Sabtu, 19 Oktober 2013

Behavioristik



TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA
DALAM PEMBELAJARAN PAI
Oleh : Abdul Aziz
I.               PENDAHULUAN
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al ‘Alaq : 1-5)[1]
Al Qur’an memerintahkan kepada umat manusia untuk belajar, sejak ayat pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perintah untuk membaca dalam ayat itu disebut dua kali, perintah kepada Rasulullah SAW. Dan selanjutnya perintah kepada seluruh umat manusia. Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologis berupa membaca huruf – huruf yang tertulis dala buku – buku maupun terminologis, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya, membaca alam semesta (ayatul-kaun).[2] Term kalam disebut dalam ayat itu lebih memperjelas makna hakiki membaca, yaitu sebagai alat belajar.
Belajar merupakan aktifitas individu yang melakukan belajar, yaitu proses kerja faktor internal. belajar adalah proses penyesuaian atau adaptasi melalui asimilasi dan akomodasi antara stimulasi dengan unit dasar kognisi seseorang. Menurut pandangan psikologi behavioristik merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini yang penting dalam belajar adalah input yang berupa stimulus  dan output yang berupa respon.
Teori behavioristik memandang bahwa belajar adalah mengubah tingkah laku siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan tugas guru adalah mengontrol stimulus dan lingkungan belajar agar perubahan mendekati tujuan yang diinginkan, dan guru pemberi hadiah siswa yang telah mampu memperlihatkan perubahan bermakna sedangkan hukuman diberikan kepada siswa yang tidak mampu memperlihatkan perubahan makna.

II.            RUMUSAN MASALAH
1.        Apa pengertian belajar menurut pandangan teori behavioristik/?
2.        Bagaimana teori belajar menurut Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Gutrie dan Skiner?
3.        Bagaiamana aplikasi teori belajar behavioristik dalam kegiatan pembelajaran PAI di sekolah/madrasah?
4.        Bagaimana desain pembelajaran berbasis teori belajar behavioristik?

III.    PEMBAHASAN
1.        Pengertian belajar menurut pandangan teori behavioristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.[3]
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pembelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila penguatan dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.[4]
Istilah imbalan (reward) dan penguatan (reinforcement) kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan mengapa anggapan itu kurang tepat. suatu penguat (reinforcer) didefinisikan sebagai unconditioned stimulus, yakni setiap stimulus yang menimbulkan reaksi alamiah dan otomatis dari suatu organisme. Stimulus ini bisa disebut sebagai penguat, namun sulit untuk dianggap sebagai imbalan, jika imbalan itu dianggap sebagai suatu yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga tidak mau menyamakan penguat dengan imbalan. Menurut mereka, penguat akan memperkuat setiap perilaku yang secara langsung mendahului kejadian penguat. Sebaliknya, imbalan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima hanya untuk prestasi yang layak pencapaiannya membutuhkan waktu dan energi, atau diberikan untuk tindakan yang dianggap diinginkan oleh masyarakat. Lebih jauh, karena perilaku yang diinginkan itu biasanya sudah lama ada sebelum perilaku tersebut diakui lewat pemberian imbalan, maka imbalan itu tidak bisa dikatakan memperkuat perilaku itu. Jadi menurut penganut Skinnerian, penguat akan memperkuat perilaku, namun imbalan tidak.[5]
2.        Teori belajar menurut Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Gutrie, dan Skiner
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.[6]
Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme. bentuk paling dasar dari proses belajar adalah trial-and-error learning (belajar dengan uji coba), atau yang disebutnya sebagai selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Dia mendapatkan ide dasar ini melalui eksperimen awalnya, dengan memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis respon tertentu ia bisa keluar dari perangkat itu.
Waktu yang dibutuhkan hewan untuk memecahkan problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki hewan untuk memecahkna problem. Setiap kesempatan adalah usaha coba-coba, dan upaya percobaan berhenti saat si hewan mendapatkan solusi yang benar. Dengan mencatat penurunan gradual dalam waktu untuk mendapatkan solusi (membebaskan diri) sebagai fungsi percobaan suksesif (kesempatan untuk membebaskan diri), Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian yang mendalam.
Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar. Penentangan terhadap arti penting nalar dan ide dalam belajar ini menjadi awal dari apa yang kemudian menjadi gerakan behavioristik di Amerika Serikat. Banyak orang yang terganggu oleh pandangan Thorndike bahwa semua proses belajar adalah langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, dan juga terutama karena dia juga menegaskan bahwa proses belajar semua mamalia, termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama. Menurut Thorndike, tidak ada proses khusus yang perlu dipostulatkan dalam rangka menjelaskan proses belajar manusia.[7]
Teori Belajar Menurut Watson
Menurut Watson, Belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud  harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur.  Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Menurut Clark Hull, Belajar merupakan perubahan tingkah laku melalui kekuatan kebiasaan. Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respon tertentu. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar, hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat, siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari, dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.[8]
Konsep yang dikemukakan oleh Guthrie ini berisi makna bahwa belajar
pada diri siswa terjadi tidak harus mengulang-ulang urutan antara hubungan
stimulus dengan respons, serta tidak memerlukan adanya hadiah. Dia menyatakan
bahwa belajar itu akan terjadi oleh karena adanya contiguity (hubungan kontak
antara stimulus dengan respons
). Tidak menjadi soal apakah respons didapat
selama latihan dengan stimulus atau dengan cara lain, sepanjang stimulus
dan respons terjadi secara bersama-sama, maka belajar itu terjadi.[9]
Teori Belajar Menurut Skiner
Konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan, respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.   [10]
3.        Aplikasi teori belajar behavioristik dalam kegiatan pembelajaran PAI di sekolah/madrasah
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar, dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pelajar, media Dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar, siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, Siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pembelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pembelajar secara individual. Langkah-langkah pembelajarannya  meliputi:
1.    Menentukan tujuan-tujaun pembelajaran.
2.    Menganalisis lingkungan kelas yang ada.
3.    Menentukan materi pembelajaran.
4.    Memecah materi pelajaran menjadi kecil-kecil.
5.                 Menyajikan materi pelajaran.
6.     Memberikan stimulus.
7.     Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8.    Memberikan penguatan ataupun hukuman.
9.     Memberikan stimulus baru.
10.  Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
11.  Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.
12.  Demikian seterusnya.
13.  Evaluasi hasil belajar.[11]
Bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan, rangsangan, dan stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatif suatu perilaku akan dihambat.[12] Dalam situasi belajar PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai contoh murid yang tidak menghafalkan pelajaran Qur’an Hadits selalu disuruh berdiri didepan kelas oleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar menghafal setiap pelajaran Qur’an Hadits.
4.        Desain pembelajaran berbasis teori belajar behavioristik
Istilah pengembangan sistem instruksional (instructional system development) dan desain instruksional (instructional design) sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara desain dan pengembangan. Kata desain berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan. Sedang pengembangan berarti membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif dan sebagainya.[13]
Desain pembelajaran adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket pembelajaran, kegiatan mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar.[14]
Desain pembelajaran berhubungan dengan pemahaman, perbaikan, dan penerapan metode-metode pembelajaran. Desain pembelajaran merupakan proses penentuan metode pembelajaran yang tepat untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam diri siswa yang berkaitan dengan pengetahuan dang keterampilan sesuai dengan isi pembelajaran dan siswa tertentu.
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus
(S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting
bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan
stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons
secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai
reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan, yaitu :
1.         Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan
tingkah laku, seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang
bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2.         Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya
stimulus dan respon, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang
terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3.         Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respon,
merupakan faktor penting dalam belajar. Agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.        Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk
diberikan kepada siswa.
2.        Guru mengerti jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.
3.        Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar
sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a.         Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)
b.        Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c.         Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara
eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d.        Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam
ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam
hadiah (reward).[15]

IV.    KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1.        belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.
2.        Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, belajar artinya perubahan perilaku sebagai pengaruh lingkungan, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dipengaruhi oleh stimulus.
3.        Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan.
4.        Desain pembelajaran adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Rekomendasi
1.        Teori ini cocok diterapkan untuk melatih peserta didik yang masih membutuhkan dominansi peran guru, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.
2.    Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kontinyuitas, kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleks, dan daya tahan. misalnya : shalat, puasa, kemampuan membaca Al Qur’an dengan tartil, percakapan bahasa asing, mengetik, menari, berenang, olahraga dan lain sebagainya.
3.    Dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara peserta didik tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.




DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).

Yusuf Qardhawi (penerjemah : Abdul Hayyie Al-Kattani, Irfan Salim, Sochimien), Al Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Gema Insani Press, 1998). 

Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,  (Jakarta : Bumi Aksara, 2006).

Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia on linehttp://id.wikipedia.org/wiki /Teori_Belajar_ Behavioristik, 16 Januari 2012, diakses tanggal 18 April 2013.

B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning : Teori Belajar, terj. Tri Wibowo, (Jakarta: Prenada Media, 2008).

Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).

Randy Harland, Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran, Wordpress on linehttp://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/, diakses tanggal 17 April 2013.

Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Depdikbud, 1989).

Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005).

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Sebuah Pendekatan Baru, (Bandung : Rosda, 1997).

Harjanto, Perencanaan Pengajaran,  (Jakarta : Rineka Cipta, 2008).

Leslie J. Briggs, Instruksional Design : Prinsiples and Aplication, (Englewood Cliffs, N.J. : Educational Technology Publicatios, 1979).

Mukminan. Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : P3G IKIP, 1997).








RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan      :           Madrasah Tsanawiyah (MTs.) Al Hikmah
Mata Pelajaran            :           Fiqh
Materi Pokok              :           Sholat Jama’
Kelas/Semester            :           VII/Genap
Alokasi Waktu            :           2 x 40 menit (1 x pertemuan)

I.              Standar Kompetensi
Menjadikan shalat jama’ sebagai pedoman bagi individu dalam menjalankan ibadah sholat dalam kehidupan sehari-hari.

II.           Kompetensi Dasar
1.      Siswa mampu memahami konsep sholat jama’(kognitif)
2.      Siswa mematuhi konsep sholat jama’ dalam kehidupan sehari – hari (Afektif)
3.      Siswa terampil melaksanakan sholat jama’ dalam kehidupan sehari – hari (Psikomotor)

III.        Indikator
1.        Menjelaskan pengertian
2.        Menjelaskan konsep shalat jama
3.        Menjelaskan syarat dan macam-macam shalat jama
4.        Mendemontrasikan shalat jama
5.        Menuntun siswa untuk melaksanakan shalat jama’ dalam kehidupan sehari-hari

IV.        Tujuan Pembelajaran
No
Tujuan Pembelajaran
Nilai Karakter
1
2

3

4
siswa dapat menjelaskan pengertian shalat jama’ dengan benar
siswa dapat menjelaskan alasan diberikannya keringanan berupa shalat jama’
siswa dapat menyebutkan macam-macam shalat jama’, dan syarat sah shalat jama’
siwa dapat melaksanakan shalat jama’ dengan baik dan benar
Berani, percaya diri
Konsentrasi, cinta ilmu
Kerjasama, cinta ilmu

V.           Uraian Materi
A.      Pengertian Shalat Jama’
Menurut bahasa sholat jama' artinya shalat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat Islam ialah dua shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada sebab-sebab tertentu.
Menurut Shiddieq sholat jama’ ialah menggabungkan dua waktu sholat yang sebab waktunya sama dikerjakan di salah satu dari kedua waktu itu. Sedangkan dalam istilah fiqih, menjama` sholat berarti mengumpulkan dua sholat yang dilakukan pada waktu salah satunya. Sholat yang boleh dijama` adalah  sholat Zuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya, pada waktu salah satu dari keduanya.
Menurut Khalil sholat jama’ (penggabungan dua sholat) adalah pelaksanaan dua sholat wajib (Zuhur + ‘Ashar dan Maghrib + ‘Isya ) dalam salah satu waktunya; sedang masing-masing sholat tetap dilaksanakan satu persatu (tidak digabung) dan dengan urut-urutan yang tetap. Hal ini dapat dilakukan apabila seseorang sedang dalam perjalanan (sejak saat akan berangkat, selama dalam perjalanan, sampai saat tiba/pulang dari perjalanan). Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sholat jama’ adalah menggabungkan dua waktu sholat wajib dan dikerjakan dalam satu waktu.
Dalil yang digunakan adalah :
Dari Mu’adz, katanya: “ Kami pernah keluar (dari rumah) bersama Nabi SAW. dalam peperangan Tabuk, beliau melakukan sholat Zuhur dan ‘Ashar dengan dijama’ serta sholat Maghrib dan Isya’ dengan dijama’ ( HR. Muslim ).
B.     Macam-macam Sholat Jama’
Sholat jama’ terbagi menjadi dua macam yaitu :
1.         Jama’ Taqdim
Jama` Taqdim, apabila shalat jama itu dilakukan pada waktu sholat yang pertama (Zuhur atau Maghrib). Maksudnya adalah apabila kita menjama’ sholat yakni sholat Zuhur dan ‘Ashar maka sholat jama’ dikerjakan pada waktu Zuhur. Begitu juga ketika menjama’ sholat Maghrib dan ‘Isya maka sholat jama’ dikerjakan pada waktu Maghrib.
2.      Jama’ Ta’khir
Jama` Takhir, apabila sholat jama’ itu dilakukan pada waktu shalat yang kedua (Ashar atau `Isya). Maksudnya adalah apabila kita menjama’ sholat yakni sholat Zuhur dan ‘Ashar maka sholat jama’ dikerjakan pada waktu ‘Ashar. Begitu juga ketika menjama’ sholat Maghrib dan ‘Isya maka sholat jama’ dikerjakan pada waktu ‘Isya.
C.      Syarat Sholat Jama’
1.      Syarat Jama` Taqdim adalah:
·          Mendahulukan sholat yang punya waktu, artinya sholat Zuhur lebih dahulu baru kemudian  baru sholat ‘Ashar, Maghrib lebih dahulu baru kemudian sholat ‘Isya.
·          Berniat sholat jama’ dalam hati ketika takbiratul ihram masing-masing sholat, seperti: “niat aku sholat Zuhur jama’ sholat ‘Ashar” di waktu sholat Zuhurnya, dan “aku niat sholat ‘Ashar dengan Zuhur” ketika sholat ‘Asharnya.
·          Tidak terselang melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan sholat tersebut. Maka urutan mengerjakan sholat jama’ adalah: iqamat, sholat yang pertama sampai selesai salam lalu iqamat lagi dan diteruskan dengan sholat yang kedua hingga salam selesai.
2.         Syarat Jama` Ta’khir
·           Niat Jama` Ta’khir ketika  masuk waktu yang pertama. Misalnya kita menjama’ sholat Zuhur dan ‘Ashar, maka ketika masuk waktu Zuhur itulah menyatakan niat dalam hati “ Zuhur ini akan digabung dengan Ashar ”. Adapun urutan mengerjakannya nanti di waktu ‘Ashar, dapat dilakukan dengan mengerjakan sholat Zuhur dulu karena dia yang pertama dan waktunya sudah lewat, atau sholat ‘Ashar dulu karena dia yang punya waktu.
·         Berniat sholat jama’ ketika masing-masing takbiratul Ihram.
·         Tidak terselang dengan suatu kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan sholat.
VI.        Skenario Pembelajaran
No
Kegiatan
Langkah-Langkah Kegiatan
Nilai karakter
Waktu



1



Kegiatan
Awal
Pendahuluan
a.      Guru menyiapkan kondisi siswa untuk siap belajar
b.       Guru mengucapkan salam
c.       Guru dan siswa membaca basmalah.
d.      Guru menyampaikan tema dan tujuan pembelajaran
e.       Guru memberikan appersepsi : Fun story.
f.         Guru memberikan pretest dengan mengajukan pertanyaan :  apa yang dimaksud dengan shalat jama’?
g.       Motivasi awal

Disiplin

Religius

Religius

Peduli

Cinta Ilmu
Gemar membaca
15 Menit
2
Kegiaatan
Inti
Eksplorasi
Guru menjelaskan shalat jama’ dengan menggunakan metode ceramah dan selanjutnya memberikan contoh.
a.   Guru membagi siswa menjadi 2 kelompok besar.
c.   Guru memerintahkan team A  untuk menyiapkan latihan shalat jama’ taqdim.
d.  Guru memerintahkan team B untuk menyiapkan latihan shalat jama’ ta’khir.

Elaborasi
a.   Siswa secara berkelompok mendengarkan penjelasan singkat dari guru
b.   Siswa team A mempraktekkan latihan shalat jama’ taqdim.
     Siswa team B mempraktekkan latihan shalat jama’ taqdim.

Konfirman
a.   Guru mereview dan memberi penjelasan tambahan terkait praktek latihan shalat jama’ siswa secara mendalam
b.   Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai praktek latihan yang belum dipahami
c.   Guru memberikan reward kepada yang benar dan memberikan punishment kepada yang belum benar.

Kerjasama, berani, dan disiplin



60Menit




3




Kegiatan
Akhir
Penutup
a.   Guru membimbing siswa untuk menyimpulkan materi yang telah di pelajari
b.    Kemudian Guru melakukan evaluasi
c.   Guru memberikan Motivasi akhir kepada siswa untuk mengulangi pelajaran di rumah
d.   Do’a
e.    Salam
Kerjasama, demokratis
Bertanggung jawab
Bertanggung jawab, cinta ilmu
Religius
5 Menit

VII.     Metode Pembelajaran
1.        Ceramah
2.        Kelompok
3.        Latihan

VIII.  Media dan Sumber Belajar
1.        Media        
·           LCD dan Laptop
2.        Sumber   
·         Amir Abyan, Pendidikan Agama Islam, Fiqih MTs kls VII, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 2009).
·         Sudarko, Fiqih MTs kls VII, (Semarang : CV Aneka Ilmu, 2007).
·         Umay M. Dja’far Shiddieq, Syri’ah Ibadah; Pengamalan Rukun Islam dari al-Quran dan As-Sunnah. (Jakarta : Al-Ghuraba, 2006).
·         M. S. Khalil, Tata Cara Sholat Nabi SAW. (Bantul : ‘Izzan Pustaka, 2006).
·         Mahmudin, Shalat Jama` dan Qashar, (Yogyakarta : Sketsa, 2007).
·        Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978).

IX.        Evaluasi 
No
Tujuan Pembelajaran
Tehnik
Bentuk
1
2.

3.

4.
siswa dapat menjelaskan pengertian shalat jama’ dengan benar
siswa dapat menjelaskan alasan diberikannya keringanan berupa shalat jama’
siswa dapat menyebutkan macam-macam shalat jama’, dan syarat sah shalat jama’
siswa dapat melaksanakan shalat jama’ dengan baik dan benar
Test lisan
Test lisan

Test lisan

praktek
Essay
Essay

Essay

Praktek
                                                                                                      Bandar Lampung, 19 April  2013
Mengetahui,                                                                                  Guru Mata pelajaran
Kepala Madrasah



MUHAMMAD ITSNAINI, S.Pd.I.                                            ABDUL AZIZ, S.Pd.I.   



                                                                                   













[1].      Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.), h. 1079.
[2].      Yusuf Qardhawi (penerjemah : Abdul Hayyie Al-Kattani, Irfan Salim, Sochimien), Al Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Gema Insani Press, 1998), h. 235.  
[3].      Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,  (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), h. 7.
[4].      Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia on linehttp://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_ Behavioristik, 16 Januari 2012, diakses tanggal 18 April 2013.
[5].      B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning : Teori Belajar, terj. Tri Wibowo, (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 3.
[6].      Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 21.
[7].      B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Op. Cit. 60-65.
[8].      Randy Harland, Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran, Wordpress on linehttp://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/, diakses tanggal 17 April 2013.
[9].      Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Depdikbud, 1989), h. 56.
[10].    Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), h. 23-24.
[11].    Ibid., h. 27-30.
[12].    Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Sebuah Pendekatan Baru, (Bandung : Rosda, 1997), h. 196.
[13].    Harjanto, Perencanaan Pengajaran,  (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), h. 95.
[14].    Leslie J. Briggs, Instruksional Design : Prinsiples and Aplication, (Englewood Cliffs, N.J. : Educational Technology Publicatios, 1979),  h. 20.

[15].    Mukminan. Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : P3G IKIP, 1997), h. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar