HADIS SHOHIH
عبد العزيزoleh :
I.
PENDAHULUAN
Hadis
merupakan sumber hukum umat Islam
kedua setelah Al-Qur’an. Apabila dalam Al-Qur’an tidak ditemui suatu hukum maka
umat Islam
mencarinya dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Hadis
tidak hanya merupakan perkataan Nabi Muhammad SAW, tapi ia juga meliputi perbuatan dan persetujuan Rasulullah SAW. Sebagai sumber hukum yang
kedua setelah Al-Qur’an, hadis
memiliki sejarah penyampaian dan penulisan yang panjang. Dimulai sejak zaman
Rasulullah SAW,
sahabat, tabi’in, tabi’uttabi’in, dan seterusnya, Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW melarang
menulis hadis secara umum karena takut tercampur dengan Al-Qur’an. Saat itu aktivitas penulisan
difokuskan pada Al-Qur’an.
Namun kemudian, Nabi
memerintahkan menulis hadis khusus kepada sahabat yang pandai baca tulis
sehingga tidak dikhawatirkan terjadi kesalahan. Perintah itu juga kepada
sahabat yang kuat hafalannya sehingga tidak dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an.[1] telah menjadi sebuah fakta
sejarah yang
susah dibantah validitas dan otentisitasnya, sehingga pada gilirannya, ia
menjadi disiplin ilmu sendiri. Lebih dari itu, periwayatan hadis yang
sambung-menyambung sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga tabi’uttabi’in, dengan
seleksi kualitas perawinya yang ketat, menjadikannya sebagai bangunan
epistemologis yang kuat dalam khazanah keilmuan dalam Islam.
Namun
demikian, dalam perjalanannya, seiring dengan perkembangan politik dan
kekuasaan Islam, banyak perawi yang ditunggangi kepentingan politik penguasa
atau golongan. Sehingga tidak sedikit yang meriwayatkan hadis palsu dengan
motif tertentu. Hal ini tentu harus dipahami oleh umat Islam. Maka dari sini
muncullah ilmu-ilmu lain untuk menyeleksi kualitas sebuah hadis sehingga bisa
sampai pada kesimpulan apakah suatu hadis itu
valid dan otentik atau sebaliknya.
Secara
garis besar, hadis dibagi menjadi dua yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Pembagian hadis ini didasarkan pada
kuantitas perawinya. Hadits mutawatir yang mensyaratkan jumlah rawi yang lebih
dari tiga pada setiap generasi (thabaqah) sanadnya, merupakan
hadits yang valid, otentik sehingga taken for granted tanpa perlu
menganalisa terlebih dahulu. Hal ini tidaklah berlebihan karena dari sisi
epistemologis hadits mutawatir ini sangatlah kuat. Sementara itu, hadis ahad
yang jumlah perawinya di setiap generasi adalah tiga atau kurang dari tiga,
dibagi menjadi hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib. Hadis ahad ini bisa
dipilah-pilah lagi berdasarkan kekuatan dan kelemahan (baca: kualitas)
perawinya menjadi hadis yang diterima (maqbul) dan hadis yang ditolak (mardud).
Hadis yang maqbul merupakan hadis yang perawinya
tsiqah, bisa dipertanggungjawabkan kapabilitas dan kredibilitasnya sebagai
perawi. Sehingga melaksanakan dan menjadikan hadis tersebut sebagai hujjah
adalah suatu kewajiban. Sedangkan hadis mardud berarti perawinya tidak
tsiqah, maka hadis mardud tidak bisa dijadikan landasan sebuah hukum.
Hadis
maqbul sendiri, berdasarkan tingkatan kekuatannya, dibagi menjadi dua yaitu hadis shohih dan hadis hasan. Sedangkan hadis yang
mardud, para ulama membaginya menjadi bagian-bagian yang sangat banyak dan
masing-masing memiliki nama tersendiri. Akan tetapi banyak juga ulama yang memberikan
nama umum untuk hadis yang mardud yaitu hadis dza’if.
Hadis dilihat dari segi kualitas sanad dan matannya dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu hadis shohih, hadis hasan, dan
hadis dha’if, hadis shohih memiliki kualitas paling tinggi
dari sisi otentisitas dan validitas, bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar
bersabda, berbuat atau menyatakan persetujuannya di hadapan para sahabat,
berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama
mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena itu, sumber-sumbernya
sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diselidiki lebih dalam
identitas para perawinya.
Makalah
ini akan mengkaji hadis shohih sebagai
hadis yang diterima (maqbul) dari sudut pandang
epistemologis.
II. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian hadis shohih ?
2.
Apa saja kriteria
hadis shohih ?
3.
Apa saja klasifikasi
hadis shohih ?
4.
Bagaimana
kedudukan hadis shohih ?
5.
Bagaimana
tingkatan hadis shohih ?
6.
Apa saja
kitab-kitab hadis shohih ?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hadis Shohih
Hadis mempunyai makna sinonim/muradif menurut
pakar ilmu hadis, yaitu dengan sunnah. Masing-masing istilah ini akan
dibicarakan pada pembahasan berikut. Kata hadis berasal dari akar kata :
حدث – يحدث – حدوثا –
وحداثة
Hadis dari akar kata diatas memiliki beberapa makna, antara lain sebagai
berikut :
الجدة (al-Jiddah = baru), dalam arti sesuatu yang
ada setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari
kataالقديم (al-qadim = terdahulu). Makna etimologi ini mempunyai
konteks teologis bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat hadis (baru),
sedangkan kalam Allah bersifat qadim (terdahulu).
الطري (ath-thari = lunak, lembut, dan baru). Ibnu
Faris mengatakan bahwa hadis dari kata ini
karena berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan
perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
الخبروالكلام (al-khabar = berita, pembicaraan dan al-kalam
= perkataan), oleh karena itu, ungkapan pemberitaan hadis yang diungkapkan oleh
para perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanadnya selalu
menggunakan ungkapan حدثنا = memberitakan kepada kami, mengkhabarkan
kepada kami, dan menceritakan kepada kami. Hadis disini diartikan sama dengan
al-khabar dan an-naba’ dalam Al Qur’an banyak sekali kata hadis disebutkan,
kurang lebih mencapai 27 tempat termasuk dalam bentuk jamak,[2] seperti dalam Surah An Nisa’ : 78
$yJoY÷r& (#qçRqä3s? ãN3.Íôã ÝVöqyJø9$# öqs9ur ÷LäêZä. Îû 8lrãç/ ;oy§t±B 3 bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×puZ|¡ym (#qä9qà)t ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB ÏZÏã «!$# ( bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×py¥Íhy (#qä9qà)t ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB x8ÏZÏã 4 ö@è% @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã «!$# ( ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# w tbrß%s3t tbqßgs)øÿt $ZVÏtn ÇÐÑÈ
Artinya :
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu
di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan,
mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka
ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah".
Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun? (QS. An Nisaa’ : 78).[3]
Sunnah menurut bahasa banyak artinya, diantaranya السيرةالمتبعة (al – siirah al – mutba’ah = perjalanan yang
diikuti), baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk, misalnya sabda
Nabi Muhammad SAW :
من سن سنة خير فاتبع عليها فله اجره ومثل اجور
من اتبعه غير منقوص من اجورهم شيئا ومن سن سنة شر فاتبع عليها كان عليه وزره ومثل
اوزار من اتبعه غير منقوص من اوزارهم شيئا
Artinya :
Barangsiapa yang membuat suatu jalan (sunnah)
kebaikan, kemudian diikuti orang maka baginya pahala dan sama dengan pahala
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang
siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka
atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun. (HR. At – Tirmidzi).
Makna sunnah yang lain diartikan العادة المستمرة (al –‘adah al –
mustamirrah = tradisi yang kontinyu),[4] misalnya firman Allah SWT dalam Surah Al Fath : 23
sp¨Zß «!$# ÓÉL©9$# ôs% ôMn=yz `ÏB ã@ö6s% ( `s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxÏö7s? ÇËÌÈ
Artinya :
Sebagai suatu sunnatullah yang Telah berlaku sejak
dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
(QS. Surat Al Fath : 23)
Hadis dari segi terminologis, banyak para ahli hadis
(muhaddisin) memberikan definisi yang berbeda redaksi, tetapi maknanya sama,
diantaranya Mahmud Ath-Thahan (guru besar hadis di Fakultas Syariah dan Dirasah
Islamiyah di Universitas Kuwait) mendefinisikan :
ماجاء عن النبي صلى الله عليه وسلم سواء كان قول
اوفعلا اوتقريرا
Artinya :
Sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan.[5]
Para ulama banyak berbeda dalam menggunakan
redaksi, sebagaimana berikut :
... ما اضيف الى = sesuatu yang disandarkan kepada ...
... ما اسند الى = sesuatu yang disandarkan kepada ...
... ما نسب الى = sesuatu yang
dibangsakan kepada ...
... ما روي عن = sesuatu yang
diriwayatkan dari ...
Keempat redaksi diatas dimaksudkan sama
maknanya, yaitu sesuatu yang datang atau sesuatu yang bersumberkan dari Nabi
atau disandarkan kepada Nabi. Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa
hadis merupakan sumber berita yang datang dari Nabi Muhammad SAW dalam segala
bentuk, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap persetujuan.[6]
Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk
qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (persetujuan), sifat tubuh serta
akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat
Islam.[7]
Sunnah menurut ulama ushul figh (ushuliyin)
adalah :
كل ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم مما ليس قرانا من اقوال
او افعال او تقريرات مما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعي
Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW yang bukan Al Qur’an, baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan
pengakuan/persetujuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’.[8]
Sunnah menurut ulama salaf adalah petunjuk
yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya, baik tentang ilmu,
i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.[9]
Sunnah menurut ahli hadis ada yang
mendefinisikan dengan ungkapan sebagai berikut :
اقوال النبي صلى الله عليه وسلم وافعاله واحواله
Definisi diatas memberi kesimpulan bahwa hadis
mempunyai tiga komponen, yaitu sebagai berikut :
Hadis qauli, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
مِنْ
حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْه
Artinya :
Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang
tidak bermanfaat baginya.
Hadis fi’li, misalnya:
عَنْ
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ
Artinya :
Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila
berwudhu, beliau menyela-nyela jenggotnya.
Hadits taqriri, ialah segala perbuatan Shahabat yang
diketahui oleh Nabi Muhammad SAW dan beliau membiarkannya (sebagai tanda
setuju) dan tidak mengingkarinya. Misalnya :
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ
الصُّبْحِ: يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ
فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا
عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْراً فِي سَاعَةٍ
مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي
أَنْ أُصَلِّيَ
Artinya :
Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Bilal setelah
selesai shalat shubuh, wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan
yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu
di dekatku di Surga? Ia menjawab, Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah,
bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku
shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.
Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar,
keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba,
lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai
shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang
dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi
Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian itu. Lalu
beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah
berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi
shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.”[11]
Pengertian Hadits Shahih, kata shohih (الصحيح) dalam bahasa diartikan orang
sehat, antonim dari kata as-saqim (السقيم) = orang yang sakit, jadi yang
dimaksudkan hadis shohih adalah hadis yang sehat dan benar, tidak terdapat
penyakit dan cacat, dalam istilah hadis shohih adalah :
هو ما اتصل
سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا من الشذوذ والعلة
Artinya :
Hadis yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang adil dan dhobith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat
dari kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).[12]
Dalam pengertian yang lain hadis shohih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis
yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati
kebenarannya bahwa hadis shohih merupakan hadis yang bersambung sanadnya yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang (juga) adil dan
dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak cacat
(illat).[13]
2.
Kriteria Hadis
Shohih
Rawinya Harus Adil, Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi
diterimanya suatu riwayat. Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa
yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa kecil dan
meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah (harga diri), seperti
makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, dan bergurau yang
berlebihan.
Menurut
Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang adil adalah :
·
Beragama islam
·
Berstatus mukallaf
·
Melaksanakan ketentuan agama
·
Memelihara muru’ah (harga diri)
Dalam ungkapan
yang lain, rawi yang adil adalah :
من استقام دينه وحسن خلقه وسلم من الفسق وخوارم المروءة
Artinya :
Adil adalah
orang yang konsisten dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak
melakukan cacat muru’ah.
1.
Istiqomah
artinya menjalankan segala perintah agama dan menjauhkan segala dosa,
2.
