Jumat, 23 Agustus 2013

Epistimologi



Epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.” Dll.
Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema pembahasan epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna knowledge atau pengetahuan dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan epistemologi. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran yang bernama sofisme (السوفسطائية). Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Akibatnya, mudah diterka, terjadi semacam kekacauan kebenaran. Semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai. Manusia menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan hal seperti itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles. Menurut mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran yang umum, yang mutlak benar bagi siapapun. Kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles.
Sofisme klasik ini kemudian ber-reinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan.
Wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama. Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga ada.
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Dalam awal surat al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme: Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Nabi Muhammad saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme dari musuh-musuhnya pun diingatkan Allah SWT : Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang disampaikannya kepadamu melalui wahyu. Jadi jangan pernah bersikap sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan ada, yakni wahyu.
Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.
Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-mentah paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.
Dalam berbagai tempat Allah
SWT juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan ; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristotels saja mengakui adanya kebenaran yang bersifat umum, maka sangat aneh jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an dan sunnah tidak mengakui adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan sunnah dengan sangat jelas telah memberikan bimbingan dalam masalah tersebut.
Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme, dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris.
Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi tidak hanya logis saja yang menjadi andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi andalan kaum empiris. Kalau ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut akan disebut pengetahuan filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan.
Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang disebut intuisi.
Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun, agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka ia telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih terfokus pada ilhâm yang diturunkan Allah SWT kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati bahwa di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran Islam aliran semacam itu hampir tidak ditemukan. Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.
Ibn Taimiyyah sendiri tidak jauh berbeda dalam menjelaskan saluran-saluran pengetahuan ini. Dari tiga yang pokok: khabar, akal dan indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di atas, Ibn Taimiyyah juga memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi. Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika berbenturan dengan ilhâm yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hâkim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut al-Ghazali, ketika hâkim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak menyebutkannya al-Ghazali kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya. Karena di dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu. Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.
Adapun al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, dengan konsep yang sama membagi sumber pengetahuan ini ke dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat al-bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq (indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera merasa dan meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis yang keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.” Al-Baqillani kemudian menyebutkan contoh-contoh pengetahuan yang diperoleh lewat (1) intuisi, seperti seseorang yang mengenali dirinya sendiri, (2) lewat akal, seperti memahami omongan, dan (3) lewat khabar khususnya yang mutawâtir, seperti tentang kehidupan yang ada di luar negeri. Termasuk tentunya khabar-khabar keagamaan, karena sifatnya yang sama sebagai khabar.
Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî).
Apa Itu Pengetahuan?
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Fenomena seperti ini baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan, pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah teknis di atas, istilah pengetahuan (knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad modern yang ditandakan dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur secara empiris dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.
Islam tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan dan modern. Karena di Islam tidak pernah terjadi tarik-ulur yang dahsyat antara akal dan iman, atau antara kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance yang ditandakan dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa agama. Karena dari sejak awal kelahirannya, antara agama, akal dan indera, ketiganya berjalin kelindan dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik. Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam (Islamic worldview).
Pengetahuan dalam bahasa Arab digambarkan dengan istilah al-’ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ûr (kesadaran). Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah satu sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan adalah al-’Âlim, al-’Alîm dan al-’Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui; tetapi Dia tidak pernah disebut al-’Ârif atau al-Syâ’ir.
Akan tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd adalah mustahil. al-Attas dalam hal ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Lagi pula, al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.

Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Yazdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Hal itu disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata (badîhî). Bukan saja tidak membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan, lantaran tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai mendefinisikannya. Frase atau tuturan yang lazim dipakai dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan atau ilmu hanyalah memberikan contoh-contoh (mishdâq/instance) pengetahuan yang ada dalam ilmu atau bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti sesungguhnya. Contohnya definisi yang disebutkan oleh para ulama dan ahli logika seperti: “penangkapan bentuk (shûrah atau form) sesuatu dalam pikiran”, “hadirnya maujud nonmaterial dalam maujud nonmaterial lainnya”, atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”.
Yazdi pun kemudian menjelaskan tentang ilmu ini sebagaimana halnya al-Attas. Cuma istilah yang digunakannya ada perbedaan. Untuk ilmu yang datang secara langsung dari Allah swt Yazdi menamakannya al-’ilm al-hudûrî (pengetahuan dengan kehadiran, presentational knowledge, knowledge by presence). Sementara untuk ilmu yang didapatkan lewat usaha manusia Yazdi menyebutnya al-’ilm al-hushûlî (pengetahuan tangkapan atau perolehan, acquired knowledge).
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Dalam karyanya tentang perbandingan epistemologi antara al-Qur`an dan filsafat (nazariyyat al-ma’rifah baina al-Qur`ân wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir Mu’tazilah, filosof Yunani, dan para ulama Ahl al-Sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Uraian keempat ulama di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam mencakup dua pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Dalam hal ini, mutlak disimak firman Allah swt berikut ini: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq [96] : 1-5)
Secara jelas, ayat di atas menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas iqra`, juga bisa diperoleh dengan anugerah Allah swt langsung kepada manusia.
Klasifikasi Pengetahuan, Bukan Dikotomi
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali adalah yang berasal dari Nabi saw, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa.
Ibn Taimiyyah membagi ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama. Cuma penamaannya, syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan Ibn Taimiyyah adalah yang berurusan dengan persoalan agama dan ketuhanan, adapun ‘aqliyyah adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan olehnya. Sementara syaikh al-’Utsaimin membahasakannya dengan ilmu syar’î dan nazarî. Ilmu syar’î adalah fiqh (pemahaman) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, sementara ilmu nazarî adalah ilmu shinâ’ah (perindustrian) dan yang berkaitan dengannya.
Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Qur`an menjelaskan bahwa bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Qur`an inilah maka kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘Ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam, dan ma’rifah yang menbedakan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi “kekacauan ilmu”. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof Muslim di abad pertengahan. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.
A. Latar Belakang
Filsafat sesungguhnya bukan sekedar bahasan tentang isme-isme atau aliran-aliran pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses berpikir. Filsafat adalah “metodologi berpikir”, yaitu berpikir kritis, analisis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan “proses” berpikir dan bukan sekedar “produk” pemikiran. Fazlur Rahman secara tegas menyatakan, Bagaimanapun juga, filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin keilmuan yang lain. Hal itu dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian, ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi. Karena itu, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energy dan kelesuan darah, dalam arti kekurangan ide-ide segar dan lebih dari itu, ia berarti telah melakukan bunuh diri intelektual.
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni bayâni, irfâni dan burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan. Dalam makalah ini, akan dibahas metode berpikir bayani, burhani dan irfani.
B. Pengertian Epistemologi
Ada beberapa definisi tentang epistemologi, antara lain :
1.    Epistemologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal pikiran (aliran Rasionalisme) atau dari pengalaman pancaindera (aliran Empirisme) atau dari ide-ide (aliran Idealisme) atau dari Tuhan (aliran Teologisme). Juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai dimana kebenaran pengetahuan kita. Hal ini menimbulkan berbagai paham seperti idealisme yang beranggapan bahwa kebenaran itu terletak dalam ide, sedang realisme beranggapan bahwa kebenaran terletak pada kenyataan yang ada (realitas). Juga menimbulkan paham pragmatisme bahwa kebenaran terletak pada kemanfaatan atau kegunaannya, bukan pada ide atau realitas.

2.    Epistemologi adalah bidang studi filsafat manusia (menurut pandangan filsafat yahudi) yang mempersoalkan hal ihwal pengetahuan, yang meliputi antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar. Adapun metode yang dimaksud adalah metode analisis dan sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan peralatan induktif dan deduktif. Keduanya adalah metode dasar yang berlaku bagi ilmu pengetahuan apapun. Dengan demikian, melalui kedua metode ini pun ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu saling meningkatkan diri ke dalam satu kesatuan yang utuh.

3.    Epistemologi adalah bidang filsafat nilai yang secara khusus mempersoalkan pengetahuan, tentang nilai kebenaran dan otomatis juga mempersoalkan tentang bagaimana cara mendapatkannya.

4.    Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menagkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.

C. Epistemologi Bayani
1.    Pengertian Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani. Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.

2.    Perkembangan Bayani
Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang hingga ke furu’ atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.

Al Jahiz (868 M) mengkritik konsep Syafi’i di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bayan adalah syarat syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan aturan penafsiran wacana. Al Jahiz menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu : 1) kefasihan ucapan, 2) seleksi huruf dan lafadh, 3) adanya keterbukaan makna, 4) adanya kesesuaian antara kata dan makna, 5) adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri. Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas atas kata kata sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, Membuat kesimpulan atasnya, Kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk memenangkan perdebatan. Akan tetapi, Apa yang diterapkan Al  Jahiz pada masa berikutnya dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep ashlul furu’ caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fikih dan kalam.

Paduan antara metode fikih yang eksplanatoris dan teologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemologi bayani baru ini sangat penting, Karena menurutnya apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi mencakup 4 hal yaitu : 1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan subtansi, 2) Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar – salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan, 3) Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi, 4) Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep. Dari 4 macam obyek ini Ibnu Wahab menawarkan 4 macam bayani yaitu: 1) Bayan Al i’tibar, 2) Bayan Al i’tiqod, 3) Bayan Al ibaroh, 4) Bayan Al kitab. Pada periode terakhir muncul Al-syatibi ( 1388 M ) menurutnya, sampai sejauh itu bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti ( qoth’i ) tapi baru derajat dugaan ( dhzon ) sehingga tidak bisa di pertanggung jawabkan secara rasional.
Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbath dan qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Oleh karena itu Al syatibi menawarkan 3 teori yaitu : 1) Al istintaj, 2) Al isthiqro’, 3) Al maqosid asyari’.

3.    Metode Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas ( analog ) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, Karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1) Adanya al Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 2) al far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, 3) hukum al ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, 4) illah yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum ashl.
Contoh qiyas adalah soal h
ukum meminum arak dari qurma. Arak dari perasan kurma disebut far ( cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks ( nash ) Dan hukumnya haram, alasanya ( illah ) Karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama sama memabukkan.

Menurut Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali, dimana far’ mempunyai persoalan hukum yang kuat di banding ashl, 2) qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang sama, 3) qiyas al khafi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Menurut Abd al Jabar, seorang pemikir teologi mu’tazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik ( ghoib).

D. Epistemologi Irfani
1.    Pengertian Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa arab ‘arafah semakna dengan marifat berarti pengetahuan. Tapi ia berbedah dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi ( naql) atau rasianalitas ( aql ). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.

2.    Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase pembibitan , Terjadi pada abad pertama hijriyah. Apa yang disebut baru ada dalam bentuk prilaku zuhud. Kedua, Fase kelahiran terjadi pada abad kedua hijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah al adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan atasa dasar cinta pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad 3 – 4 H, Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan ( akhlak ). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5 H. Pada periode ini Irfan mencapai masa gemilang. Irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan. Kelima, fase spesifikasi terjadi abad ke 6 - 7 H berkat pengaruh Al ghozali yang besar, Irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat islam. Pada fase ini, secara epistemologi irfan telah terpecah dalam 2 aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoristis. Keenam, fase kemunduran terjadi pada abad ke-8 sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.

3.    Metode Irfani
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan. Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf) seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, (1) Taubat, (2) Wara`, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât, (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia, (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah swt, (5) Sabar, menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela, (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya, (7) Ridla, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.

Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).

Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi bathin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna bathin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zhahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Karena itu, syathahat menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.

E. Epistemologi Burhani
1.    Pengertian Burhani
Al burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik.

2.    Perkembangan Burhani
Prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik ( tahlili ) yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi Burhani. Cara berfikir analitik Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama kali lewat progam penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Al makmun. Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode Burhani adalah al Khindi. Namun, karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode Burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran Islam Arab setelah masa al Rozi. Metode Burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran islam setelah masa Al farabi.

3.    Metode Burhani
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.

Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan
dan menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek- objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
Derajat dibawah silogisme burhani adalah silogisme dialektika, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (masyhûrât), tanpa diuji secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia berada dibawah pengetahuan demon
stratif.

F. KESIMPULAN

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada
kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.

Berbeda dengan bayani dan
irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi, rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.


DAFTAR PUSTAKA

Khudori  S. Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)

Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2007)

Redja Mudyahardjo,
 Filsafat Ilmu Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001)

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006)

M. Sirozi, dkk.  Arah Baru Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2008)

Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2006)

Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2007)

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2005)

Juhoyah S. Praja, Aliran - Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta : Kencana, 2005)

Muhaimin, dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam
, (Jakarta : Kencana, 2005)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar