Selasa, 18 Februari 2014

EKSISTENSI DAN TANTANGAN PTAI



KAJIAN EKSISTENSI DAN TANTANGAN TRANSFORMASI PTAI
(IAIN MENJADI UIN)

BAB I : PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) baik sekolah tinggi, institut maupun universitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Karena itu Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, dan bahkan internasional. Sebab kalau tidak, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) akan ditinggalkan oleh masyarakat karena tidak akomodatif terhadap perubahan dan cepat menjadi usang.
Dalam konteks ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, kajian ulang terhadap Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) menjadi keniscayaan dan semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam dari kalangan masyarakat akademik, tetapi juga merata pada semua lapisan masyarakat dengan berbagai ragam latar belakang pendidikan, profesi dan tingkat kesejahteraan. Namun yang tak kalah penting dari semua itu adalah semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki kompetensi yang siap pakai, memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan.
Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), juga harus dilihat dalam konteks perubahan yang terjadi begitu cepat, masif dan kadang tanpa kompromi. Pengembangan tersebut baik pada ranah ideal-normatif-ideologis maupun pada ranah ideal-historis-sosiologis, sehingga Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) disamping mampu membumikan dan menunaikan pesan-pesam ilahiah juga mampu menjawab kebutuhan pragmatis masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) harus pula mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global.
Gagasan transformasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pertama kali dikemukakan Rektor IAIN Jakarta Periode 1973 - 1984 Prof. Dr. Harun Nasution. Namun, gagasan itu kandas lantaran terkendala aturan dan sumber daya manusia yang belum memadai. Lama tak terdengar, ide itu kembali mengemuka pada masa kepemimpinan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah periode 1992 - 1998 Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Berbagai persiapan dilakukan, hingga ide tersebut akhirnya terealisasi pada 20 Mei 2002, periode kepemimpinan Rektor Prof. Dr. Azyumardi Azra (1998-2006). Setelah berganti nama, infrastruktur segera dibangun dan arah pengembangan diperjelas yakni menjadi universitas riset dan universitas kelas dunia.[1] 
Lima Institut Agama Islam Negeri (IAIN) akan kembali bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Untuk itu, Kementerian Agama membentuk taskforce atau semacam satuan tugas yang akan mengawal proses transformasi IAIN menjadi UIN. Transformasi 6 IAIN ke Universitas Islam Negeri telah berjalan dengan baik dan sukses, bahwa sebelumnya Kementerian Agama merasa cukup dengan transformasi 6 UIN ini. Namun pada tahun 2011 kran transformasi kelembagaan dari IAIN ke UIN kembali dibuka karena hasil evaluasi selama ini telah menunjukkan perubahan dan perkembangan yang sangat signifikan.
Telah terjadi lompatan besar perubahan 6 PTAIN ke Universitas ini, sebagaimana diketahui, lompatan di UIN salah satunya bisa dilihat dari aspek penambahan jumlah mahasiswa, yang kenaikannya mencapai hampir 100% bahkan lebih. Data yang ada menunjukan bahwa mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai saat ini mencapai lebih dari 20.000. Padahal ketika masih IAIN, jumlah mahasiswa berada dalam kisaran 7.000 – 10.000. Indikator lainnya juga bisa dilihat dari kondisi perkembangan infrastrukturnya yang semuanya berubah 100%. Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Nur Syam menjelaskan bahwa bantuan dari Islamic Development Bank (IDB) sangat membantu perubahan fisik UIN di enam UIN. Selain itu, lima IAIN yang sekarang sedang mengajukan proses alih status juga mendapatkan suport dana dari IDB. Kelima IAIN yang mengajukan alih status ke UIN ini saat ini juga sedang melakukan pengembangan sarana prasarana yang dananya bersumberkan dari IDB.
Lima IAIN yang akan bertransformasi menjadi UIN adalah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, IAIN Sumatera Utara, IAIN Raden Fatah Palembang, IAIN Walisongo Semarang, dan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam rapat ini, diketahui bahwa dari lima yang mengajukan alih status ke UIN, baru 2 yang sudah mendapat rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua IAIN tersebut adalah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, adapun tiga IAIN lainnya, masih harus memenuhi kekurangan persyaratan.[2]
Makalah ini mencoba mengkaji eksistensi dan tantangan transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam perspektif ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

2.        Rumusan Masalah
a.         Bagaimana eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia ?
b.         Bagaimana sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia ?
c.         Bagaimana tantangan transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) ?
d.        Bagaimana kontroversi transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dari IAIN menjadi UIN ?

3.        Tujuan
a.         Untuk memahami eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
b.         Untuk mengetahui sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
c.         Untuk memahami secara utuh dan komprehensif tantangan transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
d.        Untuk mengetahui argumentasi pro – kontra transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dari IAIN menjadi UIN

















BAB II : PEMBAHASAN
1.        Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan termasuk didalamnya adalah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi.[3] Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan pelayanan pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
Paradigma baru Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesia menjadi kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari perumusan-perumusan yang berkembang dari waktu ke waktu itu. Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara komprehensif, yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan Perguruan Tinggi, bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh D.A. Tisna Amijaya. Sebelum memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, ia mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya:  
1.        produktivitas yang rendah,
2.        keterbatasan daya tampung,
3.        keterbatasan kemampuan berkembang,
4.        kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi,
5.        distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar:
1.        peningkatan produktivitas Perguruan Tinggi,
2.        peningkatan daya tampung,
3.        peningkatan pelayanan kepada masyarakat,
4.        peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek,
5.        peningkatan kemampuan berkembang.[4]
Rencana jangka panjang ini sejak semula memang disebut sebagai paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru ini pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan kembali peran negara dan Perguruan Tinggi, sehingga lebih memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk berkembang lebih baik. Paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengembangan mekanisme baru guna memperkuat Perguruan Tinggi, seperti perencanaan atas dasar prinsip desentralisasi, evaluasi berkelanjutan terhadap kualitas, dan lain-lain. Peranan negara mengalami perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah. Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang menetapkan segala ketentuan secara rinci atau mengontrol secara terpusat seluruh gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah memberikan kerangka dasar, memberikan insentif agar sumber daya manusia dan keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan Tinggi, dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.
Perumusan kembali paradigma baru Perguruan Tinggi pada tingkat nasional itu mendapatkan daya dorong dengan terjadinya krisis moneter, ekonomi, dan politik di Indonesia sejak akhir 1997. Krisis yang juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan pada seluruh jenjang, tidak terelakkan pula mendorong berkembangnya perluasan konsep paradigma baru Perguruan Tinggi, sehingga tercakup dalam konsep reformasi pendidikan nasional secara menyeluruh. seperti filosofi dan kebijakan pendidikan nasional, sistem pendidikan berbasis masyarakat, pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan, manajemen berbasis sekolah, implementasi paradigma baru Perguruan Tinggi dan sistem pembiayaan pendidikan.[5]
Untuk memperjelas visi dan aksi Perguruan Tinggi seperti dirumuskan UNESCO, sangat relevan dengan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, berikut beberapa bagian penting Deklarasi UNESCO:
1.        Misi dan fungsi Perguruan Tinggi, bahwa misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada pembangunan yang berkelanjutan dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Secara lebih spesifik adalah mendidik mahasiswa dan warganegara untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia dengan menawarkan kualifikasi yang relevan, termasuk pendidikan dan pelatihan profesional yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan keahlian tingkat tinggi melalui matakuliah yang terus dirancang, dievaluasi secara ajeg, dan terus dikembangkan untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dewasa ini dan masa datang.
2.        Memberikan berbagai kesempatan kepada para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan Tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewarganegaraan dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia, dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang membumi.
3.        Memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset dan memberikan keahlian yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi, mengembangkan penelitian dalam bidang sains dan teknologi, ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.
4.        Membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan, dan menyebarkan budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
5.        membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar kewarganegaraan yang demokratis.
6.        Memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk pelatihan para guru.[6]
Perguruan Tinggi harus menjadikan mahasiswa sebagai pusat atau orientasi dalam seluruh kegiatannya. Para pengambil kebijakan Perguruan Tinggi pada tingkat nasional dan institusional harus menjadikan para mahasiswa sebagai pusat dan memandang mereka sebagai mitra utama serta merupakan stakeholder yang paling penting dalam pembaharuan dan reformasi Perguruan Tinggi. Paradigma baru Perguruan Tinggi dalam konteks ini adalah pelibatan mahasiswa menyangkut hal-hal tentang tingkat pendidikan, evaluasi, renovasi metode pengajaran dan kurikulum dan bahkan dalam perumusan kerangka kerja institusional Perguruan Tinggi, kebijaksanaan dan manajemen Perguruan Tinggi. Lebih-lebih lagi karena mahasiswa memiliki hak untuk mengorganisasi dan mewakili diri mereka, maka keterlibatan mereka dalam hal-hal tersebut haruslah terjamin. Dalam konteks perumusan konsep pengembangan Perguruan Tinggi di Indonesia dapat mengacu pada rumusan Departemen Pendidikan Nasional:
1.        Kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi. Otonomi seluas-luasnya atau setidaknya otonomi lebih luas, otonomi bukan saja dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian Perguruan Tinggi dengan dunia kerja atau kebutuhan pasar. Dengan demikian Perguruan Tinggi berfungsi selain untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menguasai sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang tersebut melalui penelitian dan pengembangan.
2.        Akuntabilitas, bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak hanya kepada pemerintah sebagai pembina pendidikan atau pemberi sumber dana dan sumber daya lainnya, tetapi juga kepada masyarakat dan stake holder lainnya yang memakai dan memanfaatkan lulusan Perguruan Tinggi dan hasil pengembangan berbagai bidang ilmunya. Karena itu, di sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi, dan masyarakat luas.
3.        Jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan, dan evaluasi eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional (BAN). BAN harus meningkatkan fungsinya dengan menentukan standar-standar yang lebih fleksibel dan dinamis atau tidak kaku, sehingga tetap memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan dan kebutuhan dunia kerja, juga harus melibatkan lebih banyak unsur stakeholder dalam organisasinya, sehingga memungkinkan terjadinya penilaian dan pengakuan yang sesungguhnya dari masyarakat, yang sangat berkepentingan dengan hasil-hasil Perguruan Tinggi.[7]

Sesuai dengan semangat paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya otonomisasi dan visi pengembangan. Kerangka pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) disamping didasarkan pada misi ilahiah untuk membumikan nilai-nilai ke-Islama di Indonesia juga harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kondisi dan situasi yang mengitarinya. Ada beberapa masalah mendasar yang dihadapi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia dalam perkembangannya selama ini. Beberapa masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan.     
2.        Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) belum mampu merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialiasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) kurang mengalami interaksi dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis. Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif, sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat mengarahkan mahasiswa kepada cara berfikir dan pendekatan yang lebih empiris dan kontekstual nampaknya masih belum memadai.[8]
Perguruan Tinggi Islam dijadikan sebagai wadah dalam memberdayakan umat Islam dalam aspek kehidupan mereka, aspek kehidupan lebih luas dari yang kita pahami apalagi hanya sebatas pada pendidikan Islam sebagai membina generasi yang ahli agama. Dalam sejarahnya, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) merupakan upaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat akan pendidikan tinggi Islam, bukan hanya sekedar akomodasi penguasa atas kelompok Islam, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) diharapkan mampu mewadahi kebutuhan, peran dan keberadaan masyarakat muslim dalam berbagai aspek kehidupan yang beragam. Perubahan sosial, ekonomi, politik, pemahaman keagamaan, pergeseran nilai dan pola hidup yang dinamis terus berkembang secara masif sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) untuk menjawab perubahan tersebut. seperti pengembangan Fakultas Agama Islam menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Kemudian harapan masyarakat lainnya mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) untuk mendidik pegawai negeri dilingkungan kementrian agama agar menjadi ahli agama.[9] Hingga akhirnya penyatuan antara STAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berkedudukan di Yogyakarta.
Tantangan baru IAIN menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang mampu menjawab tantangan global, menghadapi masyarakat yang semakin kompleks, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, menuntut IAIN kembali untuk menterjemahkan tantangan dan peluang tersebut, ide dan gagasan transformasi IAIN menjadi UIN akan membutuhkan perjuangan yang sangat berat, akan menghadapi pro kontra di masyarakat. Berangkat dari berbagai permasalahan yang dihadapi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) seperti berkurangnya minat masyarakat untuk memasukkan anaknya di program keagamaan, pola hidup masyarakat yang mengarah kepada kebutuhan ekonomi dan kerja, lulusan-lulusan program agama dianggap belum mampu bersaing dalam dunia kerja dan berbagai permasahan lainnya. Untuk menjawab perubahan masyarakat global, dunia kerja dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) harus pula merubah orientasi dan visi pengembangan keilmuan serta mampu menangkap peluang kekinian, Gagasan IAIN untuk menjadi UIN adalah awal untuk menjadikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mampu bersaing di era global.

2.    Sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Dalam catatan sejarah, gagasan pendirian lembaga pendidikan Islam telah dimiliki umat Islam sejak zaman Belanda. Diawali oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo dengan mendirikan Pesantren Luhur tahun 1938 namun akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Tahun 1940 Persatuan Guru Agama Islam di Padang mendirikan Sekolah Islam Tinggi di Sumatera Barat dan bertahan sampai 1942. Beberapa tokoh nasional seperti M. Hatta, M. Natsir, K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansur juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta Tahun 1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar.[10] Masa revolusi kemerdekaan STI pindah ke Jogjakarta karena ibu kota pindah ke sana sampai tahun 1948 yang akhirnya berganti nama menjadi Universitas Islam Indoneisa (UII) dengan empat fakultas yakni hukum, agama, ekonomi dan pendidikan.[11]
Berdirinya Sekolah Tinggi Islam juga tidak terlepas dari kebijakan politik atas dua kelompok besar yakni nasionalis dan kelompok Islam. Jamhari menjelaskan bahwa sebagai upaya memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan umat Islam atau mengakomodasi umat, pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dari Fakultas Agama di UII Yogyakarta dijadikan statusnya dengan nama PTAIN bertempat di Jojakarta dan sesuai dengan PP nomor 3 tahun 1950. Ini juga nantinyya jadi cikal bakal IAIN. Dalam perjalanan selanjutnya, sebagai upaya institusionalisasi pendidikan Islam dan mempersiapkan guru, tokoh dan pimpinan agama mendirikan pula ADIA di Jakarta. Ini didirikan sesuai dengan Penetapan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1950. Dengan Dekan pertama adalah Mahmud Yunus dan Bustami A. Gani sebagai wakilnya.[12]
Akademi Dinas Ilmu Agama didirikan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri agar mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik Agama pada sekolah-sekolah lanjutan (umum/kejuruan/Agama).[13]
Upaya pemerintah dalam mengintegrasikan sistem perguruan tinggi Islam dan peningkatan mutu pendidikan terwujud dalam penyatuan PTAIN dengan ADIA menjadi satu institusi yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Upaya ini terlaksana setelah Presiden RI mengeluarkan PP. No. 11 Tahun 1960. Pembentukan ini juga mulai berlaku resmi pada tanggal 9 Mei 1960. Dalam peraturan pemerintah tersebut juga menjelasnya tetang tujuan adanya IAIN adalah untuk memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan pemerintah dan masyarakat. Secara formal IAIN diresmikan tanggal 24 Agustus 1960 berdasarkan atas Penetapan Menteri Agama No. 35 tahun 1960, berkedudukan di Jogjakarta dan Prof. Mr. R.H.A Soenarjo sebagai Rektor, Wasil Aziz sebagai Sekretaris Senat, Prof. T.A. Hasby Ash Shiddieqy sebagai Dekan fakultas Syari’ah, Prof. Dr. Muchtar Yunus sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, Mahmud Yunus sebagai Dekan Tarbiyah, Bustami A. Gani sebagai Dekan Fakultas Adab.[14] 
Lahirnya Institut Agama Islam Negeri yang berpusat di Jogjakarta dan Fakultas Tarbiyah bertempat di Jakarta belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan akan pendidikan Islam bagi masyarakat nusantara yang notabene muslim. Hingga dibukalah cabang-cabang keilmuan Islam di daerah-daerah luar Jogjakarta dan Jakarta. Namun, semakin besar tuntutan pemenuhan umat Islam, ternyata tidak cukup dengan membuka cabang. Perlunya ada IAIN yang berdiri sendiri di daerah. Sebagai upaya merespon kebutuhan umat Islam akan pendirian IAIN di daerah, lahirlah Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1963 yang memberi kesempatan untuk mendirikan IAIN dan terpisah dari pusat. Jakarta mendapat kesempatan pertama untuk mendirikan IAIN. Sehingga IAIN Jakarta adalah yang kedua setelah IAIN Jogjakarta.[15]    
Dalam perjalanan itu pula, berdiri IAIN  Ar-Raniry Banda Aceh tanggal 5 Oktober tahun 1964, IAIN Raden Fatah tanggal 22 Oktober 1963, IAIN Antasari Banjarmasin tanggal 22 November 1964, IAIN Sunan Ampel Surabaya tanggal 6 Juli 1965, IAIN Alaudin Ujung pandang 28 Oktober 1965, IAIN Imam Bonjol Padang 21 November 1966, IAIN Sultan Thaha Syaefuddin Jambi tahun 1967. Memasuki orde baru, pemerintah melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh Islam dan daerah-daerah yang memiliki semangat mendirikan IAIN. Fakultas yang masih merupakan cabang dari IAIN pusat dipromosikan menjadi IAIN sendiri, di sini termasuk IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 28 Maret 1968, IAIN Raden Intan Lampung tanggal 28 Oktober 1968, IAIN Wali Songo Semarang tanggal 1 April 1970 dan IAIN Sultan Syarif Qosim Sumatera Utara tanggal 19 November 1973.[16]
Selama satu dekade, jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak. Mahasiswa itu tidak hanya datang dari seluruh tanah air, tetapi juga dari negara tetangga, terutama Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu, dan pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960 Presiden mengeluarkan PP. No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA dengan nama baru, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak saat itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi dalam bidang Islam. Hingga saat ini terdapat 14 IAIN dan 35 STAIN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.[17]

3.        Transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dari IAIN menjadi UIN
Sejarah panjang perguruan tinggi Islam di Indonesia, dari masa awal pendirian Sekolah Tinggi Islam, Universitas Islam Indonesia, kemudian yang tadinya fakultas agama di UII dinaikkan statusya menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam, diikuti pendirian Akademi Dinas Ilmu Agama sampai pada penyatuan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN. Munculnya gagasan transformasi IAIN menjadi UIN adalah berangkat dari beberapa alasan sebagai berikut:
1.        dengan bentuk institut, ruang lingkup hanya sebatas keilmuan dan pengkajian ke-Islaman saja.
2.        wawasan mahasiswa dan dosen IAIN terbatas, berbeda halnya dengan universitas umum, pengkajian Islam seolah terputus dari persoalan kontemporer yang aktual.
Transformasi lembaga tersebut menjadi harapan yang harus diwujudkan, agar kedua alasan tersebut dapat diselesaikan. Gagasan tersebut bukan berarti langsung terwujud, karena tetap saja harus melalui berbagai persyaratan, kesiapan pemenuhan kebutuhan IAIN menjadi UIN dalam berbagai aspek, misalnya kegiatan akademis akan lebih besar pengelolaannya, lahan yang harus diperluas, kebutuhan tenaga dosen dan pegawai administrasi dan berbagai persiapan lainnya. Sampai awal 1998, terdapat tiga IAIN yang mengajukan proposal yakni IAIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung.[18]
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN:
1.        Perubahan pada jenis pendidikan Madrasah Aliyah. Dulunya Madrasah adalah sekolah agama, kini madrasah sudah menjadi bagian dari sekolah umum atau sekolah yang berciri khas Islam. Di madrasah sudah terdapat mata pelajaran umum yang dimuat dalam kurikulumnya. Misalnya eksakta, sosial, bahasa dan fisika. Di samping itu konversi ini juga untuk menyambut tamatan sekolah menengah umum dapat masuk IAIN apabila telah menjadi UIN, karena dapat menyediakan jurusan dan fakultas umum. Perubahan ini juga merupakan misi untuk pemberdayaan masyarakat/umat di masa depan.
2.        Adanya dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Masalah dikotomi ini solusinya adalah program integrasi ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan anggapan bahwa kalau IAIN hanya menyelenggarakan ilmu-ilmu agama, ini akan melestarikan dikotomi tersebut. Maka dengan ini IAIN harus menjadi UIN untuk dapat mendirikan fakultas-fakultas umum.
3.        Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan peluang bagi para lulusan untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas. Selama ini, arah lulusan IAIN adalah lembaga pendidikan Islam, kegiatan kegiatan keagamaan, dakwah dan pada tataran departemen agama. Maka dengan perubahan menjadi UIN akan lebih meluas lingkup kerja dan eksistensi lulusan IAIN.[19] Dengan perubahan menjadi UIN juga sebagai upaya konvergensi ilmu umum dan agama, seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution bahwa perubahan IAIN menjadi universitas dirancang untuk menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan.[20]
4.        Perubahan IAIN menjadi UIN adalah dalam rangka memberikan peluang bagi lulusan IAIN untk melakukan mobilitas vertikal. Yakni kesempatan gerak dan peran serta memasuki medan yang lebih luas. Lulusan IAIN akan memasuki wilayah dan lingkungan yang lebih luas, bervariasi dan bergengsi. Perubahan ini juga ingin kembali menaruh harapan umat Islam menjadi pelopor peradaban manusia yang dulu pernah dicapai Islam zaman klasik.
5.        Perubahan IAIN menjadi UIN juga merupakan tuntutan akan penyelenggaraan pendidikan yang profesional, berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan. Apalagi dengan arus globalisasi yang melahirkan lingkungan persaingan dan kompetisi. Sehingga IAIN menjadi UIN merupakan bagian dari upaya menghadapi tantangan dan menangkap peluang.[21]
Pengembangan IAIN menjadi UIN akan merambah empat wilayah yang harus dijawab yaitu: Pertama, bidang keilmuan yang menuntut upaya serius para sarjana di lingkungan IAIN untuk menghilangkan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Kedua, bidang kelembagaan yang mengharuskan IAIN untuk memikirkan kembali, apakah lembaga ini menjadi otonom atau harus tetap mengekor pada Kementerian Agama. Ketiga, persoalan anggaran keuangan. Sejauh ini, IAIN masih bertahan dengan biaya pendidikan dari Kementerian Agama dan SPP mahasiswa. Tentu saja, biaya ini masih kurang jika nantinya berubah menjadi UIN. Keempat, masalah lapangan pekerjaan. Lulusan IAIN memang sudah mulai diperhitungkan. Namun demikian, hal tersebut dipicu oleh maraknya lulusan IAIN yang berani loncat pagar dari keilmuan mereka.[22]
Dari keempat tantangan di atas, tentu saja menuntut keseriusan semua pihak untuk memikirkan nasib UIN. Karena itu, mitra sejajar antara pimpinan, dosen, dan mahasiswa harus dibangun mulai sekarang. Dengan begitu, ketika ada tantangan-tantangan di atas, bukan lagi persoalan masing-masing pihak, namun persoalan semua pihak. Jadi, siapapun civitas akademika boleh memberikan idenya untuk memikirkan nasib IAIN menuju UIN.[23]
Pengembangan dan Konversi IAIN ke UIN adalah proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Konversi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan luka-luka dikotomi keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[24]

4.    Pro – Kontra Transformasi IAIN menjadi UIN
Gagasan menuju universitas bukan tidak menghadapi tantangan ataupun pro kontra di kalangan muslim maupun para tokoh Islam. Tantangan permasalahan bukan tidak ada, akan tetapi semenjak ide perubahan lembaga tersebut disuarakan banyak menuai kritikan dan pertanyaan, ada beberapa permasalahan yang muncul baik itu terkait dengan legal formal, kelembagaan, filosofis, histori, psikologis dan bahkan politis.[25]
Bahwa dari segi legalitas, penambahan fakultas-fakultas umum atau non agama akan terbentur dengan PP. No. 60 Tahun 1999, ada yang ditekankan dalam peraturan tersebut, yakni institut adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dalam satu kelompok bidang studi tertentu, seperti kelompok bidang studi agama saja, hukum saja, pertanian saja dan seterusnya. Masalah berikutnya adalah kelembagaan, setelah perubahan IAIN menjadi Universitas apakah kelembagaannya berada di bawah naungan departemen Agama atau berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Persoalan lain yang muncul adalah latar belakang filosofis-historis. Di mana IAIN memiliki akar filosofis visi dakwah dan pengkajian ke-Islaman. Adanya kekhawatiran tokoh Islam akan dihapuskannya hasil perjuangan pendahulu mereka atas IAIN. Sisi lain juga ada masalah yang timbul dengan perubahan IAIN menjadi UIN yakni masalah yang bersifat politik. Di mana berdirinya IAIN tidak terlepas dari bentuk akomodasi dan penghargaan pemerintah atas peran dan kontribusi umat Islam dalam perjuangan bangsa ini.[26]
Beberapa tokoh lain menanggapi secara beragam ketika ide IAIN menjadi UIN. Misalnya saja mantan menteri Agama Munawir Syazali. Menurutnya pendirian IAIN adalah untuk menciptakan sarjana Agama. Maka apabila ada perubahan lembaga, ia tidak tahu apa arah perubahan tersebut. Bila alasan Islamisasi ilmu, bukannya ilmu pengetahun bersifat netral, karenanya tidak perlu Islamisasi. Munawir Syazali juga mempertanyakan apakah setelah perubahan lembaga tersebut menghasilkan output yang semakin baik. Ia juga membandingkan kualitas mahasiswa IAIN juga masih kurang.[27]
Selain itu juga gagasan transformasi tersebut dikomentari senada oleh KH. Ma’ruf Amien, Ketua Syuriah PBNU. Ia juga tidak setuju dengan adanya perubahan IAIN menjadi UIN, menurutnya IAIN tetap saja fokus pada pendidikan khusus masalah agama. Lain halnya pendapat yang di sampaikan oleh Din Syamsuddin dan Tutti Alawiyah bahwa IAIN sudah waktunya berubah menjadi UIN, karena untuk menangkap tantangan dan peluang di masa yang akan datang.[28] Dalam perjalanannya, transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam dalam hal ini IAIN menjadi Universitas juga tidak dapat dihindari, apalagi setelah berhasilnya IAIN Jakarta dan Jogjakarta menjadi UIN. Disusul dengan IAIN di daerah lain. Seperti UIN Bandung, UIN Malang, UIN Alaudin Makasar.
Perubahan tersebut juga tidak terlepas dari harapan untuk menjawab tantangan dan peluang yang dihadapi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Beberapa tanggapan di atas dan permasalahan di atas, setidaknya dapat diatasi apabila setiap IAIN memilki kesungguhan dan itikad baik untuk menjawab perubahan tersebut. Perubahan menjadi UIN adalah salah satunya untuk memperluas peluang dan kesempatan lulusan UIN dalam dunia global. Dalam aspek keilmuan, bahwa sudah pantas kalau perubahan UIN adalah upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, integrasi ilmu umum dan agama. Ditambahkan oleh Din Syamsudin bahwa, dengan perubahan menjadi UIN adalah upaya Perguruan Tinggi Islam dalam mengintegrasikan nilai Islam dan etika dalam ilmu pengetahuan.[29]
Namun demikian, ada satu hal yang tentu tidak boleh dilupakan oleh  UIN, IAIN dan STAIN sebagai institusi pendidikan tinggi yaitu menjadi pusat pengembangan ilmu keislaman. UIN, IAIN dan STAIN juga tidak boleh melupakan misi utama institusi ini sebagai pengembang ilmu keislaman dalam keadaan apapun atau ketika ada perubahan apapun secara institusional, maka misi utama ini harus tetap diutamakan. Dalam proses pengembangan IAIN ke UIN menunjukkan adanya proses dinamika pemikiran Islam di Indonesia yang tidak pernah terkelupas dari perkembangan sosial politik yang mendasarinya.[30] IAIN menuju UIN merupakan langkah maju yang perlu diperjuangkan, dengan institusi semacam universitas, Perguruan Tinggi Agama Islam dapat lebih mengembangkan diri terutama dalam pembenahan kurikulum, kegiatan eksra kurikuler, manajemen, jaringan dan modal fisik yang berdampak pada mutu lulusan.
UIN Malang mendesain pengembangan ilmu ke-Islaman yang diberi label Pohon Ilmu, sedangkan UIN Jogyakarta mengembangan kajian ilmu ke-Islaman yang bercorak integrasi dan interkoneksi yang diberi label Jaring Laba-Laba, IAIN Sunan Ampel membuat rancangan pengembangan ilmu ke-Islaman multidisipliner yang dilabeli Twin Towers, yaitu pengembangan ilmu ke-Islaman yang saling menyapa dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahkan sains.


               
























BAB III : KESIMPULAN
1.        Sesuai dengan semangat paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, yaitu otonomisasi pendidikan dan visi pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam disamping didasarkan pada misi ilahiah untuk membumikan nilai-nilai ke-Islaman di Indonesia juga harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kondisi dan situasi yang mengitarinya, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksitas kehidupan masyarakat dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya, sehingga siap berkompetisi di era global.
2.        Beberapa tokoh nasional, M. Hatta, M. Natsir, K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansur mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta Tahun 1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar, kemudian STI pindah ke Jogjakarta karena ibu kota pindah ke sana sampai tahun 1948 yang akhirnya berganti nama menjadi Universitas Islam Indoneisa (UII). Dalam rangka mengakomodir kebutuhan umat Islam, pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dari Fakultas Agama UII Yogyakarta dinaikkan statusnya dengan nama PTAIN bertempat di Jojakarta, seterusnya penyatuan PTAIN dengan ADIA menjadi satu institusi yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN), pada akhirnya kemudian muncul gagasan transformasi IAIN menjadi UIN.
3.        Transformasi IAIN menjadi UIN adalah proyek keilmuan, pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Transformasi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk membangun konsep dan mengimplementasikan integrasi ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada lagi dikotomi keilmuan umum dan agama.
4.        Pro-kontra terhadap ide dan gagasan trnsformasi IAIN menjadi UIN terjadi di kalangan umat Islam, para tokoh Islam bahkan juga dari internal kampus itu sendiri. Tantangan permasalahan bukan tidak ada, akan tetapi semenjak ide perubahan lembaga tersebut disuarakan banyak menuai kritikan dan pertanyaan, ada beberapa permasalahan yang muncul baik itu terkait dengan legal formal, kelembagaan, filosofis, histori, psikologis dan bahkan politis.





DAFTAR PUSTAKA



Lihat, UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century : Vision and Action (Paris: UNESCO, 1998).

D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta : Dirjen Dikti, 1976).

Santoso S. Hamidjojo et al., Platform Reformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998).

A. Malik Fadjar et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam, 1999).

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).

Task Force Pendidikan Tinggi, Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan Tinggi, (Jakarta: Dirjen Dikti, 1999).

IAIN Jakarta, Proposal Pembentukan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998).

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008).

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2010).

Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2002).

Husni Rahim, IAIN dan Masa depan Islam Indonesia, dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm dikutip tanggal 5 Desember 2012 pukul 16.38.

Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001).

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010).

Kusmana dan Yudi Munadi , Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002).

Akh. Minhaji & Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (Jogjakarta: ARRUZZ, 2003).

Amin Abdullah dkk., Islamic Studies : Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta : SUKA Press, 2007).

Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam (Jakarta: TERAJU, 2002).




       [1]http://hanifmahfuds.wordpress.com/2012/02/08/ide-perubahan-iain-menjadi-uin-jakarta-dari-harun-nasution-hingga-azyumardi-azra/
       [2]http://kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=151614 Kamis, 18 Juli 2013
       [3]Lihat, UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century : Vision and Action (Paris: UNESCO, 1998)
       [4]D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta : Dirjen Dikti, 1976)
       [5]Santoso S. Hamidjojo et al., Platform Reformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998),  dan A. Malik Fadjar et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam, 1999)
       [6]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos, 1999).

       [7]Task Force Pendidikan Tinggi, Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan Tinggi, (Jakarta : Dirjen Dikti, 1999)
       [8]IAIN Jakarta, Proposal Pembentukan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998)
       [9]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008), h. 447
       [10]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), h 314-315
       [11]Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2002), h.13
       [12]Ibid., h. 13-14
       [13]Mahmud Yunus, Lok. Cit., h. 447
       [14]Abuddin Nata (et.al.), Op. Cit., h. 14-17
       [15]Ibid., h. 18
       [16]Ibid., h. 18
       [17]Husni Rahim, IAIN dan Masa depan Islam Indonesia, dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm dikutip tanggal 5 Desember 2012 pukul 16.38.
       [18]Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 246-247
       [19]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 5, h. 56-59
       [20]Kusmana dan Yudi Munadi , Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002), h. 28
       [21]Abuddin Nata, Op. Cit., h. 60
       [22]Akh. Minhaji & Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (Jogjakarta: ARRUZZ, 2003), h. 6-9
       [23]Ibid., h. 9
       [24]Amin Abdullah dkk., Islamic Studies : Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta : SUKA Press, 2007), h. 33
       [25]Ibid., h. 62
       [26]Ibid., h. 64
       [27]Kusmana dan Yudhi Munadi, Op. Cit., h. 20
       [28]Ibid., h. 21
       [29]Ibid., h. 22
       [30]Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam (Jakarta: TERAJU, 2002), h. 140