Baik akhlaknya
artinya selalu menjaga pikiran, sikap dan perilaku sesuai dengan akhlak yang
terpuji,
3.
fasik artinya
tidak patuh beragama, mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil
secara kontinyu,
4.
menjaga
muru’ah artinya menjaga kehormatan sebagai seorang perawi, menjalankan segala
adab dan akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat – sifat yang tercela menurut
umum dan tradisi, misalnya tidak membuka kepala dan tidak melepas alas kaki
ketika bepergian, tidak mengenakan baju lengan pendek, tidak makan dipinggir
jalan, dan lain sebagainya.[14]
Rawinya Dhabith, Dhabit
adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadis yang
diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan
kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya
kembali. Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak
melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.
Kalau
seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan
kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana
saja dikehendakinya, maka orang itu disebut dhabtu shabri. Sedangkan
kalau apa yang disampaikan itu berada pada buku catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab.
Dan rawi yang adil sekaligus dhabit, maka ia disebut tsiqah
Sanadnya
Bersambung, maksudnya adalah bahwa setiap rawi hadis yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Sanad suatu hadis dianggap
tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian
para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang
dha’if, sehingga hadis yang bersangkutan tidak shohih.
Jadi, suatu
sanad hadis dapat dinyatakan bersambung, apabila seluruh rawi dalam
sanad itu benar-benar tsiqah (adil dan dhabit) dan antara masing-masinng rawi dengan rawi yang
lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan
periwayatan hadis secara sah.[15]
Tidak Terjadi illat, dari segi
bahasa Illat berarti penyakit, sebab, alasan, atau udzur, sedangkan illat yang
dimaksud disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan
suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut, misalnya sebuah hadis
setelah diadakan penelitian ternyata ada sebab yang membuat cacat yang
menghalangi terkabulnya, seperti munqothi’, mauquf, atau perawi seorang fasik,
tidak bagus hafalannya, seorang ahli bid’ah, dan lain-lain. Atau ternyata
seorang perawi me-mursal-kan hadis maushul, me-maushul-kan hadis munqothi’,
atau me-marfu’-kan hadis mauquf.[16]
Tidak Janggal (Syadz), Syadz adalah suatu kondisi dimana
seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi
ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih
kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun
jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan
ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadis yang bersangkutan.[17]
Maksud syadz
disini adalah periwayatan orang tsiqoh (terpercaya, yaitu adil dan dhobith)
bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh, jika periwayatan
seorang dho’if bertentangan dengan periwayatan orang tsiqoh tidak dinamakan
syadz, tetapi disebut hadis munkar, yang tergolong hadis dho’if. Sebaiknya,
periwayatan orang tsiqoh bertentangan dengan periwayatan seorang dho’if disebut
hadis ma’ruf.
3.
Klasifikasi Hadis Shohih
Hadis shohih
dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Hadis
Shohih lidzatih, shohih dengan sendirinya, karena telah memenuhi lima
kriteria hadis shohih sebagaiamana yang sudah dijelaskan diatas, shohih karena
dzatnya, yakni shohih dengan tidak ada bantuan keterangan lain. Shohih lidzatih
menurut istilah, “suatu hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai
akhir, diceritakan oleh orang – orang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak
syadz dan tidak ada ‘illat yang tercela”. Misalnya :
حد ثنا عبد الله ابن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اذا كا نوا ثلاثة فلا يتناجى اثنان دون
الثالث
Artinya :
Kata Bukhari,
telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata, telah
mengkhabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Abdullah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, apabila mereka bertiga, janganlah dua orang diantaranya berbisik-
bisik dengan tidak bersama ketiganya.
Rawi-rawi yang
ada dalam sanad diatas kalau disusun dengan tertib akan jadi seperti berikut :
2.
Bukhari
3.
Abdullah bin
Yusuf
4.
Malik
5.
Nafi’
6.
Abdullah
(yaitu Ibnu Umar)
7.
Rasulullah SAW
Kalau kita
memeriksa sanad tersebut, dari Bukhari sampai Nabi Muhammad SAW kita akan
dapati bersambung dari seorang rawi kepada rawi yang lain hingga Rasulullah.
Rawi – rawinya adil, kepercayaan, dan dhabith sempurna, hadis ini tidak syadz,
yakni tidak menyalahi hadis yang derajatnya lebih kuat, dan tidak ada ‘illat,
yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan hadis ini tercela.[18]
Hadis Shohih
Lighoirih, Shohi karena yang lain, yaitu :
هو الحسن لذاته اذا روي من طريق اخر مثله او اقوى منه
Artinya :
Hadis shohih
lighoirih adalah hadis hasan lidzatih ketika ada periwayatan melalui jalan lain
yang sama atau lebih kuat daripadanya.[19]
Shohih
lighoirih menurut ahli hadis ada beberapa macam bentuk, yaitu sebagai berikut :
a.
Hadis hasan
lidzatih dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya,
b.
Hadis hasan
lidzatih dibantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat rendah,
c.
Hadis hasan
lidzatih atau hadis lemah yang isinya setuju dengan salah satu ayat Al Qur’an,
atau yang cocok dengan salah satu dari pokok-pokok agama,
d.
Hadis yang
tidak begitu kuat, tetapi diterima baik oleh ulama – ulama.
Contoh hadis
shohih lighoirih :
حد ثنا عمرو ابن علي قال حد ثنا ابو قتيبة قال حد ثنا عبد
الرحمن ابن عبد الله ابن دينار عن ابيه قال سمعت ابن عمر يتمثل بشعر ابي طالب
.......
Artinya :
Bukhari
berkata, telah menceritakan kepada kami Amru bin Ali, ia berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Qutaibah, ia berkata, telah menceritakan kepada
kami Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar dari Bapaknya, ia berkata, aku pernah
mendengar Ibnu Umar meniru Syi’ir Abi Thalib....
Susunan sanad
diatas :
1.
Bukhari
2.
Amru bin Ali
3.
Abu Qutaibah
4.
Abdurrahman
bin Abdillah bin Dinar
5.
Bapaknya,
yaitu Abdullah bin Dinar
6.
Ibnu Umar
Sanad riwayat
ini bersambung dan rawi – rawinya orang – orang kepercayaan dengan sempurna,
hanya Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar saja yang derajatnya agak kurang
sedikit dari yang lain, tetapi tidak lemah. Maka sanad yang begini dinamakan
hasan lidzatih.
Riwayat
tersebut diatas juga diceritakan oleh Imam Ibnu Majah dengan susunan sanad
sebagai berikut :
1.
Ibnu Majah
2.
Ahmad bin Al
Azhar
3.
Abu An-nadlr
4.
Abu Aqil
5.
Umar bin
Hamzah
6.
Salim
7.
Bapaknya (Ibnu
Umar)
Riwayat Ibnu
Majah ini sanadnya bersambung dan rawi – rawinya kepercayaan, hanya rawi nomor
2 dan 5 martabatnya kurang sedikit tetapi tidak lemah, yang seperti ini juga
dinamakan hasan lidzatih. Hasan lidzatih riwayat Ibnu Majah sama derajatnya
dengan hasan lidzatih riwayat Bukhari, dua sanad tersebut menunjukkan bahwa
hasan lidzatih dari riwayat Bukhari dikuatkan dengan hasan lidzatih dari
riwayat Ibnu Majah, yang begini dinamakan Shohih Lighoirih.[20]
4.
Kedudukan
Hadis Shohih
Hadis yang telah memenuhi
persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’
sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqh. Tidak
ada alasan bagi seorang muslim meninggalkan untuk mengamalkannya.
Hadis shahih lighoirihi
lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan hadis hasan lidzatihi, tetapi lebih
rendah dari pada hadis shohih lidzatihi. Sekalipun demikaian ketiganya dapat
dijadikan hujjah.
Ada beberapa pendapat para
ulama yang menguatkan kehujahan hadis shohih ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Hadis
shohih memberikan faedah qath’i (pasti kebenarannya) jika terdapat didalam
kitab shohih (Bukhari dan Muslim), sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Ibnu
Ash-Shalah.
2. Wajib menerima hadis
shohih sekalipun tidak ada seorang pun yang mengamalkannya, hali ini sebagaimana pendapat Al-Qasimi dalam Qawa’id At-Tahdis.[21]
5.
Tingkatan Hadis Shohih
Dari segi kualitas hadis shohih memiliki beberapa tingkatan, dari segi
sanadnya yang dipandang paling shohih tingkatannya (أصح الآ سانيد ) adalah
sebagai berikut:
a.
Periwayatan sanad yang
paling shohih adalah dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (budak yang
telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
b.
Periwayatan sanad yang
berada dibawah tingkat sanad pertama, seperti Hammad bin Salamah dari Tsabit
dari Anas.
c.
Seperti periwayatan Suhail
bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi
persyaratan/kriteria shohih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, dari tingkat yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah,
yaitu sebagai berikut :
a.
Muttafaq Alaih, yaitu
disepakati keshohihannya oleh Al Bukhari dan Muslim, atau Akhrajahu/Rawahu Al
Bukhari wa Muslim (diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim) atau
Akhrajahu/Rawahu Asy Syaikhan (diriwayatkan oleh dua orang guru).
b.
Diriwayatkan oleh Al
Bukhari saja.
c.
Diriwayatkan oleh Muslim
saja.
d.
Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan Al Bukhari dan Muslim
e.
Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan Al Bukhari saja.
f.
Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja.
g.
Hadis yang dinilai shohih
menurut ulama hadis selain Al Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti
persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.[22]
6.
Karya-Karya Kitab Hadis Shohih
a.
Shohih Al-Bukhari
Kitab ini disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Bukhari Al-Jufi (dengan nisbat perwalian).
Beliau lahir pada 194 H di Kartank, suatu desa dekat Bukhara dan wafat di desa
yang sama pada 256 H. Dalam menyusun kitabnya ini, beliau bermaksud mengungkap
fiqh hadis shohih dan menggali berbagai kesimpulan hukum yang
berfaidah. Beliau juga menjadikan kesimpulan tersebut sebagai judul bab. Oleh
karena itu, kadang-kadang beliau membuang seorang atau lebih dari awal sanad.
Al-Bukhari banyak mengulang-ulang hadis di beberapa tempat dalam kitabnya yang
ada hubungannya sesuai hasil penyimpulannya dalam hadis tersebut.[23]
Shohih Al – Bukhari pertama kali menghimpun khusus hadis
shohih, didalamnya terdapat 7.275 hadis termasuk yang berulang – ulang, atau 4.000
hadis tanpa berulang – ulang.[24]
b.
Shohih Muslim
Kitab
ini disusun oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi. Beliau lahir di kota
Naisabur pasa 206 H dan Wafat di kota yang sama pada 261 H. Beliau adalah
seorang imam agung dan disegani. Beliau sangat antusias terhadap sunnah dan
memeliharanya. Beliau cukup lama berguru kepada dan senantiasa menyertai
Al-Bukhari, dan oleh karenanya beliau menghindari orang-orang yang berselisih
pendapat dengan Al-Bukhari. Kitab
Musnad Al-Shohih dan disebut pula Al-Jami’ Al-Shohih disusun dengan metode yang
berbeda dengan metode yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam menyusunnya kitab shohihnya. Perbedaan metode penyusunan
kitab ini adalah bahwa Muslim tidak bermaksud untuk mengungkap fiqh hadis,
melainkan ia bermaksud untuk mengemukakan
ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau
meriwayatkan setiap hadis dengan di tempat yang paling sesuai, serta menghimpun
jalur-jalur dan sanad-sanadnya di tempat tersebut. Sedangkan Al-Bukhari
memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada pada setiap tempat ia
sebutkan lagi sanadnya.[25]
Dalam kitab shohih muslim terdapat 12.000 hadis termasuk
yang terulang – ulang atau sekitar 4.000 hadis tanpa terulang – ulang. Secara
umum hadis Al Bukhari lebih shohih daripada shohih muslim, karena persyaratan
Shohih Al Bukhari lebih ketat muttashil dan tsiqoh sanadnya, disamping terdapat
kajian figh yang tidak terdapat dalam Shohih Muslim.[26]
c.
Shohih Ibnu
Khuzaimah
Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhaddisin besar Abu
Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Beliau dikenal sangat teliti, sehingga dalam menshohihkan suatu
hadis beliau menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam sanad.[27]
d.
Shohih Ibnu Hibban
Kitab
ini disusun oleh Imam dan Muhaddisin
Al-Hafidz
Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti, beliau seorang murid Ibnu Khuzaimah.
Beliau memberi nama kitabnya dengan Al-Taqasim wa Al-Anwa’. Kitab ini disusun
dengan sistematika tersendiri, tidak berdasarkan bab, juga tidak berdasarkan
musnad, dan sulit untuk di ungkapkan. Kitab ini telah disusun kembali berdasarkan bab oleh Al-Amir Ala’uddin
Abu Al-Hasan Ali bin Balaban Al-Farisi Al-Hanafi dan diberi nama Al-Ihsan fi
Taqrib Shahih Ibnu Hibban. Kedua kitab shahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
ini berisi hadis shohih menurut para penyusunnya, hanya saja para ulama tidak
sepakat terhadap mereka, bahkan banyak kritik terhadap hadis mereka, disebabkan
mereka terlalu mudah dalam menentukan dan memutuskan dan menshohihkan suatu
hadis.[28]
e.
Al – Mukhatarah
Kitab ini disusun oleh Hafidz Dhiya’uddin
Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi. Dalam kitab Al-Risalat Al-Musthathafah, nama
kitab ini disebut Al-Hadits Al-Jiyad Al-Mukhatarah Mimma Laisa fi
Shahihain au Ahadisina. Kitab ini hanya memuat hadis yang dapat dipakai sebagai
hujjah dan termasuk kitab yang seluruh hadisnya shohih. Kitab ini
disusun berdasarkan Musnad yang diurutkan sesuai urutan huruf mu’jam dan bukan
berdasarkan bab.[29]
f.
Mustadrak Al
Hakim.
IV. KESIMPULAN
1.
Hadis Shohih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu
tidak janggal (syadz) serta tidak cacat (illat).
2.
Kriteria hadis
shohih ada
lima, yaitu rowinya harus adil,
rowinya dhobith, sanadnya harus bersambung, tidak terdapat
‘illah di dalamnya, dan tidak juga terdapat syudzudz/syadz.
- Klasifikasi hadis shohih terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis shohih lidzatih dan hadis shohih lighairih.
4.
Kedudukan hadis yang telah
memenuhi persyaratan hadis shohih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil
syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqh.
Tidak ada alasan bagi seorang muslim meninggalkan untuk mengamalkannya.
- Tingkatan kualitas hadis shohih dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pertama dari aspek sanadnya dan kedua dari aspek kriteria hadis shohihnya.
- Terdapat banyak sekali kitab-kitab yang merupakan kumpulan hadis shahih. Di antaranya adalah kitab Shohih Bukhari, Shohih Muslim, Shohih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Al Mukhatarah, Mustadrak Al-Hakim, Shohih Ibnu Salam dan Shohih Al Bani.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Mushthafa Al A’zhami, Studies In
Hadis Methodology and Leterature. Terj. A. Yamin, (Jakarta : Pustaka
Hidayah, 1992).
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta
: Amzah, 2012).
Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah
Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy
Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).
Mahmud Ath-Thahan, Taysir Musthalah Al
Hadis, (Bairut : Dar Ats Tsaqafah Al Islamiyah, t.th.).
Ahmad Umar Hasyim, As – Sunnah An –
Nabawiyyah, (Cairo : Maktabah Gharib, t.th.).
Yazid Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka At-Taqwa, 2005).
Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka At-Taqwa, 2005).
Mujiyo, Ulum Al-Hadits 2, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1997).
M.Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung : Pustaka Setia, 2010).
Endang Soetari, Ilmu Hadits, Kajian
Diriwayah dan Dirayah, (Bandung : Mimbar Pustaka, 2000).
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtholah Hadits, (Bandung
: Penerbit CV. Dipenogoro, 1994).
[1]. Muhammad Mushthafa Al A’zhami, Studies
In Hadis Methodology and Leterature. Terj. A. Yamin, (Jakarta : Pustaka
Hidayah, 1992), h. 3.
[2]. Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta : Amzah, 2012), Cet. 1. h. 1.
[3]. Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain
Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.)
[5]. Mahmud Ath-Thahan, Taysir
Musthalah Al Hadis, (Bairut : Dar Ats Tsaqafah Al Islamiyah, t.th.), h. 15.
[9]. Yazid Abdul Qadir Jawas, Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka
At-Taqwa, 2005), Cet. 2. h. 10.
[11]. Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan
As-Sunnah Dalam Syariat Islam, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka At-Taqwa, 2005).
[17]. Endang Soetari, Ilmu Hadits, Kajian
Diriwayah dan Dirayah, (Bandung : Mimbar Pustaka, 2000), h. 140.
[18]. A. Qadir Hassan, Ilmu
Mushtholah Hadits, (Bandung : Penerbit CV. Dipenogoro, 1994), Cet. VI., h.
30-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar