. 7.
[4]. Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia
on line, http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_
Behavioristik, 16 Januari 2012, diakses tanggal 18 April 2013.
[5]. B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories
of Learning : Teori Belajar, terj. Tri Wibowo, (Jakarta: Prenada Media,
2008), h. 3.
[6]. Asri Budiningsih, Belajar dan
Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 21.
[7]. B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Op.
Cit. 60-65.
[8]. Randy Harland, Teori Belajar
Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran, Wordpress on line,
http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/,
diakses tanggal 17 April 2013.
[10]. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran,
(Jakarta : Rineka Cipta, 2005), h. 23-24.
[11]. Ibid., h. 27-30.
[14]. Leslie J. Briggs, Instruksional Design :
Prinsiples and Aplication, (Englewood Cliffs, N.J. : Educational Technology Publicatios, 1979), h. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar