Minggu, 25 Agustus 2013

Konstelasi Dunia Islam



KONSTELASI DAN TANTANGAN DUNIA ISLAM
PADA ABAD 19 DAN 20

I.               PENDAHULUAN
Melakukan pengkajian dan tela’ah terhadap konstelasi dan tantangan dunia Islam pada abad 19 dan 20 bukan hanya untuk mengetahui keagungan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamien, juga menunjukkan secara empiris bahwa Islam sebagai agama, politik, dan budaya telah mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia, serta menumbuhkan dinamika kebudayan penganutnya. Lebih dari itu, Islam telah memberikan tambahan pengetahuan dan keyakinan bagi para penganutnya bahwa realitas masyarakat Islam adalah sangat beragam, semua keseragaman itu sebagai realitas dari sunnatullah,[1] sebagaimana firman Allah SWT :
9e@ä3Ï9ur îpygô_Ír uqèd $pkŽÏj9uqãB ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù'tƒ ãNä3Î/ ª!$# $·èŠÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÍÑÈ  
Artinya :
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah : 148)
Setiap suku bangsa pasti memiliki titik orientasi dan tujuan masing-masing sesuai dengan latar historis yang mengitarinya, hal ini bisa mewujud dalam sebuah ideologi atau falsafah suatu bangsa. Dalam dunia Islam, secara geopolitik akan terjadi proses transformasi dan akulturasi budaya antara tradisi kecil/lokal (the little tradition) suatu suku bangsa dengan tradisi besar (the great tradition) yakni universalitas Islam, hal ini meniscayakan lahirnya sebuah karakteristik keislaman yang dalam beberapa hal akan berbeda dengan karateristik keislaman ditempat yang lain. Oleh karena itu membangun sifat toleransi (tasamuh) dan saling mengahargai pada setiap karakteristik dan realitas kebudayaan dan peradaban yang ada merupakan nilai aksiologis yang sangat penting. Allah SWT dalam firman-Nya menegaskan :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya :
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
Jelasnya, apa yang sekarang disebut sebagai realitas pluralisme atau kemajemukan adalah taqdir Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagaimana firman-Nya:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ
Artinya :
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu, (QS. Al Maidah : 48)

II.            RUMUSAN MASALAH
1.        Bagaimana konstelasi duna Islam abad 19 dan 20?
2.        Bagaimana tantangan dunia Islam abad 19 dan 20?

III.         PEMBAHASAN
1.        Konstelasi dunia Islam abad 19 dan 20
Tidak ada manusia yang stagnan, demikian isyarat yang disampaikan oleh sosiolog Auguste Comte, Talcott Parsons, juga Charles Darwin. Ketiganya mengisyaratkan terjadinya pergerakan yang dialami manusia yang membawa pada sebuah perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut merupakan gerak dasar bagi setiap manusia, dan merupakan seleksi alam, dan arus perubahan ini akan terus berjalan karena merupakan hukum evolusi sosial yang tidak dapat dihentikan. Seiring perputaran waktu, spektrum perubahan yang terdapat di masyarakat semakin dinamis. namun yang mesti diwaspadai, laju perubahan tidak selalu mengarah pada perubahan yang positif, namun kadang-kadang juga cenderung negatif. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor geografis, politik, ekonomi, agama, dan perkembangan zaman yang membayangi kehidupan sosial manusia.[2]
Yang paling perlu dewasa ini adalah membantu umat Islam memperoleh kepercayaan kembali kepada dirinya sendiri dan kepada masa lampaunya, sehingga mampu menghadapi masa depan dengan penuh harapan, penuh keberanian dan penuh ketabahan, keyakinannya pada agama yang dianut, kemampuan berfikirnya yang seringkali tidak disadari, harus dibangkitkan dan diperkuat. Hubungannya dengan Islam semata-mata karena keturunan, dilahirkan dari orang tua yang beragama Islam, jarang melakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam memperoleh pemahaman yang sebenarnya tentang agamanya.[3] Yang banyak terjadi kemudian adalah pemahaman yang parsial terhadap teks-teks keagamaan (Al Qur’an dan As Sunnah), hal ini kemudian diperparah oleh pemahaman terhadap teks yang mengabaikan kontek-nya, sehingga menjadi kering, jumud dan terdistorsi.  
Umat Islam pernah mengalami kejayaan, diteladani, disegani, dihormati, dan bahkan ditakuti oleh umat yang lain, umat Islam pernah menjadi pemimpin dunia. Namu kemudian umat Islam mengalami masa suram, kemunduran dalam berbagai hal, dipandang rendah, disepelekan, dihina dan bahkan dijajah oleh umat lain, umat Islam dipaksa atau terpaksa menerima kepemimpinan umat lain, khususnya barat. Hari ini umat Islam belum sepenuhnya merdeka dari hegemoni dan dominasi barat dalam berbagai aspek, baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Seorang sejarawan abad ke 12 Masehi, Ibnu Athir Al Jazari menyatakan, saya telah mempelajari kehidupan semua sultan sebelumnya, dapat saya katakan bahwa selain khulafaurrasyidin (Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib) dan ‘Umar bin Abdul Aziz, tak seorang pun lebih sholeh, lebih adil dan lebih pemaaf dari Nuruddin Zangi, seorang khalifah dari dinasti zangi di Mosul yang berulangkali berhasil mengalahkan tentara salib dan mengusir mereka hampir dari setiap kota di Palestina.[4]  
Para khalifah dunia Islam diluar yang enam diatas sebagian besar atau bahkan sangat langka memiliki sifat-sifat umara’ dan ‘ulama sekaligus dalam dirinya, mereka tidak mengerti bahwa nilai-nilai inteletual, emosional dan spiritual merupakan pondasi bagi kepemimpinan Islam, mereka belum mampu mengikis habis sifat-sifat, sukuisme, rasialisme, feodalisme, dan kepentingan-kepentingan pragmatis-materialistik, seperti beristri banyak (lebih dari empat), hidup mewah ditengah kesengsaraan warganya, dan kebiasaan – kebiasaan yang tidak Islam (judi, mabok dan memanggil para penari).
Dalam tatanan agama dan politik Islam telah terjadi pepecahan, para khalifah tidak cakap atau tidak cukup perhatian lagi kepada agamanya, perhatiannya hanya terpusatkan pada masala- masalah administratif dan politik. Bila kebutuhan agama timbul, mereka berpaling kepada ‘ulama untuk meminta nasehat, namun hanya menerima jika sesuai dengan tujuan mereka. Para ‘ulama pun terbelah, ada tetap konsisten dengan kepentingan agamanya, namun ada pula yang menghamba kepada kepentingan para penguasa.
Karena pegangan agama menjadi lemah, moral dikalangan umat muslim pun memburuk dengan cepat, pengaruh jahat dari sikap para khalifah yang bobrok dan jauh dari teladan moral Islam tak pelak lagi telah merugikan bangunan moral masyarakat secara keseluruhan. Ajaran Al Qur’an yang mengharuskan menyuruh berbuat benar dan melarang berbuat salah, tidak lagi memiliki arti nyata semenjak tidak memperoleh dukungan negara.[5] Inilah potret panjang dunia Islam menjelang abad 19 dan 20.
Setelah hancurnya bagdad sebagai pusat peradaban umat Islam oleh pasukan tar tar pada tahun 650 H. kemudian muncullah tiga kerajaan Islam yang patut diperhitungkan pada zamannya, Turki Usmaniyah didirikan pada abad ke 15 M. Atau abad ke 9 H. berikutnya adalah kerajaan Moghul di India yang didirikan pada tahun 1526, serta dalam kurun waktu yang kurang lebih bersamaan muncul juga kerajaan Safawiyah di Iran. Dari ketiga kerajaan tersebut Turki Usmani-lah yang pengaruhnya sangat signifikan terhadap dunia Islam, hal ini berlangsung hingga awal abad ke 20, tepatnya setelah berakhirnya sistem khilafah Islamiyah Turki Usmani pada tahun 1924 M.[6]  
