KAJIAN
EKSISTENSI DAN TANTANGAN TRANSFORMASI PTAI
(IAIN MENJADI
UIN)
BAB I : PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) baik sekolah tinggi, institut maupun universitas
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Karena
itu Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) secara keseluruhan juga tidak bisa
mengisolasikan diri dari perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru
pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, dan bahkan
internasional. Sebab kalau tidak, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) akan
ditinggalkan oleh masyarakat karena tidak akomodatif terhadap perubahan dan
cepat menjadi usang.
Dalam
konteks ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, kajian ulang terhadap Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI) menjadi keniscayaan dan semakin menemukan momentumnya dengan
terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial.
Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam dari kalangan masyarakat
akademik, tetapi juga merata pada semua lapisan masyarakat dengan berbagai
ragam latar belakang pendidikan, profesi dan tingkat kesejahteraan. Namun yang
tak kalah penting dari semua itu adalah semakin merosotnya efektivitas dan
efisiensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam menghasilkan mahasiswa dan
lulusan yang memiliki kompetensi yang siap pakai, memiliki daya saing yang
andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan.
Pengembangan
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), juga harus dilihat dalam konteks perubahan
yang terjadi begitu cepat, masif dan kadang
tanpa kompromi. Pengembangan tersebut baik pada ranah ideal-normatif-ideologis maupun
pada ranah ideal-historis-sosiologis, sehingga Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) disamping mampu membumikan dan menunaikan pesan-pesam ilahiah juga mampu
menjawab kebutuhan pragmatis masyarakat.
Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) harus pula
mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional
dan global.
Gagasan transformasi IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pertama kali
dikemukakan Rektor IAIN Jakarta Periode 1973 - 1984 Prof. Dr. Harun Nasution.
Namun, gagasan itu kandas lantaran terkendala aturan dan sumber daya manusia
yang belum memadai. Lama tak terdengar, ide itu kembali mengemuka pada masa
kepemimpinan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah periode 1992 - 1998 Prof. Dr. M.
Quraish Shihab. Berbagai persiapan dilakukan, hingga ide tersebut akhirnya
terealisasi pada 20 Mei 2002, periode kepemimpinan Rektor Prof. Dr. Azyumardi
Azra (1998-2006). Setelah berganti nama, infrastruktur segera dibangun dan arah
pengembangan diperjelas yakni menjadi universitas riset dan universitas kelas
dunia.[1]
Lima Institut Agama Islam Negeri (IAIN) akan kembali bertransformasi menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN). Untuk itu, Kementerian Agama membentuk
taskforce atau semacam satuan tugas yang akan mengawal proses transformasi IAIN menjadi UIN. Transformasi 6 IAIN ke Universitas Islam Negeri telah berjalan dengan baik
dan sukses, bahwa sebelumnya Kementerian Agama merasa cukup dengan transformasi
6 UIN ini. Namun pada tahun 2011 kran transformasi
kelembagaan dari IAIN ke UIN
kembali dibuka karena hasil evaluasi selama ini telah menunjukkan perubahan dan
perkembangan yang sangat signifikan.
Telah terjadi lompatan besar perubahan 6 PTAIN ke Universitas ini, sebagaimana diketahui, lompatan di UIN salah satunya bisa dilihat dari aspek penambahan jumlah
mahasiswa, yang kenaikannya mencapai hampir 100% bahkan lebih. Data yang ada
menunjukan bahwa mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sampai saat ini mencapai lebih dari 20.000. Padahal ketika masih IAIN, jumlah mahasiswa berada dalam kisaran 7.000 – 10.000. Indikator
lainnya juga bisa dilihat dari kondisi perkembangan infrastrukturnya yang
semuanya berubah 100%. Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Nur Syam menjelaskan
bahwa bantuan dari Islamic Development Bank (IDB)
sangat membantu perubahan fisik UIN di enam UIN. Selain itu, lima IAIN yang
sekarang sedang mengajukan proses alih status juga mendapatkan suport dana dari
IDB. Kelima IAIN yang
mengajukan alih status ke UIN ini saat ini juga sedang
melakukan pengembangan sarana prasarana yang dananya bersumberkan dari IDB.
Lima IAIN yang akan
bertransformasi menjadi UIN adalah IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, IAIN Sumatera Utara, IAIN Raden Fatah Palembang, IAIN
Walisongo Semarang, dan IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Dalam rapat ini, diketahui bahwa dari lima yang mengajukan alih status ke UIN, baru 2 yang sudah mendapat rekomendasi dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua IAIN tersebut adalah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, adapun tiga IAIN lainnya, masih
harus memenuhi kekurangan persyaratan.[2]
Makalah
ini mencoba mengkaji eksistensi dan tantangan transformasi Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI) dalam perspektif ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
di Indonesia ?
b.
Bagaimana sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
di Indonesia ?
c.
Bagaimana tantangan
transformasi Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) ?
d.
Bagaimana kontroversi
transformasi Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) dari IAIN menjadi UIN ?
3.
Tujuan
a.
Untuk memahami eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
di Indonesia
b.
Untuk mengetahui sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
di Indonesia
c.
Untuk memahami secara
utuh dan komprehensif tantangan transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
di Indonesia
d.
Untuk mengetahui
argumentasi pro – kontra transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dari IAIN
menjadi UIN
BAB II : PEMBAHASAN
1.
Eksistensi Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global maka
konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah
keharusan termasuk didalamnya adalah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Dalam dunia yang tengah berubah
sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru
Perguruan Tinggi.[3]
Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang
mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel.
Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang
lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan pelayanan pendidikan, metode, dan penyampaian
pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat
dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
Paradigma baru Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesia menjadi
kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari
pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada
tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa
melepaskan diri dari perumusan-perumusan yang berkembang dari waktu ke waktu
itu. Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara
komprehensif, yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan
Perguruan Tinggi, bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh
D.A. Tisna Amijaya. Sebelum
memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, ia
mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya:
1.
produktivitas yang rendah,
2.
keterbatasan daya tampung,
3.
keterbatasan kemampuan berkembang,
4.
kepincangan di antara berbagai
Perguruan Tinggi,
5.
distribusi yang tidak seimbang dalam
bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara
ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta.
Untuk mengatasi
berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar:
1.
peningkatan produktivitas Perguruan Tinggi,
2.
peningkatan daya tampung,
3.
peningkatan pelayanan kepada masyarakat,
4.
peningkatan bidang keilmuan eksakta
atau iptek,
5.
peningkatan kemampuan berkembang.[4]
Rencana
jangka panjang ini sejak semula memang disebut sebagai paradigma baru Perguruan
Tinggi. Paradigma baru ini pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan kembali
peran negara dan Perguruan Tinggi, sehingga lebih memungkinkan bagi Perguruan
Tinggi untuk berkembang lebih baik. Paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk
memberi panduan bagi pengembangan mekanisme baru guna memperkuat Perguruan
Tinggi, seperti perencanaan atas dasar prinsip desentralisasi, evaluasi
berkelanjutan terhadap kualitas, dan lain-lain. Peranan negara mengalami perubahan
yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah. Pemerintah secara
konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang menetapkan
segala ketentuan secara rinci atau mengontrol secara terpusat seluruh gerak dan
dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah memberikan
kerangka dasar,
memberikan insentif agar sumber daya manusia dan keuangan dapat dialokasikan
kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan Tinggi, dan mendorong setiap Perguruan
Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.
Perumusan
kembali paradigma baru Perguruan Tinggi pada tingkat nasional itu mendapatkan
daya dorong dengan terjadinya krisis moneter, ekonomi, dan politik di Indonesia
sejak akhir 1997. Krisis yang juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan pada
seluruh jenjang, tidak terelakkan pula mendorong berkembangnya perluasan
konsep paradigma baru Perguruan Tinggi, sehingga tercakup dalam konsep
reformasi pendidikan nasional secara menyeluruh. seperti filosofi dan kebijakan
pendidikan nasional, sistem pendidikan berbasis masyarakat, pemberdayaan guru dan tenaga
kependidikan,
manajemen berbasis sekolah, implementasi paradigma baru Perguruan Tinggi dan sistem
pembiayaan pendidikan.[5]
Untuk memperjelas visi dan aksi Perguruan Tinggi seperti dirumuskan UNESCO,
sangat relevan dengan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, berikut beberapa
bagian penting Deklarasi UNESCO:
1.
Misi dan fungsi Perguruan Tinggi, bahwa
misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada
pembangunan yang berkelanjutan dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Secara
lebih spesifik adalah mendidik mahasiswa dan warganegara untuk memenuhi
kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia dengan menawarkan kualifikasi yang
relevan, termasuk pendidikan dan pelatihan profesional yang mengkombinasikan
ilmu pengetahuan dan keahlian tingkat tinggi melalui matakuliah yang terus
dirancang, dievaluasi secara ajeg, dan terus dikembangkan untuk menjawab
berbagai kebutuhan masyarakat dewasa ini dan masa datang.
2.
Memberikan berbagai kesempatan kepada
para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan
Tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah
pilihan yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari
sistem pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan
bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewarganegaraan dan bagi partisipasi aktif dalam
masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia, dan
sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang membumi.
3.
Memajukan, menciptakan dan
menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset dan memberikan keahlian yang relevan
untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi, mengembangkan penelitian dalam
bidang sains
dan teknologi, ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.
4.
Membantu untuk memahami, menafsirkan,
memelihara, memperkuat, mengembangkan, dan menyebarkan budaya historis
nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
5.
membantu untuk melindungi dan
memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda
nilai-nilai yang membentuk dasar kewarganegaraan yang demokratis.
6.
Memberikan kontribusi kepada
pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk
pelatihan para guru.[6]
Perguruan
Tinggi harus menjadikan mahasiswa sebagai pusat
atau orientasi dalam seluruh kegiatannya. Para pengambil kebijakan Perguruan
Tinggi pada tingkat nasional dan institusional harus menjadikan para mahasiswa
sebagai pusat dan memandang mereka sebagai mitra utama serta merupakan stakeholder yang paling
penting dalam pembaharuan dan reformasi Perguruan Tinggi. Paradigma baru
Perguruan Tinggi dalam konteks ini adalah pelibatan mahasiswa menyangkut
hal-hal tentang tingkat pendidikan, evaluasi, renovasi metode pengajaran dan
kurikulum dan bahkan dalam perumusan kerangka kerja institusional Perguruan
Tinggi, kebijaksanaan dan manajemen Perguruan Tinggi. Lebih-lebih lagi karena
mahasiswa memiliki hak untuk mengorganisasi dan mewakili diri mereka, maka
keterlibatan mereka dalam hal-hal tersebut haruslah terjamin. Dalam konteks
perumusan konsep pengembangan Perguruan Tinggi di Indonesia dapat mengacu pada
rumusan Departemen Pendidikan Nasional:
1.
Kemandirian lebih besar dalam
pengelolaan atau otonomi. Otonomi seluas-luasnya atau setidaknya otonomi lebih luas, otonomi bukan saja dalam hal
pengelolaan secara manajerial, tetapi juga dalam hal penentuan atau pemilihan
kurikulum dalam rangka penyesuaian Perguruan Tinggi dengan dunia kerja atau
kebutuhan pasar. Dengan demikian Perguruan Tinggi berfungsi selain untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menguasai sains dan teknologi,
ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang
tersebut melalui penelitian dan pengembangan.
2.
Akuntabilitas, bukan hanya dalam hal
pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggungjawab, tetapi juga
dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang
diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak hanya kepada pemerintah sebagai
pembina pendidikan atau pemberi sumber dana dan sumber daya lainnya, tetapi
juga kepada masyarakat dan stake holder lainnya yang memakai dan memanfaatkan
lulusan Perguruan Tinggi dan hasil pengembangan berbagai bidang ilmunya. Karena itu, di
sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi, dan masyarakat luas.
3.
Jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui
evaluasi internal yang dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan, dan evaluasi
eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional (BAN). BAN harus
meningkatkan fungsinya dengan menentukan standar-standar yang lebih fleksibel
dan dinamis atau tidak kaku, sehingga tetap memungkinkan bagi Perguruan Tinggi
untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan dan kebutuhan dunia
kerja, juga harus
melibatkan lebih banyak unsur stakeholder dalam organisasinya, sehingga memungkinkan
terjadinya penilaian dan pengakuan yang sesungguhnya dari masyarakat, yang
sangat berkepentingan dengan hasil-hasil Perguruan Tinggi.[7]
Sesuai dengan semangat paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya
otonomisasi dan visi pengembangan. Kerangka pengembangan Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) disamping didasarkan pada misi
ilahiah untuk membumikan nilai-nilai ke-Islama di Indonesia juga harus
berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kondisi dan situasi yang mengitarinya.
Ada beberapa masalah mendasar yang dihadapi Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia dalam perkembangannya selama ini. Beberapa masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) belum berperan secara optimal dalam
dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Di
antara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) lebih besar pada masyarakat, karena
kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
2.
Kurikulum Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) belum mampu merespon perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
serta perubahan masyarakat yang semakin
kompleks. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan
spesialiasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) kurang mengalami interaksi dengan
ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis. Kurikulum Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif, sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat
mengarahkan mahasiswa kepada cara berfikir dan pendekatan yang lebih empiris
dan kontekstual nampaknya masih belum memadai.[8]
Perguruan
Tinggi Islam dijadikan sebagai wadah dalam memberdayakan umat Islam dalam aspek
kehidupan mereka, aspek
kehidupan lebih luas dari yang kita pahami apalagi hanya sebatas
pada
pendidikan Islam sebagai membina generasi yang ahli agama. Dalam sejarahnya, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) merupakan upaya memenuhi tuntutan kebutuhan
masyarakat akan pendidikan tinggi Islam, bukan hanya sekedar akomodasi penguasa
atas kelompok Islam, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) diharapkan mampu mewadahi kebutuhan, peran
dan keberadaan masyarakat muslim dalam berbagai aspek kehidupan yang beragam. Perubahan
sosial, ekonomi, politik, pemahaman keagamaan, pergeseran nilai dan pola hidup
yang dinamis terus berkembang secara masif sehingga menjadi tantangan tersendiri
bagi Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) untuk menjawab perubahan tersebut. seperti pengembangan Fakultas Agama Islam menjadi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Kemudian harapan masyarakat lainnya
mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) untuk mendidik pegawai negeri
dilingkungan kementrian agama agar menjadi ahli agama.[9]
Hingga akhirnya penyatuan antara
STAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berkedudukan di
Yogyakarta.
Tantangan baru IAIN menjadi Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) yang mampu menjawab tantangan global, menghadapi masyarakat yang semakin
kompleks, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju,
menuntut IAIN kembali untuk menterjemahkan tantangan dan peluang tersebut, ide dan
gagasan transformasi IAIN menjadi UIN akan membutuhkan perjuangan yang sangat berat,
akan menghadapi pro kontra di masyarakat. Berangkat dari berbagai permasalahan
yang dihadapi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) seperti berkurangnya minat masyarakat untuk memasukkan anaknya
di program keagamaan, pola hidup masyarakat yang mengarah kepada kebutuhan
ekonomi dan kerja, lulusan-lulusan program agama dianggap belum mampu bersaing
dalam dunia kerja dan berbagai permasahan lainnya. Untuk menjawab perubahan
masyarakat global, dunia kerja dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) harus pula merubah orientasi dan visi pengembangan keilmuan serta mampu
menangkap peluang kekinian, Gagasan IAIN untuk menjadi UIN adalah awal untuk
menjadikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mampu bersaing di era global.
2. Sejarah Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Dalam
catatan sejarah, gagasan pendirian lembaga pendidikan Islam telah dimiliki umat
Islam sejak zaman Belanda. Diawali oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo dengan
mendirikan Pesantren Luhur tahun 1938
namun akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Tahun 1940 Persatuan
Guru Agama Islam di Padang mendirikan Sekolah Islam Tinggi di Sumatera Barat
dan bertahan sampai 1942. Beberapa tokoh nasional seperti M. Hatta, M. Natsir,
K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansur juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta Tahun 1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar.[10]
Masa revolusi kemerdekaan STI pindah ke Jogjakarta karena ibu kota pindah ke
sana sampai tahun 1948 yang akhirnya
berganti nama menjadi Universitas Islam Indoneisa (UII) dengan empat fakultas
yakni hukum, agama, ekonomi dan pendidikan.[11]
Berdirinya
Sekolah
Tinggi
Islam juga tidak terlepas dari kebijakan politik atas dua kelompok besar yakni
nasionalis dan kelompok Islam. Jamhari menjelaskan bahwa sebagai upaya memenuhi
tuntutan kebutuhan pendidikan umat Islam atau mengakomodasi umat, pemerintah
mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dari Fakultas Agama di UII
Yogyakarta dijadikan statusnya dengan nama PTAIN bertempat di Jojakarta dan
sesuai dengan PP nomor 3 tahun 1950. Ini juga nantinyya jadi cikal bakal IAIN. Dalam
perjalanan selanjutnya, sebagai upaya institusionalisasi
pendidikan Islam dan mempersiapkan guru, tokoh dan pimpinan agama mendirikan
pula ADIA di Jakarta. Ini didirikan sesuai dengan Penetapan Menteri Agama RI
No.1 Tahun 1950. Dengan Dekan pertama adalah Mahmud Yunus dan Bustami A. Gani
sebagai wakilnya.[12]
Akademi Dinas Ilmu Agama didirikan guna mendidik dan mempersiapkan
pegawai negeri agar mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk
dijadikan ahli didik Agama pada sekolah-sekolah lanjutan (umum/kejuruan/Agama).[13]
Upaya
pemerintah dalam mengintegrasikan sistem perguruan tinggi Islam dan peningkatan
mutu pendidikan terwujud dalam penyatuan PTAIN dengan ADIA menjadi satu
institusi yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Upaya ini terlaksana setelah Presiden RI mengeluarkan PP. No.
11 Tahun
1960. Pembentukan ini juga mulai berlaku resmi pada tanggal 9 Mei 1960. Dalam
peraturan pemerintah tersebut juga menjelasnya tetang tujuan adanya IAIN adalah
untuk memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan
pemerintah dan masyarakat. Secara formal IAIN diresmikan tanggal 24 Agustus 1960 berdasarkan atas
Penetapan Menteri Agama No. 35 tahun 1960, berkedudukan di Jogjakarta dan Prof.
Mr. R.H.A Soenarjo sebagai Rektor, Wasil Aziz sebagai Sekretaris Senat, Prof.
T.A. Hasby Ash Shiddieqy sebagai Dekan fakultas Syari’ah, Prof. Dr. Muchtar
Yunus sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, Mahmud Yunus sebagai Dekan Tarbiyah,
Bustami A. Gani sebagai Dekan Fakultas Adab.[14]
Lahirnya Institut Agama Islam Negeri yang berpusat di
Jogjakarta dan Fakultas Tarbiyah bertempat di Jakarta belum bisa memenuhi
seluruh kebutuhan akan pendidikan Islam bagi masyarakat nusantara yang notabene
muslim. Hingga
dibukalah cabang-cabang keilmuan Islam di daerah-daerah luar Jogjakarta dan
Jakarta. Namun, semakin besar tuntutan pemenuhan umat Islam, ternyata tidak
cukup dengan membuka cabang. Perlunya ada IAIN yang berdiri sendiri di daerah.
Sebagai upaya merespon kebutuhan umat Islam akan pendirian IAIN di daerah,
lahirlah Peraturan Pemerintah No.
27 tahun 1963 yang memberi kesempatan untuk mendirikan IAIN dan terpisah dari
pusat. Jakarta mendapat kesempatan pertama untuk mendirikan IAIN. Sehingga IAIN
Jakarta adalah yang kedua setelah IAIN Jogjakarta.[15]
Dalam
perjalanan itu pula, berdiri IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh tanggal 5 Oktober tahun 1964, IAIN Raden Fatah
tanggal 22 Oktober 1963, IAIN Antasari Banjarmasin tanggal 22 November 1964,
IAIN Sunan Ampel Surabaya tanggal 6 Juli 1965, IAIN Alaudin Ujung pandang 28
Oktober 1965, IAIN Imam Bonjol Padang 21
November 1966, IAIN Sultan Thaha Syaefuddin Jambi tahun 1967. Memasuki
orde baru, pemerintah melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh Islam dan
daerah-daerah yang memiliki semangat mendirikan IAIN. Fakultas yang masih
merupakan cabang dari IAIN pusat dipromosikan menjadi IAIN sendiri, di
sini termasuk IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 28 Maret 1968, IAIN Raden
Intan Lampung
tanggal 28 Oktober 1968, IAIN Wali Songo
Semarang tanggal 1 April 1970 dan IAIN Sultan Syarif Qosim Sumatera Utara
tanggal 19 November 1973.[16]
Selama
satu dekade, jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak. Mahasiswa itu tidak hanya
datang dari seluruh tanah air, tetapi juga dari negara tetangga, terutama
Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu, dan pertimbangan lain yang
bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960 Presiden mengeluarkan PP. No.
11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA dengan nama baru, yaitu Institut Agama
Islam Negeri (IAIN). Sejak saat itulah secara berturut-turut di beberapa
wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim
untuk mendapatkan pendidikan tinggi dalam bidang Islam. Hingga saat ini
terdapat 14 IAIN dan 35 STAIN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.[17]
3.
Transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dari IAIN
menjadi UIN
Sejarah panjang perguruan tinggi Islam di Indonesia, dari
masa awal pendirian Sekolah Tinggi Islam, Universitas Islam Indonesia, kemudian
yang tadinya fakultas agama di UII dinaikkan statusya menjadi Perguruan Tinggi
Agama Islam, diikuti pendirian Akademi Dinas Ilmu Agama sampai pada penyatuan
PTAIN dan ADIA menjadi IAIN. Munculnya
gagasan transformasi
IAIN menjadi UIN adalah berangkat dari
beberapa alasan sebagai berikut:
1.
dengan bentuk institut, ruang lingkup hanya sebatas keilmuan dan
pengkajian ke-Islaman saja.
2.
wawasan mahasiswa dan dosen IAIN terbatas, berbeda halnya dengan
universitas umum, pengkajian
Islam seolah terputus dari persoalan kontemporer yang aktual.
Transformasi
lembaga tersebut menjadi harapan yang harus diwujudkan, agar kedua alasan
tersebut dapat diselesaikan. Gagasan tersebut bukan berarti langsung terwujud, karena tetap saja harus
melalui berbagai persyaratan, kesiapan pemenuhan kebutuhan IAIN menjadi UIN
dalam berbagai aspek, misalnya kegiatan akademis akan lebih besar
pengelolaannya, lahan yang harus diperluas, kebutuhan tenaga dosen dan pegawai
administrasi dan berbagai persiapan lainnya. Sampai awal 1998, terdapat tiga IAIN yang mengajukan proposal yakni
IAIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung.[18]
Ada beberapa hal
yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN:
1.
Perubahan
pada jenis pendidikan Madrasah Aliyah. Dulunya Madrasah adalah sekolah agama,
kini madrasah sudah menjadi bagian dari sekolah umum atau sekolah yang berciri khas Islam. Di madrasah sudah terdapat mata pelajaran umum yang dimuat dalam
kurikulumnya. Misalnya eksakta, sosial, bahasa dan
fisika.
Di samping itu konversi ini juga untuk menyambut tamatan sekolah menengah umum dapat
masuk IAIN apabila telah menjadi UIN, karena dapat menyediakan jurusan dan
fakultas umum. Perubahan ini juga merupakan misi untuk
pemberdayaan masyarakat/umat di masa depan.
2.
Adanya
dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Masalah dikotomi ini solusinya
adalah program integrasi ilmu pengetahuan
antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan anggapan bahwa kalau IAIN hanya
menyelenggarakan ilmu-ilmu agama, ini
akan melestarikan dikotomi
tersebut. Maka dengan ini IAIN harus menjadi UIN untuk dapat mendirikan
fakultas-fakultas umum.
3.
Perubahan
IAIN menjadi UIN merupakan peluang bagi para lulusan untuk memasuki lapangan
kerja yang lebih luas. Selama ini, arah lulusan IAIN adalah lembaga pendidikan
Islam, kegiatan kegiatan keagamaan, dakwah dan pada tataran departemen agama. Maka
dengan perubahan menjadi UIN akan lebih meluas lingkup kerja dan eksistensi
lulusan IAIN.[19] Dengan perubahan menjadi UIN juga sebagai upaya
konvergensi ilmu umum dan agama, seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution
bahwa perubahan IAIN menjadi universitas dirancang untuk menghilangkan dikotomi
ilmu pengetahuan.[20]
4.
Perubahan
IAIN menjadi UIN adalah dalam rangka memberikan peluang bagi lulusan IAIN untk
melakukan mobilitas vertikal. Yakni
kesempatan gerak dan peran serta memasuki medan
yang lebih luas. Lulusan IAIN akan memasuki wilayah dan lingkungan yang lebih
luas, bervariasi dan bergengsi. Perubahan ini juga ingin kembali menaruh
harapan umat Islam menjadi pelopor peradaban manusia yang
dulu pernah dicapai Islam zaman klasik.
5.
Perubahan
IAIN menjadi UIN juga merupakan tuntutan akan penyelenggaraan pendidikan yang
profesional, berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan. Apalagi dengan
arus globalisasi yang melahirkan lingkungan persaingan dan kompetisi. Sehingga
IAIN menjadi UIN merupakan bagian dari upaya menghadapi tantangan dan menangkap
peluang.[21]
Pengembangan IAIN menjadi UIN akan
merambah empat wilayah yang harus dijawab yaitu: Pertama, bidang
keilmuan yang menuntut upaya serius para sarjana di lingkungan IAIN untuk
menghilangkan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Kedua, bidang
kelembagaan yang mengharuskan IAIN untuk memikirkan kembali, apakah lembaga ini
menjadi otonom atau harus tetap mengekor pada Kementerian Agama. Ketiga, persoalan anggaran keuangan.
Sejauh ini, IAIN masih bertahan dengan biaya pendidikan dari Kementerian
Agama
dan SPP mahasiswa. Tentu saja, biaya ini masih kurang jika nantinya berubah
menjadi UIN. Keempat, masalah lapangan pekerjaan. Lulusan IAIN memang
sudah mulai diperhitungkan. Namun demikian, hal tersebut dipicu oleh maraknya
lulusan IAIN yang berani loncat pagar dari keilmuan mereka.[22]
Dari keempat tantangan di atas, tentu saja menuntut keseriusan
semua pihak untuk memikirkan nasib UIN. Karena
itu, mitra sejajar antara pimpinan, dosen, dan mahasiswa harus dibangun mulai
sekarang. Dengan begitu, ketika ada tantangan-tantangan di atas, bukan lagi
persoalan masing-masing pihak, namun persoalan semua pihak. Jadi, siapapun civitas akademika
boleh memberikan idenya untuk memikirkan nasib IAIN menuju UIN.[23]
Pengembangan dan Konversi IAIN ke UIN adalah proyek
keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir
keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Konversi dari IAIN ke UIN
adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan luka-luka dikotomi keilmuan
umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[24]
4. Pro – Kontra
Transformasi IAIN menjadi UIN
Gagasan
menuju universitas bukan tidak menghadapi tantangan ataupun pro kontra di kalangan
muslim maupun para tokoh Islam. Tantangan permasalahan bukan tidak ada, akan
tetapi semenjak ide perubahan lembaga tersebut disuarakan banyak menuai
kritikan dan pertanyaan, ada beberapa
permasalahan yang muncul baik itu terkait dengan legal formal, kelembagaan,
filosofis, histori, psikologis dan bahkan politis.[25]
Bahwa
dari segi legalitas, penambahan fakultas-fakultas umum atau non agama akan
terbentur
dengan PP. No. 60 Tahun 1999, ada yang ditekankan dalam peraturan tersebut,
yakni institut adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan dalam satu kelompok bidang studi tertentu, seperti kelompok bidang
studi agama saja, hukum saja, pertanian saja dan seterusnya. Masalah berikutnya
adalah kelembagaan, setelah perubahan IAIN menjadi Universitas apakah
kelembagaannya berada di bawah naungan departemen Agama atau berada di bawah
Departemen Pendidikan Nasional. Persoalan lain yang muncul adalah latar
belakang filosofis-historis. Di mana IAIN memiliki akar filosofis visi
dakwah dan pengkajian ke-Islaman. Adanya
kekhawatiran tokoh Islam akan dihapuskannya hasil perjuangan pendahulu mereka
atas IAIN. Sisi lain juga ada masalah yang timbul dengan perubahan IAIN menjadi
UIN yakni masalah yang bersifat politik. Di mana berdirinya IAIN tidak terlepas
dari bentuk akomodasi dan
penghargaan pemerintah atas peran dan kontribusi umat Islam dalam perjuangan
bangsa ini.[26]
Beberapa
tokoh lain menanggapi secara beragam ketika ide IAIN menjadi UIN. Misalnya saja
mantan menteri Agama Munawir Syazali.
Menurutnya pendirian IAIN adalah untuk menciptakan sarjana Agama.
Maka apabila ada perubahan lembaga, ia tidak tahu apa arah perubahan tersebut.
Bila alasan Islamisasi ilmu, bukannya ilmu pengetahun bersifat netral, karenanya
tidak perlu Islamisasi. Munawir Syazali juga mempertanyakan apakah setelah
perubahan lembaga tersebut menghasilkan output yang semakin baik. Ia juga
membandingkan kualitas mahasiswa IAIN juga masih kurang.[27]
Selain
itu juga gagasan transformasi tersebut dikomentari senada oleh KH. Ma’ruf Amien,
Ketua Syuriah PBNU. Ia juga tidak
setuju dengan adanya perubahan IAIN menjadi UIN, menurutnya
IAIN tetap saja fokus pada
pendidikan khusus masalah agama. Lain halnya pendapat yang di sampaikan oleh
Din Syamsuddin dan Tutti Alawiyah bahwa IAIN sudah waktunya berubah menjadi
UIN, karena untuk menangkap tantangan dan peluang di masa yang akan datang.[28] Dalam perjalanannya, transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam
dalam hal ini IAIN menjadi Universitas juga tidak dapat dihindari, apalagi
setelah berhasilnya IAIN Jakarta dan Jogjakarta menjadi UIN. Disusul dengan IAIN di daerah lain. Seperti UIN Bandung, UIN
Malang, UIN Alaudin Makasar.
Perubahan
tersebut juga tidak terlepas dari harapan untuk menjawab tantangan dan peluang
yang dihadapi Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia. Beberapa tanggapan di atas dan permasalahan di atas, setidaknya dapat
diatasi apabila setiap IAIN memilki kesungguhan dan i’tikad
baik untuk menjawab perubahan tersebut. Perubahan menjadi UIN adalah salah
satunya untuk memperluas peluang dan kesempatan lulusan UIN dalam
dunia global. Dalam aspek keilmuan, bahwa sudah pantas kalau perubahan UIN
adalah upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, integrasi ilmu umum dan agama.
Ditambahkan oleh Din Syamsudin bahwa, dengan perubahan menjadi UIN adalah upaya
Perguruan
Tinggi
Islam dalam mengintegrasikan nilai Islam dan etika dalam ilmu pengetahuan.[29]
Namun demikian, ada satu hal yang tentu tidak boleh
dilupakan oleh UIN, IAIN dan STAIN sebagai institusi pendidikan tinggi
yaitu menjadi pusat pengembangan ilmu keislaman. UIN, IAIN dan STAIN juga tidak
boleh melupakan misi utama institusi ini sebagai pengembang ilmu keislaman dalam keadaan apapun atau ketika ada perubahan
apapun secara institusional, maka misi utama ini harus tetap diutamakan. Dalam proses pengembangan IAIN ke UIN
menunjukkan adanya proses dinamika pemikiran Islam di Indonesia yang tidak
pernah terkelupas dari perkembangan sosial politik yang mendasarinya.[30]
IAIN menuju UIN merupakan langkah maju yang perlu diperjuangkan, dengan institusi semacam universitas,
Perguruan
Tinggi Agama Islam
dapat lebih mengembangkan diri terutama dalam pembenahan kurikulum, kegiatan
eksra kurikuler, manajemen, jaringan dan modal fisik yang berdampak pada mutu
lulusan.
UIN Malang mendesain pengembangan ilmu
ke-Islaman yang diberi label Pohon Ilmu, sedangkan UIN Jogyakarta mengembangan
kajian ilmu ke-Islaman yang bercorak integrasi dan interkoneksi yang diberi
label Jaring Laba-Laba, IAIN Sunan Ampel membuat rancangan pengembangan ilmu ke-Islaman
multidisipliner yang dilabeli Twin Towers, yaitu pengembangan ilmu ke-Islaman
yang saling menyapa dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahkan sains.
BAB III : KESIMPULAN
1.
Sesuai dengan
semangat paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, yaitu otonomisasi pendidikan dan visi
pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam disamping didasarkan pada misi
ilahiah untuk membumikan nilai-nilai ke-Islaman di Indonesia juga harus
berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kondisi dan situasi yang
mengitarinya, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksitas
kehidupan masyarakat dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan lain
sebagainya, sehingga siap berkompetisi di era global.
2.
Beberapa tokoh nasional, M. Hatta, M. Natsir, K.H.A.
Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansur mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta Tahun
1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar, kemudian STI pindah ke Jogjakarta
karena ibu kota pindah ke sana sampai tahun 1948 yang akhirnya berganti nama
menjadi Universitas Islam Indoneisa (UII). Dalam rangka mengakomodir kebutuhan
umat Islam, pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dari
Fakultas Agama UII Yogyakarta dinaikkan statusnya dengan nama PTAIN bertempat
di Jojakarta, seterusnya penyatuan PTAIN dengan ADIA menjadi satu institusi
yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN), pada akhirnya kemudian muncul gagasan
transformasi IAIN menjadi UIN.
3.
Transformasi IAIN menjadi UIN adalah proyek keilmuan, pengembangan wawasan keilmuan dan
perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Transformasi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk
membangun
konsep dan mengimplementasikan integrasi ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada lagi dikotomi keilmuan umum dan agama.
4.
Pro-kontra
terhadap ide dan gagasan trnsformasi IAIN
menjadi UIN terjadi di kalangan
umat Islam, para tokoh Islam bahkan juga dari internal kampus itu sendiri. Tantangan permasalahan bukan tidak ada, akan tetapi semenjak ide
perubahan lembaga tersebut disuarakan banyak menuai kritikan dan pertanyaan, ada
beberapa permasalahan yang muncul baik itu terkait dengan legal formal,
kelembagaan, filosofis, histori, psikologis dan bahkan politis.
DAFTAR PUSTAKA
Lihat,
UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century : Vision and Action (Paris:
UNESCO, 1998).
D.A. Tisna Amijaya, Kerangka
Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta : Dirjen Dikti, 1976).
Santoso
S. Hamidjojo et al., Platform Reformasi Pendidikan Nasional (Jakarta:
Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998).
A.
Malik Fadjar et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam, 1999).
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).
Task
Force Pendidikan Tinggi, Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan Tinggi, (Jakarta:
Dirjen Dikti, 1999).
IAIN
Jakarta, Proposal Pembentukan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998).
Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Mahmud
Yunus Wadzurriyyah, 2008).
Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali
Press, 2010).
Abuddin
Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta : IAIN Jakarta
Press, 2002).
Husni
Rahim, IAIN dan Masa depan Islam Indonesia, dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm dikutip tanggal 5 Desember 2012 pukul 16.38.
Abudin Nata, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Grasindo, 2001).
Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010).
Kusmana
dan Yudi Munadi , Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002).
Akh. Minhaji & Kamaruzzaman, Masa Depan
Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (Jogjakarta: ARRUZZ, 2003).
Amin Abdullah dkk., Islamic Studies : Dalam
Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta : SUKA Press, 2007).
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi
Ilmu dalam Islam (Jakarta: TERAJU, 2002).
[6]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos, 1999).
[17]Husni
Rahim, IAIN dan Masa depan Islam Indonesia,
dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm
dikutip tanggal 5 Desember 2012 pukul 16.38.