KONSTELASI DAN TANTANGAN DUNIA ISLAM
PADA ABAD 19 DAN 20
I.
PENDAHULUAN
Melakukan pengkajian dan tela’ah
terhadap konstelasi dan tantangan dunia Islam pada abad 19 dan 20 bukan hanya
untuk mengetahui keagungan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamien, juga
menunjukkan secara empiris bahwa Islam sebagai agama, politik, dan budaya telah
mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia, serta menumbuhkan
dinamika kebudayan penganutnya. Lebih dari itu, Islam telah memberikan tambahan
pengetahuan dan keyakinan bagi para penganutnya bahwa realitas masyarakat Islam
adalah sangat beragam, semua keseragaman itu sebagai realitas dari sunnatullah,[1]
sebagaimana firman Allah SWT :
9e@ä3Ï9ur îpygô_Ír uqèd $pkÏj9uqãB ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù't ãNä3Î/ ª!$# $·èÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÍÑÈ
Artinya :
Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
(dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah : 148)
Setiap suku bangsa pasti memiliki
titik orientasi dan tujuan masing-masing sesuai dengan latar historis yang
mengitarinya, hal ini bisa mewujud dalam sebuah ideologi atau falsafah suatu bangsa.
Dalam dunia Islam, secara geopolitik akan terjadi proses transformasi dan
akulturasi budaya antara tradisi kecil/lokal (the little tradition)
suatu suku bangsa dengan tradisi besar (the great tradition) yakni
universalitas Islam, hal ini meniscayakan lahirnya sebuah karakteristik
keislaman yang dalam beberapa hal akan berbeda dengan karateristik keislaman
ditempat yang lain. Oleh karena itu membangun sifat toleransi (tasamuh)
dan saling mengahargai pada setiap karakteristik dan realitas kebudayaan dan
peradaban yang ada merupakan nilai aksiologis yang sangat penting. Allah SWT
dalam firman-Nya menegaskan :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya :
Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
Jelasnya, apa yang
sekarang disebut sebagai realitas pluralisme atau kemajemukan adalah taqdir
Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagaimana firman-Nya:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( wur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷Å° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
Artinya :
Dan kami Telah turunkan
kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu, Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu, (QS. Al Maidah : 48)
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana konstelasi
duna Islam abad 19 dan 20?
2.
Bagaimana tantangan
dunia Islam abad 19 dan 20?
III.
PEMBAHASAN
1.
Konstelasi dunia Islam
abad 19 dan 20
Tidak ada manusia yang stagnan, demikian
isyarat yang disampaikan oleh sosiolog Auguste Comte, Talcott Parsons, juga
Charles Darwin. Ketiganya mengisyaratkan terjadinya pergerakan yang dialami
manusia yang membawa pada sebuah perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut
merupakan gerak dasar bagi setiap manusia, dan merupakan seleksi alam, dan arus
perubahan ini akan terus berjalan karena merupakan hukum evolusi sosial yang
tidak dapat dihentikan. Seiring perputaran waktu, spektrum perubahan yang
terdapat di masyarakat semakin dinamis. namun yang mesti diwaspadai, laju perubahan
tidak selalu mengarah pada perubahan yang positif, namun kadang-kadang juga
cenderung negatif. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor
geografis, politik, ekonomi, agama, dan perkembangan zaman yang membayangi
kehidupan sosial manusia.[2]
Yang paling perlu dewasa ini adalah
membantu umat Islam memperoleh kepercayaan kembali kepada dirinya sendiri dan
kepada masa lampaunya, sehingga mampu menghadapi masa depan dengan penuh
harapan, penuh keberanian dan penuh ketabahan, keyakinannya pada agama yang
dianut, kemampuan berfikirnya yang seringkali tidak disadari, harus dibangkitkan
dan diperkuat. Hubungannya dengan Islam semata-mata karena keturunan,
dilahirkan dari orang tua yang beragama Islam, jarang melakukan usaha yang
sungguh-sungguh dalam memperoleh pemahaman yang sebenarnya tentang agamanya.[3]
Yang banyak terjadi kemudian adalah pemahaman yang parsial terhadap
teks-teks keagamaan (Al Qur’an dan As Sunnah), hal ini kemudian
diperparah oleh pemahaman terhadap teks yang mengabaikan kontek-nya, sehingga
menjadi kering, jumud dan terdistorsi.
Umat Islam pernah mengalami kejayaan,
diteladani, disegani, dihormati, dan bahkan ditakuti oleh umat yang lain, umat
Islam pernah menjadi pemimpin dunia. Namu kemudian umat Islam mengalami masa
suram, kemunduran dalam berbagai hal, dipandang rendah, disepelekan, dihina dan
bahkan dijajah oleh umat lain, umat Islam dipaksa atau terpaksa menerima
kepemimpinan umat lain, khususnya barat. Hari ini umat Islam belum sepenuhnya
merdeka dari hegemoni dan dominasi barat dalam berbagai aspek, baik dalam aspek
politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Seorang sejarawan abad ke 12 Masehi,
Ibnu Athir Al Jazari menyatakan, saya telah mempelajari kehidupan semua sultan
sebelumnya, dapat saya katakan bahwa selain khulafaurrasyidin (Abu Bakar Ash
Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib) dan
‘Umar bin Abdul Aziz, tak seorang pun lebih sholeh, lebih adil dan lebih pemaaf
dari Nuruddin Zangi, seorang khalifah dari dinasti zangi di Mosul yang
berulangkali berhasil mengalahkan tentara salib dan mengusir mereka hampir dari
setiap kota di Palestina.[4]
Para khalifah dunia Islam diluar
yang enam diatas sebagian besar atau bahkan sangat langka memiliki sifat-sifat
umara’ dan ‘ulama sekaligus dalam dirinya, mereka tidak mengerti bahwa
nilai-nilai inteletual, emosional dan spiritual merupakan pondasi bagi
kepemimpinan Islam, mereka belum mampu mengikis habis sifat-sifat, sukuisme,
rasialisme, feodalisme, dan kepentingan-kepentingan pragmatis-materialistik,
seperti beristri banyak (lebih dari empat), hidup mewah ditengah
kesengsaraan warganya, dan kebiasaan – kebiasaan yang tidak Islam (judi,
mabok dan memanggil para penari).
Dalam tatanan agama dan politik
Islam telah terjadi pepecahan, para khalifah tidak cakap atau tidak cukup
perhatian lagi kepada agamanya, perhatiannya hanya terpusatkan pada masala-
masalah administratif dan politik. Bila kebutuhan agama timbul, mereka
berpaling kepada ‘ulama untuk meminta nasehat, namun hanya menerima jika sesuai
dengan tujuan mereka. Para ‘ulama pun terbelah, ada tetap konsisten dengan
kepentingan agamanya, namun ada pula yang menghamba kepada kepentingan para
penguasa.
Karena pegangan agama menjadi lemah,
moral dikalangan umat muslim pun memburuk dengan cepat, pengaruh jahat dari
sikap para khalifah yang bobrok dan jauh dari teladan moral Islam tak pelak
lagi telah merugikan bangunan moral masyarakat secara keseluruhan. Ajaran Al
Qur’an yang mengharuskan menyuruh berbuat benar dan melarang berbuat salah, tidak
lagi memiliki arti nyata semenjak tidak memperoleh dukungan negara.[5]
Inilah potret panjang dunia Islam menjelang abad 19 dan 20.
Setelah hancurnya bagdad sebagai
pusat peradaban umat Islam oleh pasukan tar tar pada tahun 650 H. kemudian
muncullah tiga kerajaan Islam yang patut diperhitungkan pada zamannya, Turki
Usmaniyah didirikan pada abad ke 15 M. Atau abad ke 9 H. berikutnya adalah
kerajaan Moghul di India yang didirikan pada tahun 1526, serta dalam kurun
waktu yang kurang lebih bersamaan muncul juga kerajaan Safawiyah di Iran. Dari
ketiga kerajaan tersebut Turki Usmani-lah yang pengaruhnya sangat signifikan
terhadap dunia Islam, hal ini berlangsung hingga awal abad ke 20, tepatnya
setelah berakhirnya sistem khilafah Islamiyah Turki Usmani pada tahun 1924 M.[6]
Kekuasaan Turki Usmani terentang
dari Iran hingga Maroko, termasuk juga Asia Kecil hingga tembok Wina di Eropa,
bahkan sultan – sultan Usmaniyah menganggap laut hitam sebagai danau pribadi
mereka, dimana mereka tidak mengizinkan orang asing memasukinya, angkatan laut
Turki Usmani sangat kuat, kekuatan gabungan maritim Eropa tidak dapat
menyainginya, hal ini terbukti pada tahun 1549 M armada gabungan Romawi,
Venesia, spanyol, Portugal dan Malta diporak – porandakan oleh angkatan laut
Turki Usmani. Kemunduran Turki Usmani sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
Khilafah Islamiyah yang lain, yaitu terjerumus kedalam godaan kesenangan dan
kemewahan, hal ini biasanya selalu dimulai oleh para khalifahnya. Dekadensi
moral merajalela dimana – mana, para penguasa menjadi tirani yang dholim,
konflik internal yang dipicu oleh kepentingan politik praktis menjadi sangat
mengerikan, para gubernur dan jenderal militer berprilaku amoral, korup dan
tidak setia kepada khalifah.[7]
Kejumudan berfikir dan taqlid buta
dalam pemikiran bagaikan virus masal yang menjangkiti hampir setiap kaum
intelektual dan cendekiawan muslim, hatta bibidang peperangan dan organisasi
militer. Mereka melupakan nasehat Amr bin ‘Ash “jangan lupa, kalian
selamanya berada dalam bahaya, kalian berdiri di pos terdepan yang paling
penting, karena itu waspadalah selalu dan siap dengan senjatamu, kalian
dikelilingi musuh – musuh yang sinar matanya selalu mengawasimu dan negerimu
dengan penuh dengki”. Tetapi Turki Usmani telah merasa puas, sementara
bangsa – bangsa eropa terus membuat kemajuan pesat, bangsa Turki tetap dalam
keadaan terlena.
Eropa terus membuat kemajuan besar
dalam bidang ilmu dan industri, menaklukkan kekuatan – kekuatan benda yang
tersembunyi, membuka rahasia – rahasia alam yang baru dan menemukan tanah –
tanah tak dikenal, menghasilkan sejumlah besar orang terkemuka dalam semua
bidang kegiatan penciptaan, para ilmuwan seperti Copernicus, Bruno, Galileo, Kepler
dan Newton merevolusi dunia fisika, sedangkan Columbus, Vasco Da Gama dan
Magellan menemukan dunia baru dan banyak daratan lainnya serta menemukan jalan
laut. Nasib manusia sedang diatur kembali, dunia sedang berubah dalam langkah
yang mendebarkan. Pada saat yang bersamaan, umat Islam lalai, bukan hanya
satu-dua menit namun berabad – abad.[8]
Bangsa Turki Usmani tertinggal jauh
sekali dibelakang, termasuk juga negara – negara Islam yang berada dibawah kekuasaannya.
Dimasa jayanya, dalam bidang kemiliteran, Turki Usmani tidak ada bandingannya
di dunia. Pada tahun 1774 kerajaan Usmaniyah menderita kekalahan yang parah
dari eropa, goncangan dari kekalahan ini agak membantu Bangsa Turki membuka
mata mereka terhadap kenyataan mereka yang buruk, dan mereka melakukan beberapa
usaha untuk menata kembali negerinya. Tetapi bila dibandingkan dengan langkah –
langkah hebat eropa, usaha – usaha pembangunan kembali ini tidak ada artinya.[9]
Akhirnya, lahirlah babak baru sejarah dunia, yaitu tampilnya barat (Eropa
dan Amerika) sebagai pemimpin peradaban dunia hingga hari ini.
Pendekatan geopolitik / nasionalisme
sebenarnya lahir dan berkembang akibat kepentingan imprealisme dan kolonialisme
abad ke 19, dengan motif ideologi agama (gospeld), kekayaan (gold),
dan kejayaan (glory), seluruh wilayah di dunia Islam yang tadinya
menyatu secara kultural, kemudian dipecah – pecah oleh kepentingan yang jauh
lebih kuat dan memaksa yaitu kolonialisme dan imprealisme. Selanjunya
penjajahan ini dikembangan dengan kolonialisme modern pada abad ke 19, dimana
seluruh negara Eropa dan Amerika menentukan sendiri batas – batas kekuasaan
wilayah administratif jajahannya dan objek utama dari seluruh fenomena global
ini adalah seluruh kawasan dunia Islam.[10]
Sejak masuk dan berkembangnya
imprealisme barat di dunia Islam, terutama sejak abad 18 hingga paruh pertama
abad ke 20, ternyata secara tidak langsung telah menumbuhkan kesadaran politik,
ekonomi, sosial dan budaya baru yang lebih rasional dalam berbangsa dan
bernegara di kalangan mereka di masing – masing wilayah. Imprealisme barat
telah melahirkan rangsangan yang sangat signifikan bagi terbentuknya faham
nasionalisme termasuk juga konsep – konsep pemerintahan atau sistem parlemen yang
akan dikembangkan. Pendidikan ilmiah dan idustrialisme termasuk juga konsep –
konsep kebudayaan seperti sekularisme, feminisme, sosialisme dan sebagainya
ikut bermain dalam pengembangannya.[11]
2.
Tantangan dunia Islam
abad 19 dan 20
Eksistensi Islam di Era Globalisasi, Hari ini
kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya
batasan-batasan teritorial diantara umat manusia, sebuah zaman yang kita kenal
sebagai era globalisasi. perkembangan peradaban manusia pada era ini ditandai
oleh banyaknya penemuan-penemuan baru diberbagai bidang kehidupan umat manusia,
dan telah dianggap membawa manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastik.
Globalisasi
membawa visi membangun kehidupan yang modern, yang akan memberikan kemudahan
dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh
temuan modernitas, menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia,
mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era
Globalisasi telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia disegala penjuru
dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembangan dan
penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari.[12]
Arus globalisasi
disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu kompleks, komplekstias
perubahan tersebut meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Salah satu
persoalan krusial sebagai dampak proses globalisasi yang terkait dengan
kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “religiusitas” dalam
kehidupan manusia. Temuan-temuan empiris dan perkembangan pengetahuan
menghadapkan manusia kepada sebuah realitas akan kekuasaan manusia di muka
semesta ini, hal-hal yang sebelumnya dianggap sebagai “misteri Tuhan” satu
persatu telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka
lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signifikansi dan
perannya di tengah kehidupan manusia. Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama
banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut
terbanyak di dunia, perselisihan antara Islam dengan barat juga menjadi bagian
yang telah memberikan warna tersendiri dalam era globalisasi. Globalisasi yang melanda dunia
tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang.
Seperti politik, ekonomi,
kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang tentu
saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di masa yang akan
datang.
Benturan Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu
hangat diperbincangkan. Dengan latar
belakang budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya, apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi dengan
segala kekuatannya dan Islam yang memiliki seting dan alasan tersendiri yang
berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada wahyu,
sakralitas dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi
dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang
justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.[13]
Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala
aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya, politik,
keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi
ciri khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan
dengan perkembangan situasi dan zaman.[14] Sebagaimana pada era globalisasi ini, dimana muncul ketegangan baru antara
Islam dengan Barat. Keduanya seolah berhadapan sebagai lawan yang saling
menghancurkan, disinilah kita dituntut untuk mengetahui apakah diantara
keduanya bisa berjalan sejajar atau setidaknya Islam dapat mengimbangi
posisinya dalam arus keganasan globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagian umat Islam merasa ketakutan dan kekhawatiran
dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia Islam, baik
di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat, cenderung bersifat resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan
identitas umat Islam, bahkan pada tingkat tertentu berkeyakinan
bahwa semua itu merupakan perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam. Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat Islam yang lain cendrung menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve, seraya mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai konservatif dan terbelakang. Segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang
menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.[15]
Memposisikan Islam dalam tantangan arus global sejatinya umat Islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon apalagi
reaktif, umat Islam
harus lebih kritis dengan menela’ah setiap
persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa
mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.
Banyak kalangan
bingung memahami Islam. Pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah
agama damai dan adil, namun Osama Bin Laden dan teroris Muslim lainnya secara
global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut
Islam sebagai agama damai, penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai
agama setan. Samuel Huntington profesor ternama dari Harvad dan penulis The
Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi
sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat
kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras”.[16]
Sikap mendukung
mesti diambil Islam bila globalisasi membawa dampak positif, mengusung semangat
perdamaian, toleransi beragama, keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan bagi
Islam untuk menolak spirit kehidupan yang demikian, Islam juga mengajarkan hal
demikian. penolakan Islam bisa dilakukan bila globalisasi memberikan dampak negatif
terhadap kehidupan umat manusia, Islam tidak perlu menutup diri dari pengaruh
kekuatan luar, melawan globalisasi (bila pun harus dilawan) tidak bisa
dengan pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam akan terbawa dalam
permainan globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas untuk menyelamatkan
eksistensinya.
Islam dan
Modernisasi, Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan
kapitalisasi serta berimplikasi pada perubahan tatanan kehidupan sosial dalam
berbagai aspek, karena dibarengi dengan masuknya budaya impor
yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya
lokal yang berwatak tradisional, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan
budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan
model yang akomodatif, terkadang unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi
dan digantikan oleh unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur
impor. Biasanya, unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati
oleh masyarakatnya.[17]
Selain masuknya budaya asing, modernisasi juga tidak
bisa dilepaskan dari persoalan sekularisasi. Modernisasi, sekularisasi, dan
westernisasi seakan merupakan satu paket yang terjadi di dunia Barat dan Timur.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa ajaran dan dogmatisme agama termasuk
Islam, yang tidak mampu menjawab tantangan zaman akan ditinggalkan oleh para
pemeluknya.
Dari kenyataan seperti itu, dalam era modern umat
Islam sering dihadapkan pada sebuah tantangan, di antaranya adalah menjawab
pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk
Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi modernisasi dalam
kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran.[18]
Clifford Geertz menyatakan bahwa dalam menghadapi
dunia modern, sikap orang bisa bermacam-macam. Ada yang kehilangan sensibilitas
mereka, ada yang menyatu ke dalam ideologi penjajah atau sekedar mengadopsi
kreasi impor, ada yang mengambil jarak dengan penuh waspada atau menjadikan
beberapa tradisi menjadi bentuk yang lebih efektif, ada yang membagi dirinya
menjadi dua dunia, hidup secara spiritual sesuai dengan keyakinan lama dan
hidup secara fisik sesuai dengan kekinian, ada pula yang mencoba
mengekspresikan keberagamaan mereka dalam aktivitas-aktivitas sekuler.[19] Sikap semacam inilah yang terjadi pada umat Islam, di
mana mereka tidak memiliki kesepakatan sikap dalam memahami ajaran agamanya di
tengah kehidupan publik yang modern.
Perbedaan sikap di atas karena Islam sebagai agama
yang diturunkan di tengah bangsa Arab kemudian diadopsi oleh masyarakat
non-Arab dengan kultur yang berbeda, sehingga dalam memahami ajaran Islam
mereka pun akhirnya memiliki perbedaan. Dari itu muncul banyak corak Islam, ada
Islam Iran, ada Islam Indonesia, ada Islam Afrika, yang masing-masing varian
merepresentasikan dimensi budayanya.[20]
Nabi Muhammad sendiri tidak menuntut para pengikutnya
untuk menjadi masyarakat yang harus merealisasikan semua nilai-nilai Islam
secara kaku sesuai dengan yang beliau lakukan, dalam konteks budaya arab. Jadi
wajar kalau kemudian terdapat perbedaan bentuk peradaban Islam, sebagai hasil
nyata dari akulturasi budaya antara Islam yang universal dengan budaya lokal, dimana Islam dapat mewujud dalam sebuah
peradaban umat. Itu
artinya, meskipun Islam pada awalnya tumbuh dan berkembang dalam tradisi bangsa
Arab, setiap muslim tidak harus menterjemahkan Islam sesuai dengan yang
diterapkan oleh bangsa Arab, akan tetapi menformulasikannya sesuai dengan
kondisi sosial yang dihadapi.
Dalam merespon modernisasi, umat Islam terbagi menjadi
beberapa kelompok. Ada yang merespon dengan sikap anti modernisme dan pada
akhirnya anti barat, ada yang
menjadikan barat sebagai
kiblat dan bahkan ada yang menjadikannya sebagai pandangan hidup, ada lagi yang bersikap kritis, tidak anti modernisasi
dan tidak pula
berkiblat ke barat tanpa reserve. Kelompok
yang terakhir ini berpandangan bahwa modernisasi dapat dimodifikasi bahkan
dibongkar untuk sekiranya tidak bertentangan dengan hal-hal yang dianggap
prinsip dalam Islam, menganggap barat tidak secara otomatis sebagai musuh, dan
dalam waktu bersamaan tidak pula mengganggap barat sebagai kiblat dalam
segalanya. Barat juga mengandung unsur kebaikan, sehingga harus diterima selama
tidak menabrak prinsip agama Islam, dalam waktu bersamaan barat juga harus disikapi dengan kritis, bahkan dalam batas tertentu
harus ditolak.[21]
Fundamentalisme Islam dan
Barat, Dalam
perspektif Islam, fundamentalisme diartikan sebagai paham yang bermaksud
mempertahankan ajaran dasar Islam, menjauhkan dari segala bentuk tahayul,
bid’ah dan khurafat. seperti dilakukan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibn Taimiyah. Tetapi perkembangan lebih lanjut kelompok
fundamentalisme di atas memiliki konotasi minor dan sangat pejoratif, bahkan
dianggap sebagai kelompok garis keras yang sering bertindak irrasional dan
selalu dikaitkan dengan gerakan dan revolusi, seperti gerakan Wahabi di
Saudi Arabia, Khumaini di Iran, Hasan Al-Banna,
Sayid Qutub di Mesir dan seterusnya. Sebagian orang juga menilai, bahwa fundamentalisme
adalah kelompok yang melawan tatanan politik yang ada. Oleh sebab itu
kelompok oposisi Islam sering dianggap sebagai fundamentalis. Di lain pihak
kelompok ini juga dianggap sebagai gerakan subversif.[22]
Fundamentalisme
Islam populer di kalangan barat setelah
terjadinya revolusi Islam Iran tahun
1979. Menurut E. Marty, ada dua prinsip fundamentalisme, pertama, memiliki prinsip perlawanan/oposisi, yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang
dianggap membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernisme,
sekularisme maupun westernisme. Kedua, adalah penolakannya terhadap hermeneutika,
menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya, teks harus dipahami
sebagaimana adanya karena nalar dianggap tak mampu memberikan interpretasi yang
tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut
tekstualis-skripturalis.[23]
Gerakan
fundamentalisme agama selalu dikaitkan dengan kekerasan dan pemberontakan,
dalam upaya mewujudkan cita-citanya, gerakan ini tidak jarang menempuh jalan
kekerasan. Jika gerakan ini beraksi maka pertumpahan darah hampir dipastikan
tak terelakkan dan ini terjadi karena adanya pemahaman dan keyakinan yang
mendasari yang dianggap paling benar, ini berlaku pada semua sekte agama
baik Islam (Sunni, Syi’i), Yahudi, Katholik maupun yang lainnya.
Fundamentalisme agama disamping memiliki potensi besar terhadap gerakan
revolusi juga memiliki potensi konflik antar agama bahkan intern agama. Hal ini terkait dengan doktrin agama yang mereka
pahami dan adanya perbedaan yang tajam dalam memberikan penilaian terhadap
suatu masalah yang berkaitan dengan politik, ekonomi maupun sistem nilai.
Huntington
menjelaskan, bahwa benturan peradaban akan mewarnai dan mendominasi politik
global. Menurutnya, identitas peradaban akan semakin penting pada masa akan
datang dan dunia akan dibentuk dalam ukuran besar oleh interaksi di antara
tujuh atau delapan peradaban utama: Barat, Konfusius, Jepang,
Islam, Hindu, Slavia Ortodoks, Amerika Latin dan mungkin Afrika. Konflik yang
paling penting pada masa akan datang terjadi di antara garis budaya yang
memisahkan satu peradaban dengan yang lain. Beberapa negara yang lebih suka
bergabung dengan Barat mengajukan westernisasi secara penuh, seperti Jepang,
Rusia, negara-negara di Eropa Timur dan Amerika Latin.
Sementara yang tidak tergabung dengan Barat adalah mereka menerima modernisasi
tetapi menolak westernisasi.[24]
Fuller
mengatakan, bahwa benturan antar peradaban
bukan antara Yesus Kristus, Konfusius atau Nabi Muhammad sebagaimana yang
dipahami Huntington, tetapi bersifat ideologis. Kondisi yang mencerminkan dunia
pasca runtuhnya komunis adalah dominasi (hegemoni) pandangan dunia
Barat dalam ruang lingkup ekonomi dan politik yang didasarkan pada tiga
prinsip fundamental, yaitu: pertama, kapitalisme dan ekonomi pasar, kedua, hak-hak asasi manusia dan demokrasi
sekuler-liberal, ketiga, negara kebangsaan sebagai kerangka
bagi hubungan internasional. Fuller berharap munculnya sebuah ideologi di Dunia
Ketiga yang menentang nilai-nilai Barat, jalan
ideologi yang akan datang melawan Barat tergantung pada tipe para pemimpin yang
muncul sebagai pembela kepentingan negara. Fuller menempatkan Cina, India,
Iran, Mesir, Rusia termasuk Indonesia, Brazil dan Afrika Selatan di bagian
depan daftar negara yang dipastikan memainkan peran utama dalam perjuangan
ideologis melawan hegemoni Barat.[25]
Dikotomi Barat-Islam dewasa ini mencuat kembali sebagai akibat dari persepsi yang timbul dari pembagian dunia pasca-Perang Dingin ke dalam Timur dan Barat. Dalam pencariannya terhadap lawan baru sejak akhir tahun 1980-an, Barat telah memilih untuk melawan Islam, dengan mengangkat kembali isu-isu politik, ekonomi dan sosial budaya sebagai pemicu konflik.
Dikotomi Barat-Islam dewasa ini mencuat kembali sebagai akibat dari persepsi yang timbul dari pembagian dunia pasca-Perang Dingin ke dalam Timur dan Barat. Dalam pencariannya terhadap lawan baru sejak akhir tahun 1980-an, Barat telah memilih untuk melawan Islam, dengan mengangkat kembali isu-isu politik, ekonomi dan sosial budaya sebagai pemicu konflik.
Hegemoni
Barat terhadap Islam di Timur memang sudah sedemikian kuatnya, sehingga memasuki
relung-relung kehidupan ekonomi, politik, budaya dan agama. Dalam pandangan
fundamentalis Muslim, Amerika jauh dikhawatirkan ketimbang Uni Soviet (Rusia
sekarang), karena pengaruh budaya dan ekonomi Amerika jauh melampaui Uni
Soviet. Amerika juga menganggap ideologi kelompok fundamentalis Muslim
merupakan tantangan yang membahayakan.
Dalam
konteks ini, fundamentalisme Islam hanyalah satu jenis dari fenomena global
dalam politik dunia. Fundamentalisme juga merupakan sebuah gejala ideologi
tentang benturan peradaban,
fundametalisme dengan agitasinya bukan sebuah solusi, malah mengarah pada
kekacauan, karena ia terus-menerus mendorong konflik dan mempertajam
fragmentasi dalam berbagai hal, politisasi
agama yang dilakukan oleh kelompok fundamentalisme hanya akan melahirkan kesengsaraan permanen pada level akar rumput,
fundamentalisme Islam lebih merupakan ideologi politik dari pada fenomena yang
murni agama.[26]
IV.
KESIMPULAN
1.
Nasionalisme di dunia Islam lahir
dan berkembang akibat kepentingan imprealisme dan kolonialisme abad ke 19 dan
20, hal ini secara tidak langsung telah menumbuhkan kesadaran politik, ekonomi,
sosial dan budaya baru yang lebih rasional dalam berbangsa dan bernegara,
kendati barat masih tetap menjadi kampium peradaban hingga hari ini.
2.
Memposisikan
Islam dalam tantangan arus global sejatinya umat Islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon apalagi bersikap
reaktif, harus lebih
kritis dengan menela’ah setiap
persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa
mendukung atau menolak arus globalisasi yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.
3.
Modernisasi dapat dimodifikasi
bahkan dibongkar agar tidak bertentangan dengan hal-hal yang dianggap prinsip dalam
Islam, menganggap barat tidak secara otomatis sebagai musuh, dan dalam waktu bersamaan
tidak pula mengganggap barat sebagai kiblat dalam segalanya. Barat juga
mengandung unsur kebaikan, sehingga harus diterima selama tidak menabrak
prinsip agama Islam, dalam waktu bersamaan barat juga harus disikapi
dengan kritis, bahkan dalam batas tertentu harus ditolak.
4.
Fundamentalisme agama disamping
memiliki potensi besar terhadap gerakan revolusi juga memiliki potensi konflik
antar agama bahkan intern agama. Hal ini
terkait dengan doktrin agama yang mereka pahami dan adanya perbedaan yang tajam
dalam memberikan penilaian terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan
politik, ekonomi maupun sistem nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an
Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia
Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2009).
Pengantar Redaksi dalam buku Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi
Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001).
Pengantar Sayyid Qutub dalam Abul Hasan
Ali Nadwi, Islam dan Dunia, terj. Adang Affandi, (Bandung :
Angkasa, 2008).
Abul Hasan Ali Nadwi, Islam dan
Dunia, terj. Adang Affandi, (Bandung : Angkasa, 2008).
Mulyadhi
Kartanegara sebuah pengantar dalam “ Rekonstruksi
Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer,” (Jakarta
: Gaung Persada Press, 2007).
Erik Sabti Rahmawati dan Hadziq M. Khalil, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Penerbit Jendela, 2003).
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001).
Jhon L Esposito, Masa Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, (Bandung : Mizan Pustaka, 2010).
Sukamto, Kepemimpinan
Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3IS, 1999).
Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of
Social Change, (Oxford: Westview Press, 1991).
Clifford Geertz, Islam
Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (New Haven : Yale
University Press, 1968).
Bassam Tibi, The
Crisis of Modern Islam, (Salt Lake City : University of Utah Press, 1988).
A. Qodri
Azizy, Melawan Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003).
Richard C. Martin, Islam and
Religious Studies, An Inroductory Essay, dalam Richard
C. Martin,. Approaches
To Islam In Religious Studies,
(The University of
Arizona Press, 1985).
E. Marty dan Appelby, Fundamentalism and the State, (University of Chicago Press, 1991).
John L. Esposito, Dialektika Peradaba, Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, (Yogyakarta : Qalam, 2002).
Bassam Tibi, The Challence of
Fundamentalism, political Islam and the New
World Disorder, (University of California Press, 1998).
[1]. Ajid
Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan
Geopolitik, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 18-19.
[2]. Pengantar Redaksi dalam buku Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001),
h. V.
[3]. Pengantar
Sayyid Qutub dalam Abul Hasan Ali Nadwi, Islam dan Dunia, terj. Adang
Affandi, (Bandung : Angkasa, 2008), h. xi.
[4]. Abul
Hasan Ali Nadwi, Islam dan Dunia, terj. Adang Affandi, (Bandung :
Angkasa, 2008), h. 86-87.
[5]. Abul
Hasan Ali Nadwi, Op. Cit. 83.
[6]. Ajid
Thohir, Op. Cit. 90.
[7]. Abul
Hasan Ali Nadwi, Op. Cit. 94-95.
[8]. Ibid.,
h. 100-101.
[9]. Ibid.,
h. 101.
[11]. Ibid.,
h. 98.
[12]. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Op.
Cit. V.
[13]. Mulyadhi Kartanegara
sebuah pengantar dalam “ Rekonstruksi
Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer,” (Jakarta
: Gaung Persada Press, 2007), h. xii.
[14]. Erik Sabti Rahmawati dan Hadziq M. Khalil, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Penerbit Jendela,
2003), h. 50.
[15]. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001),
h. 3.
[16]. Jhon L Esposito, Masa
Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, (Bandung : Mizan
Pustaka, 2010), h. 31.
[18]. Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of
Social Change, (Oxford: Westview Press, 1991), h. 8.
[19]. Clifford Geertz, Islam
Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (New Haven : Yale
University Press, 1968), h. 3.
[20]. Bassam Tibi, The Crisis of
Modern Islam, (Salt Lake City : University of Utah Press, 1988), h. 4.
[22]. Richard C. Martin,
Islam and Religious Studies, An Inroductory Essay, dalam Richard C. Martin,. Approaches To Islam In Religious Studies, (The University of Arizona
Press, 1985), h. 1.
[24]. John L. Esposito, Dialektika Peradaba, Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, (Yogyakarta : Qalam, 2002), h. 89.
[26]. Bassam Tibi, The
Challence of Fundamentalism, political Islam and the New World Disorder, (University
of California Press,
1998), h. 18.