Kekuasaan Turki Usmani terentang dari Iran hingga Maroko, termasuk juga Asia Kecil hingga tembok Wina di Eropa, bahkan sultan – sultan Usmaniyah menganggap laut hitam sebagai danau pribadi mereka, dimana mereka tidak mengizinkan orang asing memasukinya, angkatan laut Turki Usmani sangat kuat, kekuatan gabungan maritim Eropa tidak dapat menyainginya, hal ini terbukti pada tahun 1549 M armada gabungan Romawi, Venesia, spanyol, Portugal dan Malta diporak – porandakan oleh angkatan laut Turki Usmani. Kemunduran Turki Usmani sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Khilafah Islamiyah yang lain, yaitu terjerumus kedalam godaan kesenangan dan kemewahan, hal ini biasanya selalu dimulai oleh para khalifahnya. Dekadensi moral merajalela dimana – mana, para penguasa menjadi tirani yang dholim, konflik internal yang dipicu oleh kepentingan politik praktis menjadi sangat mengerikan, para gubernur dan jenderal militer berprilaku amoral, korup dan tidak setia kepada khalifah.[7]
Kejumudan berfikir dan taqlid buta dalam pemikiran bagaikan virus masal yang menjangkiti hampir setiap kaum intelektual dan cendekiawan muslim, hatta bibidang peperangan dan organisasi militer. Mereka melupakan nasehat Amr bin ‘Ash “jangan lupa, kalian selamanya berada dalam bahaya, kalian berdiri di pos terdepan yang paling penting, karena itu waspadalah selalu dan siap dengan senjatamu, kalian dikelilingi musuh – musuh yang sinar matanya selalu mengawasimu dan negerimu dengan penuh dengki”. Tetapi Turki Usmani telah merasa puas, sementara bangsa – bangsa eropa terus membuat kemajuan pesat, bangsa Turki tetap dalam keadaan terlena.
Eropa terus membuat kemajuan besar dalam bidang ilmu dan industri, menaklukkan kekuatan – kekuatan benda yang tersembunyi, membuka rahasia – rahasia alam yang baru dan menemukan tanah – tanah tak dikenal, menghasilkan sejumlah besar orang terkemuka dalam semua bidang kegiatan penciptaan, para ilmuwan seperti Copernicus, Bruno, Galileo, Kepler dan Newton merevolusi dunia fisika, sedangkan Columbus, Vasco Da Gama dan Magellan menemukan dunia baru dan banyak daratan lainnya serta menemukan jalan laut. Nasib manusia sedang diatur kembali, dunia sedang berubah dalam langkah yang mendebarkan. Pada saat yang bersamaan, umat Islam lalai, bukan hanya satu-dua menit namun berabad – abad.[8]
Bangsa Turki Usmani tertinggal jauh sekali dibelakang, termasuk juga negara – negara Islam yang berada dibawah kekuasaannya. Dimasa jayanya, dalam bidang kemiliteran, Turki Usmani tidak ada bandingannya di dunia. Pada tahun 1774 kerajaan Usmaniyah menderita kekalahan yang parah dari eropa, goncangan dari kekalahan ini agak membantu Bangsa Turki membuka mata mereka terhadap kenyataan mereka yang buruk, dan mereka melakukan beberapa usaha untuk menata kembali negerinya. Tetapi bila dibandingkan dengan langkah – langkah hebat eropa, usaha – usaha pembangunan kembali ini tidak ada artinya.[9] Akhirnya, lahirlah babak baru sejarah dunia, yaitu tampilnya barat (Eropa dan Amerika) sebagai pemimpin peradaban dunia hingga hari ini.  
Pendekatan geopolitik / nasionalisme sebenarnya lahir dan berkembang akibat kepentingan imprealisme dan kolonialisme abad ke 19, dengan motif ideologi agama (gospeld), kekayaan (gold), dan kejayaan (glory), seluruh wilayah di dunia Islam yang tadinya menyatu secara kultural, kemudian dipecah – pecah oleh kepentingan yang jauh lebih kuat dan memaksa yaitu kolonialisme dan imprealisme. Selanjunya penjajahan ini dikembangan dengan kolonialisme modern pada abad ke 19, dimana seluruh negara Eropa dan Amerika menentukan sendiri batas – batas kekuasaan wilayah administratif jajahannya dan objek utama dari seluruh fenomena global ini adalah seluruh kawasan dunia Islam.[10]
Sejak masuk dan berkembangnya imprealisme barat di dunia Islam, terutama sejak abad 18 hingga paruh pertama abad ke 20, ternyata secara tidak langsung telah menumbuhkan kesadaran politik, ekonomi, sosial dan budaya baru yang lebih rasional dalam berbangsa dan bernegara di kalangan mereka di masing – masing wilayah. Imprealisme barat telah melahirkan rangsangan yang sangat signifikan bagi terbentuknya faham nasionalisme termasuk juga konsep – konsep pemerintahan atau sistem parlemen yang akan dikembangkan. Pendidikan ilmiah dan idustrialisme termasuk juga konsep – konsep kebudayaan seperti sekularisme, feminisme, sosialisme dan sebagainya ikut bermain dalam pengembangannya.[11]

2.        Tantangan dunia Islam abad 19 dan 20
Eksistensi Islam di Era Globalisasi, Hari ini kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya batasan-batasan teritorial diantara umat manusia, sebuah zaman yang kita kenal sebagai era globalisasi. perkembangan peradaban manusia pada era ini ditandai oleh banyaknya penemuan-penemuan baru diberbagai bidang kehidupan umat manusia, dan telah dianggap membawa manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastik.
Globalisasi membawa visi membangun kehidupan yang modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh temuan modernitas, menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era Globalisasi telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia disegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari.[12]
Arus globalisasi disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu kompleks, komplekstias perubahan tersebut meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Salah satu persoalan krusial sebagai dampak proses globalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “religiusitas” dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan empiris dan perkembangan pengetahuan menghadapkan manusia kepada sebuah realitas akan kekuasaan manusia di muka semesta ini, hal-hal yang sebelumnya dianggap sebagai “misteri Tuhan” satu persatu telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signifikansi dan perannya di tengah kehidupan manusia. Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia, perselisihan antara Islam dengan barat juga menjadi bagian yang telah memberikan warna tersendiri dalam era globalisasi. Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di masa yang akan datang.
Benturan Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan.  Dengan latar belakang budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya, apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki seting dan alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada wahyu, sakralitas dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.[13]
Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya, politik, keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan perkembangan situasi dan zaman.[14] Sebagaimana pada era globalisasi ini, dimana muncul ketegangan baru antara Islam dengan Barat. Keduanya seolah berhadapan sebagai lawan yang saling menghancurkan, disinilah kita dituntut untuk mengetahui apakah diantara keduanya bisa berjalan sejajar atau setidaknya Islam dapat mengimbangi posisinya dalam arus keganasan globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagian umat Islam merasa ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia Islam, baik di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat, cenderung bersifat resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat Islam, bahkan pada tingkat tertentu berkeyakinan bahwa semua itu merupakan perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam. Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat Islam yang lain cendrung menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve, seraya mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai konservatif dan terbelakang. Segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.[15]
Memposisikan Islam dalam tantangan arus global sejatinya umat Islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon apalagi reaktif, umat Islam harus lebih kritis dengan menelaah setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.
Banyak kalangan bingung memahami Islam. Pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil, namun Osama Bin Laden dan teroris Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama damai, penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai agama setan. Samuel Huntington profesor ternama dari Harvad dan penulis The Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras”.[16]
Sikap mendukung mesti diambil Islam bila globalisasi membawa dampak positif, mengusung semangat perdamaian, toleransi beragama, keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan bagi Islam untuk menolak spirit kehidupan yang demikian, Islam juga mengajarkan hal demikian. penolakan Islam bisa dilakukan bila globalisasi memberikan dampak negatif terhadap kehidupan umat manusia, Islam tidak perlu menutup diri dari pengaruh kekuatan luar, melawan globalisasi (bila pun harus dilawan) tidak bisa dengan pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam akan terbawa dalam permainan globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas untuk menyelamatkan eksistensinya.     

Islam dan Modernisasi, Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan kapitalisasi serta berimplikasi pada perubahan tatanan kehidupan sosial dalam berbagai aspek,  karena dibarengi dengan masuknya budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan model yang akomodatif, terkadang unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi dan digantikan oleh unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur impor. Biasanya, unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh masyarakatnya.[17]
Selain masuknya budaya asing, modernisasi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan sekularisasi. Modernisasi, sekularisasi, dan westernisasi seakan merupakan satu paket yang terjadi di dunia Barat dan Timur. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa ajaran dan dogmatisme agama termasuk Islam, yang tidak mampu menjawab tantangan zaman akan ditinggalkan oleh para pemeluknya.
Dari kenyataan seperti itu, dalam era modern umat Islam sering dihadapkan pada sebuah tantangan, di antaranya adalah menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi modernisasi dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran.[18]  
Clifford Geertz menyatakan bahwa dalam menghadapi dunia modern, sikap orang bisa bermacam-macam. Ada yang kehilangan sensibilitas mereka, ada yang menyatu ke dalam ideologi penjajah atau sekedar mengadopsi kreasi impor, ada yang mengambil jarak dengan penuh waspada atau menjadikan beberapa tradisi menjadi bentuk yang lebih efektif, ada yang membagi dirinya menjadi dua dunia, hidup secara spiritual sesuai dengan keyakinan lama dan hidup secara fisik sesuai dengan kekinian, ada pula yang mencoba mengekspresikan keberagamaan mereka dalam aktivitas-aktivitas sekuler.[19] Sikap semacam inilah yang terjadi pada umat Islam, di mana mereka tidak memiliki kesepakatan sikap dalam memahami ajaran agamanya di tengah kehidupan publik yang modern.
Perbedaan sikap di atas karena Islam sebagai agama yang diturunkan di tengah bangsa Arab kemudian diadopsi oleh masyarakat non-Arab dengan kultur yang berbeda, sehingga dalam memahami ajaran Islam mereka pun akhirnya memiliki perbedaan. Dari itu muncul banyak corak Islam, ada Islam Iran, ada Islam Indonesia, ada Islam Afrika, yang masing-masing varian merepresentasikan dimensi budayanya.[20]
Nabi Muhammad sendiri tidak menuntut para pengikutnya untuk menjadi masyarakat yang harus merealisasikan semua nilai-nilai Islam secara kaku sesuai dengan yang beliau lakukan, dalam konteks budaya arab. Jadi wajar kalau kemudian terdapat perbedaan bentuk peradaban Islam, sebagai hasil nyata dari akulturasi budaya antara Islam yang universal dengan budaya lokal, dimana Islam dapat mewujud dalam sebuah peradaban umat. Itu artinya, meskipun Islam pada awalnya tumbuh dan berkembang dalam tradisi bangsa Arab, setiap muslim tidak harus menterjemahkan Islam sesuai dengan yang diterapkan oleh bangsa Arab, akan tetapi menformulasikannya sesuai dengan kondisi sosial yang dihadapi.
Dalam merespon modernisasi, umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang merespon dengan sikap anti modernisme dan pada akhirnya anti barat, ada yang menjadikan barat sebagai kiblat dan bahkan ada yang menjadikannya sebagai pandangan hidup, ada lagi  yang bersikap kritis, tidak anti modernisasi dan tidak pula berkiblat ke barat tanpa reserve. Kelompok yang terakhir ini berpandangan bahwa modernisasi dapat dimodifikasi bahkan dibongkar untuk sekiranya tidak bertentangan dengan hal-hal yang dianggap prinsip dalam Islam, menganggap barat tidak secara otomatis sebagai musuh, dan dalam waktu bersamaan tidak pula mengganggap barat sebagai kiblat dalam segalanya. Barat juga mengandung unsur kebaikan, sehingga harus diterima selama tidak menabrak prinsip agama Islam, dalam waktu bersamaan barat juga harus disikapi dengan kritis, bahkan dalam batas tertentu harus ditolak.[21]

Fundamentalisme Islam dan Barat, Dalam perspektif Islam, fundamentalisme diartikan sebagai paham yang bermaksud mempertahankan ajaran dasar Islam, menjauhkan dari segala bentuk tahayul, bid’ah dan khurafat. seperti  dilakukan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibn Taimiyah. Tetapi perkembangan lebih lanjut kelompok fundamentalisme di atas memiliki konotasi minor dan sangat pejoratif, bahkan dianggap sebagai kelompok garis keras yang sering bertindak irrasional dan selalu dikaitkan  dengan gerakan dan revolusi, seperti gerakan Wahabi di Saudi Arabia, Khumaini di Iran, Hasan Al-Banna, Sayid Qutub di Mesir dan seterusnya. Sebagian orang juga menilai, bahwa fundamentalisme adalah kelompok yang melawan tatanan  politik yang ada. Oleh sebab itu kelompok oposisi Islam sering dianggap sebagai fundamentalis. Di lain pihak kelompok ini juga dianggap sebagai gerakan subversif.[22]  
Fundamentalisme Islam populer di kalangan barat setelah terjadinya revolusi Islam Iran tahun 1979. Menurut E. Marty, ada dua prinsip fundamentalisme, pertama, memiliki prinsip perlawanan/oposisi, yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisme. Kedua, adalah penolakannya terhadap hermeneutika, menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya, teks harus dipahami sebagaimana adanya karena nalar dianggap tak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut tekstualis-skripturalis.[23]
Gerakan fundamentalisme agama selalu dikaitkan  dengan kekerasan dan pemberontakan, dalam upaya mewujudkan cita-citanya, gerakan ini tidak jarang menempuh jalan kekerasan. Jika gerakan ini beraksi maka pertumpahan darah hampir dipastikan tak terelakkan dan ini terjadi karena adanya pemahaman dan keyakinan yang mendasari yang dianggap paling benar, ini berlaku pada  semua sekte agama baik Islam (Sunni, Syi’i), Yahudi, Katholik maupun yang lainnya. Fundamentalisme agama disamping memiliki potensi besar terhadap gerakan revolusi juga memiliki potensi konflik antar agama bahkan intern agama. Hal ini terkait dengan doktrin agama yang mereka pahami dan adanya perbedaan yang tajam dalam memberikan penilaian terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan politik, ekonomi maupun sistem nilai. 
Huntington menjelaskan, bahwa benturan peradaban akan mewarnai dan mendominasi politik global. Menurutnya, identitas peradaban akan semakin penting pada masa akan datang dan dunia akan dibentuk dalam ukuran besar oleh interaksi di antara tujuh atau delapan peradaban utama: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia Ortodoks, Amerika Latin dan mungkin Afrika. Konflik yang paling penting pada masa akan datang terjadi di antara garis budaya yang memisahkan satu peradaban dengan yang lain. Beberapa negara yang lebih suka bergabung dengan Barat mengajukan westernisasi secara penuh, seperti Jepang, Rusia, negara-negara di Eropa Timur dan Amerika Latin. Sementara yang tidak tergabung dengan Barat adalah mereka menerima modernisasi tetapi menolak westernisasi.[24]  
Fuller mengatakan, bahwa benturan antar peradaban bukan antara Yesus Kristus, Konfusius atau Nabi Muhammad sebagaimana yang dipahami Huntington, tetapi bersifat ideologis. Kondisi yang mencerminkan dunia pasca runtuhnya komunis adalah dominasi (hegemoni) pandangan dunia Barat  dalam ruang lingkup ekonomi dan politik yang didasarkan pada tiga prinsip fundamental, yaitu: pertama, kapitalisme dan ekonomi pasar, kedua, hak-hak asasi manusia dan demokrasi sekuler-liberal, ketiga, negara kebangsaan sebagai kerangka bagi hubungan internasional. Fuller berharap munculnya sebuah ideologi di Dunia Ketiga yang menentang nilai-nilai Barat, jalan ideologi yang akan datang melawan Barat tergantung pada tipe para pemimpin yang muncul sebagai pembela kepentingan negara. Fuller menempatkan Cina, India, Iran, Mesir, Rusia termasuk Indonesia, Brazil dan Afrika Selatan di bagian depan daftar negara yang dipastikan memainkan peran utama dalam perjuangan ideologis melawan hegemoni Barat.[25]
Dikotomi Barat-Islam dewasa ini mencuat kembali
sebagai akibat dari persepsi yang timbul dari pembagian dunia pasca-Perang Dingin ke dalam Timur dan Barat. Dalam pencariannya terhadap lawan baru sejak akhir tahun 1980-an, Barat telah memilih untuk melawan Islam, dengan mengangkat kembali isu-isu politik, ekonomi dan sosial budaya sebagai pemicu konflik.
Hegemoni Barat terhadap Islam di Timur memang sudah sedemikian kuatnya, sehingga memasuki relung-relung kehidupan ekonomi, politik, budaya dan agama. Dalam pandangan fundamentalis Muslim, Amerika jauh dikhawatirkan ketimbang Uni Soviet (Rusia sekarang), karena pengaruh budaya dan ekonomi Amerika jauh melampaui Uni Soviet. Amerika juga menganggap ideologi kelompok fundamentalis Muslim merupakan tantangan yang membahayakan.
Dalam konteks ini, fundamentalisme Islam hanyalah satu jenis dari fenomena global dalam politik dunia. Fundamentalisme juga merupakan sebuah gejala ideologi tentang benturan peradaban, fundametalisme dengan agitasinya bukan sebuah solusi, malah mengarah pada kekacauan, karena ia terus-menerus mendorong konflik dan mempertajam fragmentasi dalam berbagai hal, politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok fundamentalisme hanya akan melahirkan kesengsaraan permanen pada level akar rumput, fundamentalisme Islam lebih merupakan ideologi politik dari pada fenomena yang murni agama.[26]

IV.         KESIMPULAN          
1.        Nasionalisme di dunia Islam lahir dan berkembang akibat kepentingan imprealisme dan kolonialisme abad ke 19 dan 20, hal ini secara tidak langsung telah menumbuhkan kesadaran politik, ekonomi, sosial dan budaya baru yang lebih rasional dalam berbangsa dan bernegara, kendati barat masih tetap menjadi kampium peradaban hingga hari ini.
2.        Memposisikan Islam dalam tantangan arus global sejatinya umat Islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon apalagi bersikap reaktif, harus lebih kritis dengan menelaah setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus globalisasi yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.
3.        Modernisasi dapat dimodifikasi bahkan dibongkar agar tidak bertentangan dengan hal-hal yang dianggap prinsip dalam Islam, menganggap barat tidak secara otomatis sebagai musuh, dan dalam waktu bersamaan tidak pula mengganggap barat sebagai kiblat dalam segalanya. Barat juga mengandung unsur kebaikan, sehingga harus diterima selama tidak menabrak prinsip agama Islam, dalam waktu bersamaan barat juga harus disikapi dengan kritis, bahkan dalam batas tertentu harus ditolak.
4.        Fundamentalisme agama disamping memiliki potensi besar terhadap gerakan revolusi juga memiliki potensi konflik antar agama bahkan intern agama. Hal ini terkait dengan doktrin agama yang mereka pahami dan adanya perbedaan yang tajam dalam memberikan penilaian terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan politik, ekonomi maupun sistem nilai.















                                                       










DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah : Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain Asy Syarifain Raja Fahd, 1412 H.).

Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009).

Pengantar Redaksi dalam buku Mahmud Hamdi Zaqzuq,  Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001).

Pengantar Sayyid Qutub dalam Abul Hasan Ali Nadwi, Islam dan Dunia, terj. Adang Affandi, (Bandung : Angkasa, 2008).
 
Abul Hasan Ali Nadwi, Islam dan Dunia, terj. Adang Affandi, (Bandung : Angkasa, 2008).

Mulyadhi Kartanegara sebuah pengantar dalam “ Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer,” (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007).

Erik Sabti Rahmawati dan Hadziq M. Khalil, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Penerbit Jendela, 2003).

Mahmud Hamdi Zaqzuq,  Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001).

Jhon L Esposito, Masa Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, (Bandung  :  Mizan Pustaka, 2010).

Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3IS, 1999).

Bassam Tibi,  Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, (Oxford: Westview Press, 1991).

Clifford Geertz, Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (New Haven : Yale University Press, 1968).

Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam, (Salt Lake City : University of Utah Press, 1988).

A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi,  (Yogyakarta :  Pustaka Pelajar, 2003).

Richard C. Martin, Islam and Religious Studies,  An Inroductory Essay,   dalam Richard C. Martin,. Approaches To Islam In Religious Studies, (The University of Arizona Press, 1985).

E. Marty dan Appelby, Fundamentalism and the State, (University of Chicago Press, 1991).

John L. Esposito, Dialektika Peradaba, Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, (Yogyakarta : Qalam, 2002).

Bassam Tibi,  The Challence of Fundamentalism,  political Islam and the New World Disorder, (University of California Press, 1998). 










[1].      Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 18-19.
[2].      Pengantar Redaksi dalam buku Mahmud Hamdi Zaqzuq,  Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. V.               
[3].      Pengantar Sayyid Qutub dalam Abul Hasan Ali Nadwi, Islam dan Dunia, terj. Adang Affandi, (Bandung : Angkasa, 2008), h. xi.  
[4].      Abul Hasan Ali Nadwi, Islam dan Dunia, terj. Adang Affandi, (Bandung : Angkasa, 2008), h. 86-87.
[5].      Abul Hasan Ali Nadwi, Op. Cit. 83.
[6].      Ajid Thohir, Op. Cit. 90.          
[7].      Abul Hasan Ali Nadwi, Op. Cit. 94-95.  
[8].      Ibid., h. 100-101.       
[9].      Ibid., h. 101.
[10].    Ajid Thohir, Op. Cit. 94.          
[11].    Ibid., h. 98.
[12].    Mahmud Hamdi Zaqzuq, Op. Cit. V. 
[13].    Mulyadhi Kartanegara sebuah pengantar dalam “ Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer,” (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007), h.  xii.
[14].    Erik Sabti Rahmawati dan Hadziq M. Khalil, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Penerbit Jendela, 2003), h. 50.
[15].    Mahmud Hamdi Zaqzuq,  Reposisi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 3.
[16].    Jhon L Esposito, Masa Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, (Bandung  :  Mizan Pustaka, 2010), h. 31.
[17].    Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3IS, 1999), h. 10.
[18].    Bassam Tibi,  Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, (Oxford: Westview Press, 1991), h. 8.
[19].    Clifford Geertz, Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (New Haven : Yale University Press, 1968), h. 3.
[20].    Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam, (Salt Lake City : University of Utah Press, 1988), h. 4.
[21].    A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi,  (Yogyakarta :  Pustaka Pelajar, 2003), h. 28.
[22].    Richard C. Martin, Islam and Religious Studies,  An Inroductory Essay,   dalam Richard C. Martin,. Approaches To Islam In Religious Studies, (The University of Arizona Press, 1985), h. 1.
[23].    E. Marty dan Appelby, Fundamentalism and the State, (University of Chicago Press, 1991).
[24].    John L. Esposito, Dialektika Peradaba, Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, (Yogyakarta : Qalam, 2002), h. 89.
[25].    Ibid., h. 90-91.
[26].    Bassam Tibi,  The Challence of Fundamentalism,  political Islam and the New World Disorder, (University of California Press, 1998), h. 18.