Epistemologi Islam penting untuk
dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin
Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan
menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual
failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya
menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya
suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang
kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama
itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam
posisi dan porsinya masing-masing.” Dll.
Epistemologi secara sederhana bisa
dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan
bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema pembahasan epistemologi.
Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna knowledge atau
pengetahuan dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali digunakan
pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang
filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan
epistemologi. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika,
maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan
validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang
tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui
dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu,
sedangkan yang kedua pada metodologi.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari
sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran yang bernama sofisme (السوفسطائية). Menurut kaum
sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the
measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun
berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut
saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Akibatnya, mudah
diterka, terjadi semacam kekacauan kebenaran. Semua teori sains diragukan,
semua aqidah dan kaidah agama dicurigai. Manusia menjadi hidup tanpa pegangan
“kebenaran”, dan hal seperti itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya
sendiri.
Maka kemudian, muncullah Socrates,
yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles. Menurut mereka tidak semua
kebenaran relatif, ada kebenaran yang umum, yang mutlak benar bagi siapapun.
Kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles.
Sofisme klasik ini kemudian ber-reinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama
skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan
membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk
yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap
ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati,
tetapi mustahil ditemukan.
Wujud lain dari sofisme modern
adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang
dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok,
dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang
masing-masing. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang
relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian
berkembang menjadi paham pluralisme agama. Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam
bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar
manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta
orang-orang yang salahnya juga ada.
Tunjukilah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat. Dalam awal surat al-Baqarah,
lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme: Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Nabi Muhammad saw, sebagai insan
biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme dari musuh-musuhnya pun
diingatkan Allah SWT : Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan
sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni
yang disampaikannya kepadamu melalui wahyu. Jadi jangan pernah bersikap sofis,
karena pegangan kebenaran jelas dan ada, yakni wahyu.
Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal:
Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.
Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya
yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-mentah paham sofisme,
skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.
Dalam berbagai tempat Allah SWT juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan ; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Dalam berbagai tempat Allah SWT juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan ; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Terkait dengan adanya ikhtilaf di
antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang
pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni,
mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin
berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang
berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk
kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates, Plato dan
Aristotels saja mengakui adanya kebenaran yang bersifat umum, maka sangat aneh
jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an dan sunnah tidak mengakui
adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan sunnah dengan sangat jelas
telah memberikan bimbingan dalam masalah tersebut.
Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan
berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S.
Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada
rasio, dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut
paham rasionalisme, dan yang kedua disebut paham empirisme.
Pengetahuan jenis pertama disebut logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut
empiris.
Kerjasama rasionalisme dan empirisme
melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah
pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah
jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi tidak hanya logis
saja yang menjadi andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi
andalan kaum empiris. Kalau ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat logis,
tidak empiris, pengetahuan tersebut akan disebut pengetahuan filsafat, bukan
pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari
rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni paham
yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat
“terukur”. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat
diukur dengan timbangan.
Di samping rasionalisme dan
empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang
penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan wahyu. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja
menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir
yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang disebut
intuisi.
Sementara wahyu merupakan
pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan
lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun, agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental
seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib
(supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para
ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah
pada logis-empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat
aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme.
Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut
teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka
ia telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih
terfokus pada ilhâm yang diturunkan Allah SWT
kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah
pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla
Shadra.
Jika kita menilik pemikiran para
ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati bahwa di antara mereka
tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran pengetahuan
sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang
membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran
Islam aliran semacam itu hampir tidak ditemukan. Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan
terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk
al-hawâs), proses akal sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui
informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh
al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan
memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.
Ibn Taimiyyah sendiri tidak jauh
berbeda dalam menjelaskan saluran-saluran pengetahuan ini. Dari tiga yang
pokok: khabar, akal dan indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada
indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni
intuisi hati. Terhadap teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di
atas, Ibn Taimiyyah juga memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya
pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm tersebut tidak boleh bertentangan dengan
khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah
swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi.
Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat
kedudukannya ketika berbenturan dengan ilhâm yang banyak di antaranya hanya
berupa lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Al-Ghazali menyampaikan pendapat
yang sama. Menurutnya, hâkim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada
tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut
al-Ghazali, ketika hâkim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan
indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya
yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya
mengakui saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan
taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang
bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak menyebutkannya al-Ghazali
kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya. Karena di
dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof melalui Tahâfut
al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu. Itu semua
dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah
hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.
Adapun al-Qadi Abu Bakar
al-Baqillani, dengan konsep yang sama membagi sumber pengetahuan ini ke dalam
enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat
al-bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq
(indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera
merasa dan meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis
yang keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung
tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.” Al-Baqillani kemudian
menyebutkan contoh-contoh pengetahuan yang diperoleh lewat (1) intuisi, seperti
seseorang yang mengenali dirinya sendiri, (2) lewat akal, seperti memahami
omongan, dan (3) lewat khabar khususnya yang mutawâtir, seperti tentang
kehidupan yang ada di luar negeri. Termasuk tentunya khabar-khabar keagamaan,
karena sifatnya yang sama sebagai khabar.
Penjelasan al-Baqillani ini
menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman para ulama terhadap sumber pengetahuan
dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang logis,
empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang
kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî) ataupun
empirikal (hissî).
Apa Itu Pengetahuan?
Peradaban Barat membedakan
pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah
yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris,
sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti
konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan
dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan
empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu
agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Fenomena seperti ini baru terjadi
pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan, pengetahuan belum
dibeda-bedakan ke dalam dua istilah teknis di atas, istilah pengetahuan
(knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki
abad modern yang ditandakan dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur
secara empiris dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science
saja.
Islam tentu saja tidak mengenal
pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan dan modern. Karena di Islam
tidak pernah terjadi tarik-ulur yang dahsyat antara akal dan iman, atau antara
kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance yang
ditandakan dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa
agama. Karena dari sejak awal kelahirannya, antara agama, akal dan indera,
ketiganya berjalin kelindan dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan
ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang
terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam
mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik. Istilah yang digunakannya pun dari
sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan
istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam
(Islamic worldview).
Pengetahuan dalam bahasa Arab
digambarkan dengan istilah al-’ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ûr (kesadaran).
Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia
merupakan salah satu sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan
adalah al-’Âlim, al-’Alîm dan al-’Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui;
tetapi Dia tidak pernah disebut al-’Ârif atau al-Syâ’ir.
Akan tetapi berkaitan dengan
pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat Islam
menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd adalah mustahil.
al-Attas dalam hal ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak
terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan
perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Lagi pula, al-Attas menjelaskan,
pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang
mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada
faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas.
Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.
Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Yazdi adalah tokoh lainnya yang
menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Hal itu disebabkan konsep
pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata (badîhî).
Bukan saja tidak membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan,
lantaran tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai
mendefinisikannya. Frase atau tuturan yang lazim dipakai dalam buku-buku
filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan atau ilmu hanyalah memberikan
contoh-contoh (mishdâq/instance) pengetahuan yang ada dalam ilmu atau bidang
kajian tertentu, bukan definisi dalam arti sesungguhnya. Contohnya definisi
yang disebutkan oleh para ulama dan ahli logika seperti: “penangkapan bentuk
(shûrah atau form) sesuatu dalam pikiran”, “hadirnya maujud nonmaterial dalam
maujud nonmaterial lainnya”, atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”.
Yazdi pun kemudian menjelaskan
tentang ilmu ini sebagaimana halnya al-Attas. Cuma istilah yang digunakannya
ada perbedaan. Untuk ilmu yang datang secara langsung dari Allah swt Yazdi
menamakannya al-’ilm al-hudûrî (pengetahuan dengan kehadiran, presentational
knowledge, knowledge by presence). Sementara untuk ilmu yang didapatkan lewat
usaha manusia Yazdi menyebutnya al-’ilm al-hushûlî (pengetahuan tangkapan atau
perolehan, acquired knowledge).
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi,
adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Dalam karyanya tentang
perbandingan epistemologi antara al-Qur`an dan filsafat (nazariyyat al-ma’rifah
baina al-Qur`ân wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para
pemikir Mu’tazilah, filosof Yunani, dan para ulama Ahl al-Sunnah. Hasilnya, ia
menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua
definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus
pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa
dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Uraian keempat
ulama di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam mencakup dua
pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan
kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan
kajian. Dalam hal ini, mutlak disimak firman
Allah swt berikut ini: Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al-’Alaq [96] : 1-5)
Secara jelas, ayat di atas
menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas iqra`, juga bisa
diperoleh dengan anugerah Allah swt langsung kepada manusia.
Klasifikasi Pengetahuan, Bukan
Dikotomi
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal
dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak. Yang logis-empiris
dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan
ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang
sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam
khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau
diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu
dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada syar’iyyah dan ghair syar’iyyah.
Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali adalah yang berasal dari Nabi saw,
sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu
hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan
oleh pendengaran seperti ilmu bahasa.
Ibn Taimiyyah membagi ilmu dari
aspek yang sama dengan pola yang sama. Cuma penamaannya, syar’iyyah dan
‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan Ibn Taimiyyah adalah yang berurusan
dengan persoalan agama dan ketuhanan, adapun ‘aqliyyah adalah yang tidak
diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan olehnya. Sementara syaikh al-’Utsaimin
membahasakannya dengan ilmu syar’î dan nazarî. Ilmu syar’î adalah fiqh
(pemahaman) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, sementara ilmu
nazarî adalah ilmu shinâ’ah (perindustrian) dan yang berkaitan dengannya.
Berkaitan dengan pembagian ilmu
dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu
ke dalam model seperti itu disebabkan al-Qur`an menjelaskan bahwa bidang
pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui
oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib,
meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal
ini dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima
ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih
lanjut, berdasar pada acuan al-Qur`an inilah maka kemudian ilmu pengetahuan
dalam Islam ada dua jenis: ‘Ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang
sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam,
dan ma’rifah yang menbedakan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam
yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional
(propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah
melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting
untuk diterapkan agar tidak terjadi “kekacauan ilmu”. Ketika agama diukur oleh
akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga
adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah
“kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian
juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang
lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami
sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian
filosof Muslim di abad pertengahan. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.
A. Latar Belakang
Filsafat sesungguhnya bukan sekedar bahasan
tentang isme-isme atau aliran-aliran pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang
sejarah perkembangan pemikiran Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi
lebih merupakan bahasan tentang proses berpikir. Filsafat
adalah “metodologi berpikir”, yaitu berpikir kritis, analisis dan sistematis.
Filsafat lebih mencerminkan “proses” berpikir dan bukan sekedar “produk”
pemikiran. Fazlur Rahman secara tegas menyatakan, Bagaimanapun juga,
filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu,
ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu
sendiri maupun untuk pengembangan disiplin keilmuan yang lain. Hal itu dapat
dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal pikiran untuk
bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat
dibutuhkan, sehingga dengan demikian, ia menjadi alat intelektual yang sangat
penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi. Karena
itu, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan
energy dan kelesuan darah, dalam arti kekurangan ide-ide segar dan lebih dari itu, ia berarti
telah melakukan bunuh diri intelektual.
Dalam kajian epistemologi Barat,
dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan
intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa
kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman
pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam
kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model
system berpikir dalam Islam, yakni bayâni, irfâni dan burhâni, yang
masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
Dalam makalah ini, akan dibahas metode berpikir bayani, burhani dan irfani.
B. Pengertian
Epistemologi
Ada beberapa definisi tentang epistemologi, antara lain :
Ada beberapa definisi tentang epistemologi, antara lain :
1. Epistemologi yaitu pemikiran tentang apa
dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal pikiran
(aliran Rasionalisme) atau dari pengalaman pancaindera (aliran Empirisme) atau
dari ide-ide (aliran Idealisme) atau dari Tuhan (aliran Teologisme). Juga
pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai dimana
kebenaran pengetahuan kita. Hal ini menimbulkan berbagai paham seperti idealisme yang beranggapan bahwa
kebenaran itu terletak dalam ide, sedang realisme beranggapan bahwa kebenaran terletak pada
kenyataan yang ada (realitas). Juga menimbulkan paham pragmatisme bahwa
kebenaran terletak pada kemanfaatan atau kegunaannya, bukan pada ide atau
realitas.
2. Epistemologi adalah bidang studi filsafat
manusia (menurut pandangan filsafat yahudi) yang mempersoalkan hal ihwal
pengetahuan, yang meliputi antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat
hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang
dikemukakan oleh epistemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan
ke arah tercapainya pengetahuan yang benar. Adapun metode yang dimaksud adalah
metode analisis dan sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan peralatan
induktif dan deduktif. Keduanya adalah metode dasar yang berlaku bagi ilmu
pengetahuan apapun. Dengan demikian, melalui kedua metode ini pun ilmu
pengetahuan yang beraneka ragam itu saling meningkatkan diri ke dalam satu
kesatuan yang utuh.
3. Epistemologi adalah bidang filsafat nilai
yang secara khusus mempersoalkan pengetahuan, tentang nilai kebenaran dan otomatis juga
mempersoalkan tentang bagaimana cara mendapatkannya.
4. Epistemologi adalah pengetahuan yang
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara
manusia memperoleh dan menagkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan.
Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan
penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia. Epistemologi membahas
sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan
kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada
murid-muridnya.
C. Epistemologi
Bayani
1. Pengertian Bayani
Secara
etimologi, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al Jabiri berdasarkan
beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl
wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al
dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode
bayani. Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti (1) sebagai
aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal
peradaban Islam, makna terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi
(tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas
teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami
teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu
pemikiran,
secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau
rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar
pada teks.
2. Perkembangan Bayani
Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani
berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok
dan yang berkembang hingga ke furu’ atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima
bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut
berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al Qur’an sebagai
ketentuan bagi makhluk-Nya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh
penjelasan sunnah, 3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh
penjelasan sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak
terdapat dalam al Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas
sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat
bayan tersebut, Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an,
sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.
Al Jahiz (868 M)
mengkritik konsep Syafi’i di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’i baru pada tahap
bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada
pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang
terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bayan adalah
syarat syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan aturan
penafsiran wacana. Al Jahiz menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu : 1) kefasihan ucapan,
2) seleksi huruf dan lafadh, 3) adanya keterbukaan makna, 4) adanya kesesuaian antara kata dan
makna, 5) adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan kebenaran yang
disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri. Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas
atas kata kata sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode
bagaimana memahami sebuah teks, Membuat kesimpulan atasnya, Kemudian memberikan
uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar bahkan
sebagai alat untuk memenangkan perdebatan. Akan tetapi,
Apa yang diterapkan Al Jahiz pada masa berikutnya dianggap kurang tepat dan sistematis.
Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi
sebuah metode untuk membangun konsep ashlul furu’ caranya dengan menggunakan paduan pola
yang dipakai ulama fikih dan kalam.
Paduan antara metode fikih yang eksplanatoris dan teologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemologi bayani baru ini sangat penting, Karena menurutnya apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi mencakup 4 hal yaitu : 1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan subtansi, 2) Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar – salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan, 3) Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi, 4) Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep. Dari 4 macam obyek ini Ibnu Wahab menawarkan 4 macam bayani yaitu: 1) Bayan Al i’tibar, 2) Bayan Al i’tiqod, 3) Bayan Al ibaroh, 4) Bayan Al kitab. Pada periode terakhir muncul Al-syatibi ( 1388 M ) menurutnya, sampai sejauh itu bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti ( qoth’i ) tapi baru derajat dugaan ( dhzon ) sehingga tidak bisa di pertanggung jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbath dan qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Oleh karena itu Al syatibi menawarkan 3 teori yaitu : 1) Al istintaj, 2) Al isthiqro’, 3) Al maqosid asyari’.
3.
Metode Bayani
Untuk mendapatkan
pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang
pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua,
menggunakan metode qiyas ( analog ) dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah
berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, Karena adanya
kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1)
Adanya al Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran,
2) al far’
yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, 3) hukum al ashl yakni
ketetapan hukum yang diberikan oleh
ashl, 4) illah yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum ashl.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurma. Arak dari perasan kurma disebut far’ ( cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks ( nash ) Dan hukumnya haram, alasanya ( illah ) Karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama sama memabukkan.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurma. Arak dari perasan kurma disebut far’ ( cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks ( nash ) Dan hukumnya haram, alasanya ( illah ) Karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama sama memabukkan.
Menurut Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali, dimana far’ mempunyai persoalan hukum yang kuat di banding ashl, 2) qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang sama, 3) qiyas al khafi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Menurut Abd al Jabar, seorang pemikir teologi mu’tazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik ( ghoib).
D. Epistemologi Irfani
1.
Pengertian Irfani
Irfan dari kata
dasar bahasa arab ‘arafah semakna dengan ma’rifat berarti pengetahuan. Tapi ia berbedah dengan
ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara
langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi ( naql) atau rasianalitas ( aql ). Karena itu, secara
terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya setelah adanya olah
ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.
2.
Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani
secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase pembibitan , Terjadi pada abad
pertama hijriyah. Apa yang disebut baru ada dalam bentuk prilaku zuhud. Kedua,
Fase kelahiran terjadi pada abad kedua hijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan
atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah al
adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan atasa dasar cinta pada Tuhan, bebas dari
rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad
3 – 4 H, Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal hal yang
berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral
keagamaan ( akhlak ). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5 H. Pada
periode ini Irfan mencapai masa gemilang. Irfan menjadi jalan yang jelas
karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan
kebahagiaan. Kelima, fase spesifikasi terjadi abad ke 6 - 7 H berkat pengaruh Al ghozali yang besar, Irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang
dalam masyarakat islam. Pada fase ini, secara epistemologi irfan telah
terpecah dalam 2 aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoristis. Keenam, fase
kemunduran terjadi pada abad ke-8 sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan
mengalami kemunduran.
3.
Metode Irfani
Pengetahuan irfan
tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan
kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui
tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan
atau tulisan. Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan
(kasyf) seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju
puncak, (1) Taubat, (2) Wara`,
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât, (3) Zuhud, tidak
tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia, (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan
masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah swt, (5) Sabar, menerima segala
bencana dengan laku sopan dan rela, (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya, (7) Ridla,
hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira
dan sukacita.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi bathin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna bathin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zhahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Karena itu, syathahat menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.
E. Epistemologi
Burhani
1. Pengertian
Burhani
Al
burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk
menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan
proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenaranya
secara aksiomatik.
2.
Perkembangan Burhani
Prinsip burhani
pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode
analitik ( tahlili ) yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi
tertentu. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles,
digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam
berganti nama menjadi Burhani. Cara berfikir analitik Aristoteles ini masuk
kedalam pemikiran Islam pertama kali lewat progam penterjemahan buku-buku
filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Al makmun. Sarjana pertama
yang mengenalkan dan menggunakan metode Burhani adalah al Khindi. Namun, karena
masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak
begitu bergema. Metode Burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran Islam Arab
setelah masa al Rozi. Metode Burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam
sistem
pemikiran islam setelah masa Al farabi.
3.
Metode Burhani
Selanjutnya, untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti
Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa
syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya
konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat
pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian
lain.
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan dan menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek- objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
Derajat dibawah silogisme burhani adalah silogisme dialektika, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (masyhûrât), tanpa diuji secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia berada dibawah pengetahuan demonstratif.
F. KESIMPULAN
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, secara
langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi, rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.
DAFTAR PUSTAKA
Khudori S. Soleh,
Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2007)
Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001)
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
M. Sirozi, dkk. Arah Baru Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2008)
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2006)
Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, (Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2007)
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2005)
Juhoyah S. Praja, Aliran - Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta : Kencana, 2005)
Muhaimin, dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta : Kencana, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar