Jumat, 23 Agustus 2013

Ulumul Hadits



HADIS SHOHIH
عبد العزيزoleh :

I.              PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber hukum umat Islam kedua setelah Al-Qur’an. Apabila dalam Al-Qur’an tidak ditemui suatu hukum maka umat Islam mencarinya dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Hadis tidak hanya merupakan perkataan Nabi Muhammad SAW, tapi ia juga meliputi perbuatan dan persetujuan Rasulullah SAW. Sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, hadis memiliki sejarah penyampaian dan penulisan yang panjang. Dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, tabi’uttabi’in, dan seterusnya, Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadis secara umum karena takut tercampur dengan Al-Qur’an. Saat itu aktivitas penulisan difokuskan pada Al-Qur’an. Namun kemudian, Nabi memerintahkan menulis hadis khusus kepada sahabat yang pandai baca tulis sehingga tidak dikhawatirkan terjadi kesalahan. Perintah itu juga kepada sahabat yang kuat hafalannya sehingga tidak dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an.[1] telah menjadi sebuah fakta sejarah yang susah dibantah validitas dan otentisitasnya, sehingga pada gilirannya, ia menjadi disiplin ilmu sendiri. Lebih dari itu, periwayatan hadis yang sambung-menyambung sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga tabi’uttabi’in, dengan seleksi kualitas perawinya yang ketat, menjadikannya sebagai bangunan epistemologis yang kuat dalam khazanah keilmuan dalam Islam.
Namun demikian, dalam perjalanannya, seiring dengan perkembangan politik dan kekuasaan Islam, banyak perawi yang ditunggangi kepentingan politik penguasa atau golongan. Sehingga tidak sedikit yang meriwayatkan hadis palsu dengan motif tertentu. Hal ini tentu harus dipahami oleh umat Islam. Maka dari sini muncullah ilmu-ilmu lain untuk menyeleksi kualitas sebuah hadis sehingga bisa sampai pada kesimpulan apakah suatu hadis itu valid dan otentik atau sebaliknya.
Secara garis besar, hadis dibagi menjadi dua yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Pembagian hadis ini didasarkan pada kuantitas perawinya. Hadits mutawatir yang mensyaratkan jumlah rawi yang lebih dari tiga pada setiap generasi (thabaqah) sanadnya, merupakan hadits yang valid, otentik sehingga taken for granted tanpa perlu menganalisa terlebih dahulu. Hal ini tidaklah berlebihan karena dari sisi epistemologis hadits mutawatir ini sangatlah kuat. Sementara itu, hadis ahad yang jumlah perawinya di setiap generasi adalah tiga atau kurang dari tiga, dibagi menjadi hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib. Hadis ahad ini bisa dipilah-pilah lagi berdasarkan kekuatan dan kelemahan (baca: kualitas) perawinya menjadi hadis yang diterima (maqbul) dan hadis yang ditolak (mardud). Hadis yang maqbul merupakan hadis yang perawinya tsiqah, bisa dipertanggungjawabkan kapabilitas dan kredibilitasnya sebagai perawi. Sehingga melaksanakan dan menjadikan hadis tersebut sebagai hujjah adalah suatu kewajiban. Sedangkan hadis mardud berarti perawinya tidak tsiqah, maka hadis mardud tidak bisa dijadikan landasan sebuah hukum.
Hadis maqbul sendiri, berdasarkan tingkatan kekuatannya, dibagi menjadi dua yaitu hadis shohih dan hadis hasan. Sedangkan hadis yang mardud, para ulama membaginya menjadi bagian-bagian yang sangat banyak dan masing-masing memiliki nama tersendiri. Akan tetapi banyak juga ulama yang memberikan nama umum untuk hadis yang mardud yaitu hadis dza’if.
Hadis dilihat dari segi kualitas sanad dan matannya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu hadis shohih, hadis hasan, dan hadis dha’if, hadis shohih memiliki kualitas paling tinggi dari sisi otentisitas dan validitas, bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan persetujuannya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena itu, sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diselidiki lebih dalam identitas para perawinya.
Makalah ini akan mengkaji hadis shohih sebagai hadis yang diterima (maqbul) dari sudut pandang epistemologis.

II.      RUMUSAN MASALAH
1.        Apa pengertian hadis shohih ?
2.        Apa saja kriteria hadis shohih ?
3.        Apa saja klasifikasi hadis shohih ?
4.        Bagaimana kedudukan hadis shohih ?
5.        Bagaimana tingkatan hadis shohih ?
6.        Apa saja kitab-kitab hadis shohih ?



III.        PEMBAHASAN
1.        Pengertian Hadis Shohih
Hadis mempunyai makna sinonim/muradif menurut pakar ilmu hadis, yaitu dengan sunnah. Masing-masing istilah ini akan dibicarakan pada pembahasan berikut. Kata hadis berasal dari akar kata :
حدث – يحدث – حدوثا –  وحداثة
Hadis dari akar kata diatas memiliki beberapa makna, antara lain sebagai berikut :
الجدة (al-Jiddah = baru), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kataالقديم  (al-qadim = terdahulu). Makna etimologi ini mempunyai konteks teologis bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat hadis (baru), sedangkan kalam Allah bersifat qadim (terdahulu).
الطري  (ath-thari = lunak, lembut, dan baru). Ibnu Faris mengatakan bahwa hadis dari kata ini  karena berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
الخبروالكلام (al-khabar = berita, pembicaraan dan al-kalam = perkataan), oleh karena itu, ungkapan pemberitaan hadis yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan  حدثنا = memberitakan kepada kami, mengkhabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami. Hadis disini diartikan sama dengan al-khabar dan an-naba’ dalam Al Qur’an banyak sekali kata hadis disebutkan, kurang lebih mencapai 27 tempat termasuk dalam bentuk jamak,[2] seperti dalam Surah An Nisa’ : 78
$yJoY÷ƒr& (#qçRqä3s? ãNœ3.ÍôムÝVöqyJø9$# öqs9ur ÷LäêZä. Îû 8lrãç/ ;oy§t±B 3 bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×puZ|¡ym (#qä9qà)tƒ ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB ÏZÏã «!$# ( bÎ)ur öNßgö6ÅÁè? ×py¥ÍhŠy (#qä9qà)tƒ ¾ÍnÉ»yd ô`ÏB x8ÏZÏã 4 ö@è% @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã «!$# ( ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# Ÿw tbrߊ%s3tƒ tbqßgs)øÿtƒ $ZVƒÏtn ÇÐÑÈ    
Artinya :
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (QS. An Nisaa’ : 78).[3]
Sunnah menurut bahasa banyak artinya, diantaranya  السيرةالمتبعة (al – siirah al – mutba’ah = perjalanan yang diikuti), baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk, misalnya sabda Nabi Muhammad SAW :
من سن سنة خير فاتبع عليها فله اجره ومثل اجور من اتبعه غير منقوص من اجورهم شيئا ومن سن سنة شر فاتبع عليها كان عليه وزره ومثل اوزار من اتبعه غير منقوص من اوزارهم شيئا
Artinya :
Barangsiapa yang membuat suatu jalan (sunnah) kebaikan, kemudian diikuti orang maka baginya pahala dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. At – Tirmidzi).
Makna sunnah yang lain diartikan العادة المستمرة (al –‘adah al – mustamirrah = tradisi yang kontinyu),[4] misalnya firman Allah SWT dalam Surah Al Fath : 23
sp¨Zß «!$# ÓÉL©9$# ôs% ôMn=yz `ÏB ã@ö6s% ( `s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxƒÏö7s? ÇËÌÈ
Artinya :
Sebagai suatu sunnatullah yang Telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu. (QS. Surat Al Fath : 23)
Hadis dari segi terminologis, banyak para ahli hadis (muhaddisin) memberikan definisi yang berbeda redaksi, tetapi maknanya sama, diantaranya Mahmud Ath-Thahan (guru besar hadis di Fakultas Syariah dan Dirasah Islamiyah di Universitas Kuwait) mendefinisikan :
ماجاء عن النبي صلى الله عليه وسلم سواء كان قول اوفعلا اوتقريرا

Artinya :
Sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan.[5]
Para ulama banyak berbeda dalam menggunakan redaksi, sebagaimana berikut :
... ما اضيف الى           = sesuatu yang disandarkan kepada ...
... ما اسند الى                         = sesuatu yang disandarkan kepada ...
... ما نسب الى             = sesuatu yang dibangsakan kepada ...
... ما روي عن                        = sesuatu yang diriwayatkan dari ...
Keempat redaksi diatas dimaksudkan sama maknanya, yaitu sesuatu yang datang atau sesuatu yang bersumberkan dari Nabi atau disandarkan kepada Nabi. Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa hadis merupakan sumber berita yang datang dari Nabi Muhammad SAW dalam segala bentuk, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap persetujuan.[6]
Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (persetujuan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.[7]
Sunnah menurut ulama ushul figh (ushuliyin) adalah :
كل ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم مما ليس قرانا من اقوال او افعال او تقريرات مما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعي
Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW yang bukan Al Qur’an, baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan/persetujuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’.[8] 
Sunnah menurut ulama salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.[9]
Sunnah menurut ahli hadis ada yang mendefinisikan dengan ungkapan sebagai berikut :
اقوال النبي صلى الله عليه وسلم وافعاله واحواله
Segala perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatannya dan segala tingkah lakunya.[10]
Definisi diatas memberi kesimpulan bahwa hadis mempunyai tiga komponen, yaitu sebagai berikut :
Hadis qauli, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْه
Artinya :
Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.
Hadis fi’li, misalnya:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ
Artinya :
Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila berwudhu, beliau menyela-nyela jenggotnya.
Hadits taqriri, ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Muhammad SAW dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya. Misalnya :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ: يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْراً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ
Artinya :
Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat shubuh, wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga? Ia menjawab, Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.
Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.”[11]
Pengertian Hadits Shahih, kata shohih (الصحيح) dalam bahasa diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqim (السقيم) = orang yang sakit, jadi yang dimaksudkan hadis shohih adalah hadis yang sehat dan benar, tidak terdapat penyakit dan cacat, dalam istilah hadis shohih adalah :
هو ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا من الشذوذ والعلة
Artinya :
Hadis yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).[12]
Dalam pengertian yang lain hadis shohih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati kebenarannya bahwa hadis shohih merupakan hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak cacat (illat).[13]

2.        Kriteria Hadis Shohih
Rawinya Harus Adil, Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah (harga diri), seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, dan bergurau yang berlebihan.
Menurut Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang adil adalah :
·            Beragama islam
·            Berstatus mukallaf
·            Melaksanakan ketentuan agama
·            Memelihara muruah (harga diri)
Dalam ungkapan yang lain, rawi yang adil adalah :
من استقام دينه وحسن خلقه وسلم من الفسق وخوارم المروءة
Artinya :
Adil adalah orang yang konsisten dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak melakukan cacat muru’ah.
1.         Istiqomah artinya menjalankan segala perintah agama dan menjauhkan segala dosa,
2.         Baik akhlaknya artinya selalu menjaga pikiran, sikap dan perilaku sesuai dengan akhlak yang terpuji,  
3.         fasik artinya tidak patuh beragama, mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil secara kontinyu,
4.         menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan sebagai seorang perawi, menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat – sifat yang tercela menurut umum dan tradisi, misalnya tidak membuka kepala dan tidak melepas alas kaki ketika bepergian, tidak mengenakan baju lengan pendek, tidak makan dipinggir jalan, dan lain sebagainya.[14]  
Rawinya Dhabith, Dhabit adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadis yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali. Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendakinya, maka orang itu disebut dhabtu shabri. Sedangkan kalau apa yang disampaikan itu berada pada buku catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab. Dan rawi yang adil sekaligus dhabit, maka ia disebut tsiqah
Sanadnya Bersambung, maksudnya adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung  bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadis yang bersangkutan tidak shohih.
Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung, apabila seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqah (adil dan dhabit) dan antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah.[15]
Tidak Terjadi illat, dari segi bahasa Illat berarti penyakit, sebab, alasan, atau udzur, sedangkan illat yang dimaksud disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut, misalnya sebuah hadis setelah diadakan penelitian ternyata ada sebab yang membuat cacat yang menghalangi terkabulnya, seperti munqothi’, mauquf, atau perawi seorang fasik, tidak bagus hafalannya, seorang ahli bid’ah, dan lain-lain. Atau ternyata seorang perawi me-mursal-kan hadis maushul, me-maushul-kan hadis munqothi’, atau me-marfu’-kan hadis mauquf.[16]
Tidak Janggal (Syadz), Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadis yang bersangkutan.[17]
Maksud syadz disini adalah periwayatan orang tsiqoh (terpercaya, yaitu adil dan dhobith) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh, jika periwayatan seorang dho’if bertentangan dengan periwayatan orang tsiqoh tidak dinamakan syadz, tetapi disebut hadis munkar, yang tergolong hadis dho’if. Sebaiknya, periwayatan orang tsiqoh bertentangan dengan periwayatan seorang dho’if disebut hadis ma’ruf.

3.        Klasifikasi Hadis Shohih
Hadis shohih dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Hadis  Shohih lidzatih, shohih dengan sendirinya, karena telah memenuhi lima kriteria hadis shohih sebagaiamana yang sudah dijelaskan diatas, shohih karena dzatnya, yakni shohih dengan tidak ada bantuan keterangan lain. Shohih lidzatih menurut istilah, “suatu hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang – orang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak syadz dan tidak ada ‘illat yang tercela”. Misalnya :
حد ثنا عبد الله ابن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اذا كا نوا ثلاثة فلا يتناجى اثنان دون الثالث
Artinya :
Kata Bukhari, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Abdullah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, apabila mereka bertiga, janganlah dua orang diantaranya berbisik- bisik dengan tidak bersama ketiganya.
Rawi-rawi yang ada dalam sanad diatas kalau disusun dengan tertib akan jadi seperti berikut :
2.         Bukhari
3.         Abdullah bin Yusuf
4.         Malik
5.         Nafi’
6.         Abdullah (yaitu Ibnu Umar)
7.         Rasulullah SAW
Kalau kita memeriksa sanad tersebut, dari Bukhari sampai Nabi Muhammad SAW kita akan dapati bersambung dari seorang rawi kepada rawi yang lain hingga Rasulullah. Rawi – rawinya adil, kepercayaan, dan dhabith sempurna, hadis ini tidak syadz, yakni tidak menyalahi hadis yang derajatnya lebih kuat, dan tidak ada ‘illat, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan hadis ini tercela.[18]
Hadis Shohih Lighoirih, Shohi karena yang lain, yaitu :
هو الحسن لذاته اذا روي من طريق اخر مثله او اقوى منه

Artinya :
Hadis shohih lighoirih adalah hadis hasan lidzatih ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat daripadanya.[19]
Shohih lighoirih menurut ahli hadis ada beberapa macam bentuk, yaitu sebagai berikut :
a.         Hadis hasan lidzatih dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya,
b.         Hadis hasan lidzatih dibantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat rendah,
c.         Hadis hasan lidzatih atau hadis lemah yang isinya setuju dengan salah satu ayat Al Qur’an, atau yang cocok dengan salah satu dari pokok-pokok agama,
d.        Hadis yang tidak begitu kuat, tetapi diterima baik oleh ulama – ulama.
Contoh hadis shohih lighoirih :
حد ثنا عمرو ابن علي قال حد ثنا ابو قتيبة قال حد ثنا عبد الرحمن ابن عبد الله ابن دينار عن ابيه قال سمعت ابن عمر يتمثل بشعر ابي طالب .......
Artinya :
Bukhari berkata, telah menceritakan kepada kami Amru bin Ali, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Qutaibah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar dari Bapaknya, ia berkata, aku pernah mendengar Ibnu Umar meniru Syi’ir Abi Thalib....
Susunan sanad diatas :
1.         Bukhari
2.         Amru bin Ali
3.         Abu Qutaibah
4.         Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar
5.         Bapaknya, yaitu Abdullah bin Dinar
6.         Ibnu Umar
Sanad riwayat ini bersambung dan rawi – rawinya orang – orang kepercayaan dengan sempurna, hanya Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar saja yang derajatnya agak kurang sedikit dari yang lain, tetapi tidak lemah. Maka sanad yang begini dinamakan hasan lidzatih.
Riwayat tersebut diatas juga diceritakan oleh Imam Ibnu Majah dengan susunan sanad sebagai berikut :
1.         Ibnu Majah
2.         Ahmad bin Al Azhar
3.         Abu An-nadlr
4.         Abu Aqil
5.         Umar bin Hamzah
6.         Salim
7.         Bapaknya (Ibnu Umar)
Riwayat Ibnu Majah ini sanadnya bersambung dan rawi – rawinya kepercayaan, hanya rawi nomor 2 dan 5 martabatnya kurang sedikit tetapi tidak lemah, yang seperti ini juga dinamakan hasan lidzatih. Hasan lidzatih riwayat Ibnu Majah sama derajatnya dengan hasan lidzatih riwayat Bukhari, dua sanad tersebut menunjukkan bahwa hasan lidzatih dari riwayat Bukhari dikuatkan dengan hasan lidzatih dari riwayat Ibnu Majah, yang begini dinamakan Shohih Lighoirih.[20]

4.        Kedudukan Hadis Shohih
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqh. Tidak ada alasan bagi seorang muslim meninggalkan untuk mengamalkannya.
Hadis shahih lighoirihi lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan hadis hasan lidzatihi, tetapi lebih rendah dari pada hadis shohih lidzatihi. Sekalipun demikaian ketiganya dapat dijadikan hujjah.
Ada beberapa pendapat para ulama yang menguatkan kehujahan hadis shohih ini, diantaranya sebagai berikut:
1.    Hadis shohih memberikan faedah qath’i (pasti kebenarannya) jika terdapat didalam kitab shohih (Bukhari dan Muslim), sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Ibnu Ash-Shalah.
2.    Wajib menerima hadis shohih sekalipun tidak ada seorang pun yang mengamalkannya, hali ini sebagaimana pendapat Al-Qasimi dalam Qawa’id At-Tahdis.[21]

5.        Tingkatan Hadis Shohih
Dari segi kualitas hadis shohih memiliki beberapa tingkatan, dari segi sanadnya yang dipandang paling shohih tingkatannya (أصح الآ سانيد  ) adalah sebagai berikut:
a.         Periwayatan sanad yang paling shohih adalah dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
b.         Periwayatan sanad yang berada dibawah tingkat sanad pertama, seperti Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
c.         Seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan/kriteria shohih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, dari tingkat yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah, yaitu sebagai berikut :
a.         Muttafaq Alaih, yaitu disepakati keshohihannya oleh Al Bukhari dan Muslim, atau Akhrajahu/Rawahu Al Bukhari wa Muslim (diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim) atau Akhrajahu/Rawahu Asy Syaikhan (diriwayatkan oleh dua orang guru).
b.         Diriwayatkan oleh Al Bukhari saja.
c.         Diriwayatkan oleh Muslim saja.
d.        Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al Bukhari dan Muslim
e.         Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al Bukhari saja.
f.          Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja.
g.         Hadis yang dinilai shohih menurut ulama hadis selain Al Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.[22]

6.        Karya-Karya Kitab Hadis Shohih
a.         Shohih Al-Bukhari
Kitab ini disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Bukhari Al-Jufi (dengan nisbat perwalian). Beliau lahir pada 194 H di Kartank, suatu desa dekat Bukhara dan wafat di desa yang sama pada 256 H. Dalam menyusun kitabnya ini, beliau bermaksud mengungkap fiqh hadis shohih dan menggali berbagai kesimpulan hukum yang berfaidah. Beliau juga menjadikan kesimpulan tersebut sebagai judul bab. Oleh karena itu, kadang-kadang beliau membuang seorang atau lebih dari awal sanad. Al-Bukhari banyak mengulang-ulang hadis di beberapa tempat dalam kitabnya yang ada hubungannya sesuai hasil penyimpulannya dalam hadis tersebut.[23]
Shohih Al – Bukhari pertama kali menghimpun khusus hadis shohih, didalamnya terdapat 7.275 hadis termasuk yang berulang – ulang, atau 4.000 hadis tanpa berulang – ulang.[24]  
b.         Shohih Muslim
Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi. Beliau lahir di kota Naisabur pasa 206 H dan Wafat di kota yang sama  pada 261 H. Beliau adalah seorang imam agung dan disegani. Beliau sangat antusias terhadap sunnah dan memeliharanya. Beliau cukup lama berguru kepada dan senantiasa menyertai Al-Bukhari, dan oleh karenanya beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan Al-Bukhari. Kitab Musnad Al-Shohih dan disebut pula Al-Jami Al-Shohih disusun dengan metode yang berbeda dengan metode yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam menyusunnya kitab shohihnya. Perbedaan metode penyusunan kitab ini adalah bahwa Muslim tidak bermaksud untuk mengungkap fiqh hadis, melainkan ia bermaksud untuk mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadis dengan di tempat yang paling sesuai, serta menghimpun jalur-jalur dan sanad-sanadnya di tempat tersebut. Sedangkan Al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada pada setiap tempat ia sebutkan lagi sanadnya.[25]
Dalam kitab shohih muslim terdapat 12.000 hadis termasuk yang terulang – ulang atau sekitar 4.000 hadis tanpa terulang – ulang. Secara umum hadis Al Bukhari lebih shohih daripada shohih muslim, karena persyaratan Shohih Al Bukhari lebih ketat muttashil dan tsiqoh sanadnya, disamping terdapat kajian figh yang tidak terdapat dalam Shohih Muslim.[26]  
c.         Shohih Ibnu Khuzaimah
Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhaddisin besar Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Beliau dikenal sangat teliti, sehingga dalam menshohihkan suatu hadis beliau menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam sanad.[27]
d.        Shohih Ibnu Hibban
Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhaddisin Al-Hafidz Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti, beliau seorang murid Ibnu Khuzaimah. Beliau memberi nama kitabnya dengan Al-Taqasim wa Al-Anwa’. Kitab ini disusun dengan sistematika tersendiri, tidak berdasarkan bab, juga tidak berdasarkan musnad, dan sulit untuk di ungkapkan. Kitab ini telah disusun kembali berdasarkan bab oleh Al-Amir Ala’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Balaban Al-Farisi Al-Hanafi dan diberi nama Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban. Kedua kitab shahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban ini berisi hadis shohih menurut para penyusunnya, hanya saja para ulama tidak sepakat terhadap mereka, bahkan banyak kritik terhadap hadis mereka, disebabkan mereka terlalu mudah dalam menentukan dan memutuskan dan menshohihkan suatu hadis.[28]
e.         Al – Mukhatarah
Kitab ini disusun oleh Hafidz Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi. Dalam kitab Al-Risalat Al-Musthathafah, nama kitab ini disebut Al-Hadits Al-Jiyad Al-Mukhatarah Mimma Laisa fi Shahihain au Ahadisina. Kitab ini hanya memuat hadis yang dapat dipakai sebagai hujjah dan termasuk kitab yang seluruh hadisnya shohih. Kitab ini disusun berdasarkan Musnad yang diurutkan sesuai urutan huruf mu’jam dan bukan berdasarkan bab.[29]
f.          Mustadrak Al Hakim.
g.         Shohih Ibnu Salam.[30]

IV.    KESIMPULAN
1.      Hadis Shohih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal (syadz) serta tidak cacat (illat).
2.      Kriteria hadis shohih ada lima, yaitu rowinya harus adil, rowinya dhobith, sanadnya harus bersambung, tidak terdapat ‘illah di dalamnya, dan tidak juga terdapat syudzudz/syadz.
  1. Klasifikasi hadis shohih terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis shohih lidzatih dan hadis shohih lighairih.
4.      Kedudukan hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shohih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqh. Tidak ada alasan bagi seorang muslim meninggalkan untuk mengamalkannya.
  1. Tingkatan kualitas hadis shohih dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pertama dari aspek sanadnya dan kedua dari aspek kriteria hadis shohihnya.
  2. Terdapat banyak sekali kitab-kitab yang merupakan kumpulan hadis shahih. Di antaranya adalah kitab Shohih Bukhari, Shohih Muslim, Shohih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Al Mukhatarah, Mustadrak Al-Hakim, Shohih Ibnu Salam dan Shohih Al Bani.











DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Mushthafa Al A’zhami, Studies In Hadis Methodology and Leterature. Terj. A. Yamin, (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1992).   

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah, 2012).

Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).

Mahmud Ath-Thahan, Taysir Musthalah Al Hadis, (Bairut : Dar Ats Tsaqafah Al Islamiyah, t.th.).

Ahmad Umar Hasyim, As – Sunnah An – Nabawiyyah, (Cairo : Maktabah Gharib, t.th.).

Yazid Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka At-Taqwa, 2005).

Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka At-Taqwa, 2005).

Mujiyo, Ulum Al-Hadits 2, (Bandung  : PT. Remaja Rosdakarya, 1997).

M.Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung  : Pustaka Setia, 2010).

Endang Soetari,  Ilmu Hadits, Kajian Diriwayah dan Dirayah, (Bandung :  Mimbar Pustaka, 2000).

A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtholah Hadits, (Bandung : Penerbit CV. Dipenogoro, 1994).






[1].      Muhammad Mushthafa Al A’zhami, Studies In Hadis Methodology and Leterature. Terj. A. Yamin, (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1992), h. 3.   
[2].      Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah, 2012), Cet. 1. h. 1.
[3].      Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.)
[4].      Abdul Majid Khon, Op. Cit. 6.
[5].      Mahmud Ath-Thahan, Taysir Musthalah Al Hadis, (Bairut : Dar Ats Tsaqafah Al Islamiyah, t.th.), h. 15.
[6].      Abdul Majid Khon, Op. Cit. 3.
[7].      Mahmud Ath-Thahan, Lok. Cit. 15.
[8].      Ahmad Umar Hasyim, As – Sunnah An – Nabawiyyah, (Cairo : Maktabah Gharib, t.th.), h. 17.
[9].      Yazid Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka At-Taqwa, 2005), Cet. 2. h. 10.



 
[10].    Abdul Majid Khon, Op. Cit. 6.
[11].    Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, (Bogor Jawa Barat Indonesia : Pustaka At-Taqwa, 2005).
[12].    Abdul Majid Khon, Op. Cit. 168.
[13].    Mujiyo, Ulum Al-Hadits 2, (Bandung  : PT. Remaja Rosdakarya, 1997), h. 2.

[14].    Abdul Majid Khon, Op. Cit. 170.

[15].    M.Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung  : Pustaka Setia, 2010),  h. 141-143
[16].    Abdul Majid Khon, Op. Cit. 172.
[17].    Endang Soetari,  Ilmu Hadits, Kajian Diriwayah dan Dirayah, (Bandung :  Mimbar Pustaka, 2000), h. 140.

[18].    A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtholah Hadits, (Bandung : Penerbit CV. Dipenogoro, 1994), Cet. VI., h. 30-31
[19].    Abdul Majid Khon, Op. Cit. 174.
[20].    A. Qadir Hassan, Op. Cit. 31-33
[21].    Abdul Majid Khon, Op. Cit. 174-175.
[22].    Ibid., h. 177-178.
[23].    Endang Soetari, Op. Cit. 143.
[24].    Abdul Majid Khon, Op. Cit. 178.
[25].    Endang Soetari, Op. Cit. 145.
[26].    Abdul Majid Khon, Lok. Cit. 178.
[27].    Endang Soetari, Op. Cit. 146.
[28].    Mujiyo, Op. Cit. 20.
[29].    Endang Soetari, Op. Cit. 146-147.
[30].    Abdul Majid Khon, Lok. Cit. 178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar